Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"It's have been a while, since I running away from the reality. It teach me, how to survive, how to be loved, how to be unbreakable".
Dunia ini luas bukan? terlampau luas untuk dipandang hanya sebatas jangkauan mata. Pernahkah kamu ingin pergi berkeliling dunia? Atau mengelilingi semesta ini?. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan di semestaku, bagian kecil dari dunia ini.
* * *
Ia terbangun dari tidurnya, kemudian melihat sekeliling. "Ibu...?", panggilnya, namun tak seorangpun menyahut panggilan itu. Ia menepiskan selimutnya, kakinya mulai menyentuh lantai keramiknya yang dingin.
"Kriiieeett" Suara pintu kayu kamar itu terbuka, anak itu keluar kamarnya, menuruni tangga menuju ruang keluarga. "Ibu...?", panggilnya kembali, namun masih sama, ruangan itu juga sunyi.
Ia kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia masih mengantuk. Hujan di luar rumah membuat hawa dingin yang meminta dirinya untuk kembali ke dalam balutan selimut. Dalam hitungan menit ia terlelap, jatuh ke dalam tidurnya.
* * *
"Jovial, mari kita ke taman bermain, sayang. Ibu ingin mengajakmu jalan-jalan".
Anak laki-laki yang dipanggil Jovial itu tersenyum sumringah, ia bahagia dengan tawaran ibunya. "Tentu ibu, Jovial akan bersiap dulu", dengan kebahagiaan di raut wajahnya, anak itu masuk ke dalam rumah. Ia menuju kamarnya, mulai mencari baju yang kiranya akan ia pakai untuk pergi ke taman bermain bersama ibunya.
"Wah, anak ibu tampan sekali", ucap sang ibu mendapati anaknya keluar dengan mengganti pakaiannya, ia menyentuh lembut rambut anak laki-lakinya itu.
"Jovi, ingat nak, jangan nakal yaa, bersikap baik, karena kita akan bertemu dengan banyak orang disana", pinta sang Ibu.
Jovial mengangguk mantap, ia sering mendapat permintaan itu dari ibunya. Anak yang kini berumur tujuh tahun itu paham betul kata yang sering di ucapkan ibunya, dan tak pernah sekalipun ia melanggarnya.
Ibu menggandeng tangannya, mereka pergi ke taman bermain sesuai dengan janji si ibu.
* * *
Anak laki-laki itu terbangun kembali karena gemuruh petir, air hujan menerobos masuk ke dalam kamarnya. Angin berebut menggoyangkan tirai, memaksa daun jendela terbuka serabutan. Ia berdiri menapaki lantai kamar yang semakin dingin, cuaca di luar sangat gelap dan ia hampir tak dapat melihat apapun. Anak laki-laki itu menutup jendela kamarnya, tirai nya pun ia rapatkan, lalu ia duduk tersungkur di bawahnya, menapak lantai yang basah karena air hujan. "Aku takut", lirihnya.
Ia kembali terlelap di bawah jendela kamarnya, dengan beralas lantai yang basah. Ia tertidur seolah kantuk tak dapat ia bendung lagi.
* * *
"Oke anak-anak, kita telah sampai di Flower Arboretum, untuk study tour kita kali ini, semuanya saling menjaga ya.. jangan berpergian sendiri", instruksi dari seorang yang di panggil guru oleh anak-anak.
"Baik, Bu Guru", ucap anak-anak serempak. Tak terkecuali dengan David, anak yang kini duduk di kelas satu Sekolah Dasar itu tampak antusias. Semenjak berada di bus, ia sudah merasa girang. Dirinya memang tergolong anak yang periang.
Rombongan study tour itu dibagi menjadi beberapa kelompok, mereka mulai berjalan menjelajahi arboretum. Di sepanjang pijakan kaki, anak-anak yang masih kecil itu di perkenalkan dengan berbagai jenis tumbuhan, dengan sigap mereka mencatatnya dalam sebuah notes kecil yang telah dipersiapkan dari sekolah.
Saat itu, ketika David sibuk mencatat, tanpa ia sadari ia telah tertinggal dari rombongannya. Ia kebinggungan, namun di saat yang sama, ia melihat seorang anak tengah berlari, anak itu memakai baju seragam yang sama sepertinya. David berpikir dia bisa kembali ke salah satu rombongan sekolahnya jika mengikuti anak itu.
Perlahan, David mengikuti arah bayangan anak yang dilihatnya hingga sampai pada sebuah gudang tua, ketika David mencoba masuk, sesuatu hal terjadi.
"Tidak... Tidak.."
***
Anak laki-laki itu terbangun kembali, ia menangis. Ia menatap sekelilingnya yang masih gelap, hawa dingin menusuk hingga tulangnya. Ia merangkak kembali ke tempat tidur.
Di balik kesunyian malam, suara air hujan pun terdengar jelas. Jutaan tetes yang mulai membasahi bumi, setiap detiknya terasa. Anak laki-laki itu menyeka air matanya.
* * *
"Ibu.. aku pulang..", teriak seorang anak laki-laki dari balik pintu.
"Oh anakku, bagaimana kelasmu hari ini, sayang?", Ibu memeluk anak laki-laki itu.
"Hari ini aku berlatih Celebrated Chop Waltz, aku tidak sabar untuk memainkannya dengan ibu", ucap anak itu antusias.
"Oh, benarkah? naiklah, ganti pakaianmu terlebih dahulu, lalu temui ibu lagi"
"Siap, boss", anak laki-laki itu melsat menaiki anak tangga.
Tak berapa lama, anak itu sudah disamping ibunya, tangannya mulai menyentuh tuts piano dan memainkan melodi bersama ibunya. Ia sudah berlatih keras untuk ini. Selama ini, ibunya bermain musik sendiri, ayahnya jarang berada dirumah dan kadang meminta ibu untuk berhenti bermain musik. Hal itu mendorong bocah berumur tujuh tahun itu tergerak, ia ingin menemani ibunya, menjadi semangat tersendiri bagi ibunya.
"Saat aku besar nanti, aku akan menciptakan lagu, seperti yang ibu lakukan. Aku ingin menjadi seorang musisi, Ibu", ucap bocah polos itu penuh tekad.
"Brian, kau tak harus menjadi seperti ibu, kau bisa mengejar mimpimu sendiri, terbanglah bebas saat kau menginjak dewasa nanti, anakku. Ibu akan selalu ada untuk mendukungmu"
Namun, anak yang dipanggil Brian itu sudah membulatkan tekadnya, ia akan tetap bermain musik. Dia akan menjadi orang yang kuat untuk ibunya. Setidaknya itulah yang ia pikirkan sebelum kobaran api memenuhi semua pandangan matanya.
"Ibu....", teriaknya meronta.
* * *
Anak lelaki itu terbangun kembali, keringat dingin membasahi tubuhnya, ia terbatuk. Denyut jantungnya tak beraturan, ia kesulitan bernafas.
Ia mulai memikirkan hal yang seharusnya tidak ia pikirkan. Dengan tekad, ia berpikir harus keluar, namun hujan masih belum reda. Diantara gejolak perdebatan batinnya, suara lembut terdengar dari balik pintu, "Kau mimpi buruk lagi?"
Anak itu menoleh ke arah pintu, mencoba mendengarkan.
"Ini Ayah, tidurlah Al, hari sudah semakin larut, hujan juga sepertinya tidak akan reda malam ini, maaf Ayah tidak bisa menemanimu. Selamat tidur", suara itu menghilang.
"Ayah?", Anak itu tampak kebingungan, ia bahkan bertanya pada dirinya sendiri apakah ia memiliki ayah, atau itu hanya ilusi dari mimpi buruknya.
"Apakah aku bermimpi? Jovial, David, siapa mereka?", Anak laki-laki itu mulai menyadari sesuatu hal yang aneh padanya. Dia akhirnya sadar bahwa dia bukan Jovial maupun David, kebenaran itu membuka pertanyaan baru. Jadi, siapa dirinya? Al? Siapa Al? Bahkan setelah ia melintasi semua ruang labirin dalam memori otaknya, ia tak dapat mengingatnya, ada sesuatu yang salah pada dirinya dan ia membenarkan opininya itu sebelum ia terlelap kembali dan menyaksikan rentetan cerita yang membuatnya tak bisa bernafas.