Yani-Daftar Isi

82 23 13
                                    

Tulisan yang terukir di daun pintu dengan ukuran yang cukup besar itu tadi pagi belum ada. Sepertinya orang yang menulis tengah terburu-buru, terlihat dari goresan yang kurang rapi dan juga huruf terakhir yang tidak terselesaikan, dari huruf sebelumnya aku menduga itu adalah huruf R. Namun, apa maksud 'KATA PENGANTAR'?

Aku melanjutkan langkah, berusaha tidak memedulikan salah satu misteri yang tiba-tiba muncul di sisi pintu bagian dalam kamar, tidak enak juga karena Pak Dani sudah cukup lama menunggu.

Laki-laki paruh baya penjual ayam tengah berdiri seraya tersenyum ketika melihatku. Perangai Pak Dani memang terkenal ramah, dia tidak segan untuk selalu tersenyum pada siapa pun. "Ini, Bu Yani. Pesanan ayamnya."

Aku tersenyum sembari menunjukkan secarik kertas yang terlipat. "Aku ngutang lagi, ya. Biasa, nanti aku catat di kertas ini biar tidak lupa."

"Iya, ora opo-opo. Apa aja buat Bu Yani yang cantik. He he he." Aku lihat senyum Pak Dani semakin hangat, perkataannya pun diucapkan begitu lembut dengan logat khas suku Jawa.

Bersamaan dengan ucapan Pak Dani baru saja, Andri lewat tergesa-gesa menuju dalam rumah mengabaikan senyuman dari penjual ayam. Aku melihat mata anak itu sempat menatap tajam, entah ke arahku, Pak Dani, atau lainnya.

"Maafin Andri, Pak. Akhir-akhir ini dia agak aneh, efek tanggal tua."

"He he he, ora opo-opo. Kayaknya dia kesal Ibu ngutang lagi, tadi matanya liat kertas utang itu," kata Pak Dani sembari memberikan sekantong daging ayam potong.

"Pak Dani tidak lagi nyindir aku, kan?" kataku dengan wajah datar seraya tangan kanan mengambil pesanan tersebut. Sedang tangan kiriku berusaha membuka lipatan kertas. "Pak Dani bawa pulpen? Aku lupa ambil."

"Bawa, dong. Udah aku tebak, tanggal tua Bu Yani pasti ngutang, he he he."

Aku bergeming setelah berhasil membuka lipatan kertas ini. Rasa bingung dan aneh lagi-lagi terngiang di pikiran, 'ini apa?' adalah pertanyaan yang wajar aku tanyakan.

"Ini pulpennya, Bu Yani," ucap Pak Dani mengganggu lamunanku.

"Iya, Pak. Tidak jadi pulpennya, aku catat di dalam saja. Nanti pas Andri gajian, aku bayar. Aku ke dalam duluan. Permisi." Tanpa basa-basi berlebih, aku bergegas masuk. Duduk di kursi ruang tamu seraya mata terus menatap isi kertas ini, sedangkan ayam aku letakkan begitu saja di meja.

Rian (checklist)
Angga (checklist)
Jaka
Dani
Mumun
Bambank (checklist)
Rudi
Tanpa nama, lupa (checklist)
Madih
Herlonggo
Yuyu

Kertas ini berisi sekumpulan nama orang yang mencoba mendekat setelah aku bercerai dengan Abdul-mantan suamiku.

Tanda centang di samping nama sepertinya menandakan orang itu berhasil diserang. Aku mendapatkan cerita dari Angga, Bambang, dan juga Budi bahwa mereka mengalami kejadian mengerikan tatkala berkunjung ke rumah ini. Sedangkan Rian, dia telah tewas.

Namun, jika memang ini adalah daftar laki-laki yang menjadi target penyerangan ....

"Yuyu bukannya perempuan? Ini Yuyu tetanggaku bukan, sih?" ucapku lirih. Aku menunduk sembari tangan kanan menggenggam kening, sedangkan pandanganku masih mengarah ke kertas yang berada di tangan kiri. "Mumun? Itu nama kucing, kan?"

Abaikan perihal Yuyu dan Mumun, aku alihkan pikiran ke orang yang telah menjadi korban. Rian-pengendara ojek yang dulu menjadi langgananku tatkala pergi ke kantor. Nahas, dia ditemukan tewas di dekat rumah ini. Kejadian itu terjadi setelah lima bulan perceraianku dengan Abdul, tepatnya akhir Agustus 2017.

Angga, pria inilah yang paling bertekad memilikiku, meski dengan terang mendapat penolakan. Dahulu, hampir setiap hari pria berkulit sawo matang itu datang ke rumah ini. Sampai pada akhirnya di bulan Februari 2018 mengalami kejadian buruk.

"Yan, maaf aku ga bisa melanjutkan perjuangan ini. Malam Minggu kemarin aku mampir ke rumah kamu, terus kena beling. Kamu ingetkan pas aku datang ngerengek kesakitan. Aku pikir itu kebetulan, tetapi seminggu setelahnya aku coba mampir lagi. Kali ini bukan beling, tapi beberapa paku payung yang tanpa sadar menambah parah luka yang ada. Terlebih ada tulisan berwarna merah di depan rumahmu yang menyuruhku pergi dan jangan datang kembali." Jika ingatanku tidak salah, seperti itu isi pesan terakhir dari Angga.

Responku mengekspresikan ketidakpedulian. Bagiku dia hanya sedang mempermainkanku, pergi karena bosan. Tidak sedikit pun empati atau rasa percaya yang kala itu kuberikan untuknya. Wajar saja, karena ketika Minggu pagi, aku tidak menemukan tulisan yang dia maksud. Namun, sekarang aku berpikir mungkin saja Angga tidak berbohong.

Aku menengadah menatap baling-baling kipas yang tergantung di atap. Pikiranku berusaha mencerna beberapa peristiwa yang tengah terjadi, mulai dari penyerangan, ukiran yang terus-menerus muncul, sikap aneh kedua anakku, serta daftar berisi nama yang tiba-tiba saja ada di kamar. Aku merasa ini semua saling berkaitan.

Aku menarik napas panjang dan segera beranjak seraya tangan meraih ayam potong dari atas meja. Tidak ada gunanya terlalu lama melamun. Mataku menyusuri lorong penghubung ruang tamu dan dapur, tempat tadi Wulan melempar pisau.

Rumah peninggalan almarhum ayahku terbilang kecil. Terdiri dari ruang tamu yang terhubung via lorong, di antara lorong tersebut terdapat kamar Andri dan Wulan yang saling berhadapan. Sedangkan kamar mandi berada di dekat dapur. Meski begitu, pekarangan rumah ini cukup luas.

"Andri."

"I-iya, Bu."

"Kamu lihat pisau? Tadi ada di lorong."

"Di Wu-Wulan, Bu."

"Lah? Ibu tidak lihat dia masuk. Sekarang adikmu di mana?"

"Di halaman belakang."

"Aduh! Anak itu akhir-akhir ini jadi sering main pisau."

Mom AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang