CHAPTHER 04.

1.5K 95 23
                                    

AUTHOR | POV

"Apa ini telah semuanya?"ujar Drue,menatap lekat-lekat barang bawaan Leon. Pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya,yang sukses mendapatkan pandangan jengah dari sang keponakan.

"Sudah Pak tua..."ujar Leon dengan jengah menjawab,memutar kedua matanya dengan malas,menatap sang paman itu lekat-lekat.

Pria pembuat roti yang hanya satu-satunya yang ada di desanya. Leon dibuat heran karena tingkah pamannya ini,heran dengan tingkah pelupa yang mendadak muncul ini.

Pamannya itu tampan,masih bisa dibilang muda karena,baru menginjak umur 40 tahun dan tak begitu tua,atau bisa dibilang masih muda karena postur wajah dan perawakan badannya.

Tapi,mengapa sang paman berubah sangat pelupa,ia terus mengutarakan pertanyaan yang sama dari 30 menit yang lalu. Yang sukses membuat Leon jengah dengan tingkah nya tersebut.

Pikiran Leon melayang membayangkan jika ia akan pergi ke kota dan bersekolah disana. Maupun sekolah yang akan ia tuju itu tak jelas wujudnya,tapi tak ada salahnya untuk dirinya mencoba pergi dan melihatnya sendiri.

Leon sekali lagi membuka lembaran kertas putih tersebut,membaca untuk kesekian kalinya, memastikan dirinya bahwa Academy yang akan ia tuju mencantumkan namanya di atas potongan kertas itu,tapi lagi-lagi Leon tak menemukan hanya mendapatkan alamat dan kalimat undangan diatasnya.

Memasukan kembali lembaran kertas kedalam amplop dan memasukkan kedalam tasnya. Leon menghela panas dan menatap setiap sudut ruangan yang dari kecil ia tempati,kamar yang didominasi warna coklat dan terbuat dari kayu tersebut merupakan gudang memori Leon.

Cukup sayang rasanya jika dirinya berpisah dengan kamar nya tersebut. Leon menatap kearah jendela dimana jendela itu terbingkai sebuah kaca transparan yang memperlihatkan pemandangan luar.

Dimana tempat favoritnya yang kedua untuk melihat bintang dan merenung,tak ketinggalan dengan sebuah lukisan yang berukuran cukup besar yang terpampang di dinding atas ranjangnya.

Lukisan yang ia menunjukkan bahwa kerinduan atas orang tuanya, dan tak ketinggalan dengan mainan masa kecilnya yang terpajang di rak kayu Spruce.

Satu yang akan ia rindukan dari kamarnya ini, kehangatan yang tercipta khusus yang sangat membuat dirinya nyaman. Satu-satunya ruangan yang tak bisa digantikan oleh yang lainya.

Menghela napas,Leon menjinjing tas yang menyerupai ransel rebah. Untuk sekali lagi,Leon menatap ruangan itu dengan cermat,tak ingin meninggalkan satu inci pun dari kamar kesayangan.

Hingga, tatapannya bertabrakan dengan pandangan sang paman. Gurat tak ikhlas,kecewa,takut dan lega bercampur menjadi satu didalam tatapan matanya. Leon tak dapat mengartikan setiap arti dari rasa yang tersirat dari pandangan Drue.

Pria berbalut mantel hitam berbulu,tersebut berjalan mendekati Leon. Merosot turun didepan Leon, mensejajarkan tinggi mereka.

"Kau memang sudah besar"ujar Drue dengan mengusap pucuk kepala Leon. Untuk pertama kalinya perasaan hangat yang tercipta dari sang paman muncul didada Leon.

"Dan mungkin tugasku untuk membesarkan mu telah selesai..."ujar Drue terputus. Dengan tangan Drue yang mengusap pipi Leon. Ada rasa sakit ketika Leon mendengar ucapan itu,seakan ada sebuah belati tajam menikam hatinya,dan sebuah perpisahan akan terjadi diantara mereka berdua.

"Dari mana saja aku hingga aku tak menyadari jika kau telah tumbuh setinggi ini.."ujar Drue dengan terkekeh. Lagi,untuk kedua kalinya Leon merasakan jika ini akan sangat menyakitkan.

"Mau pun tugasku untuk membesarkan mu telah selesai,tapi aku masih memiliki tugas untuk menjagamu"ujar Drue,seakan jika mereka benar-benar akan terpisah jauh dan tak akan bertemu kembali,dan sesuatu pikiran melayang didalam pemikiran Leon.

MAGIC FOR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang