patah

46 5 0
                                    

Dalam nyanyian sore dan malam yang sebentar lagi menyapa, terasa sandekala waktu kental dalam benak para manusia yang ada. Tak apa jika berakhir hari, masih ada esok yang akan datang kembali. Memang manusia tak tau diri, tapi bagaimana dengan mereka yang patah hati? Berbicara pada semesta setiap hari, tuk menceritakan terkasih.

Jingga sore telah berkata, indah bertahta dalam langit sepertiga hari yang terlewati. Semilir angin membawa dedaunan tuk bertaburan di lapangan nan sepi, beberapa pilu tersampaikan suasana kala senja bertahta. Suram terasa di dalam gedung sekolah dua lantai yang tak ramai seperti setengah jam yang lalu.

Suasana kelas sangat sepi dan gelap dengan renda hijau yang menutup setiap jendela, angin dingin yang tak lain berasal dari udara AC membuat nafasnya sesenggukan. Tanpa peduli apa yang akan terjadi nanti, yang Ayara fikirkan hanya bagaimana ia melepas rasa lelah hati dengan ketidak percayaan yang baru saja menamparnya.

Semesta sangat berbaik hati berapa detik lalu, namun ia juga layak berdusta pada Ayara yang berhati rapuh. Terenggut semua yang Ayara harapkan, kebahagiaan yang tak lain ada pada jiwa seseorang telah lenyap dan hilang. Kini seorang dirilah ia merantappi itu semua, dari senja Desember akhir di sekolah itu ia mendapat penutup masa dengan penuh kekecewaan.

Sudah tiga Desember, sebelum semester tertutup. Ia berjumpa dengan tawa yang selalu ia rindukan tuk ditemuinya lagi, atau bahkan kenangan yang selalu ia ceritakan kepada keluarga sebelum liburan usai tentunya. Namun berbeda untuk Desember terakhir ini, mungkin hari ini benar-benar dari yang terakhir, tahun depan tak akan berjumpa jiwanya pada gedung ini lagi, sudah cukup masanya ia bersekolah. Waktunya berpamit telah tiba.

Esok semester lima telah usai, dan sudah saatnya ia tuk bersiap. Namun kesan yang ingin ia bawa tuk pergi telah tiada, atau bahkan kesan yang ketika teringat ingin lekas ia buang ingatannya sampai ia tak berjumpa lagi dengan ingatan itu.

Dan Ayara masih menetap pada posisi ia sampai sepuluh menit telah berlalu. Berbicara pada hatinya yang baru tergores bercucur darah sampai tak karuan dirinya, memaafkan diri sendiri bukan yang terbaik. Dan menyalahkan orang lain itu yang tersalah.

Drrrrtttttttt...

Suara itu mengganggunya. Terlihat benda kotak yang tergeletak diatas meja itu menyala dan terlihat sebuah nomor telepon tak bernama sedang menghubunginya, Ayara lekas mengangkat kepalanya dan mengambil ponselnya itu, ia melihat nomor itu lebih jeli lagi. Dan tak lama kemudian ia menekan tombol hijau yang terpampang pada ponselnya, segera ia menempelkan ponsel itu pada telinga kanannya.

"Halo Ay? Kamu dimana? Aku nyari kamu dari tadi tapi kata semua orang kamu sudah pulang"
"Aku dikelas." Jawab Ayara dengan lirih.
"Dikelas? Kamu gapapa kan ay? Aku kesana sekarang ya?"
"Terserah."

Panggilan itu berakhir Ayara mematikan telpon itu dan meletakan kembali ponselnya, dengan hati yang masih rapuh, Ayara kembali menempelkan kepalanya dimeja. Sesekali air mata mengalir ia dengan sangat lembut menyeka air mata itu, namun tak kuat bibirnya tuk berucap, raganya tuk bertemu jiwa, jadilah ia yang sendu bersama nanarnya.

Lima belas menit berlalu, dan Ayara masih menetap. Tetiba ada tangan yang tak ia tau tangan siapa itu, sekarang sedang mengelus dengan lembut kepalanya. Ia terbangun dan segera melihat seseorang yang mengusap-usap kepalanya itu, Ayara menemukan seorang lelaki yang sedang berdiri dihadapannya dengan menatap penuh haru kepadanya.

Lelaki itu lalu duduk tepat di bangku yang ada didepan Ayara, lelaki itu tak menanyakan apapun kepada ayara dan hanya terdiam dan melihat kondisi Ayara yang sedang tak karuan. Ayara beranjak keluar kelas dan menempelkan kedua tangannya di balkon yang berada di depan kelasnya, dengan dibuntuti lelaki itu yang kini berdiri di sampingnya.

Aksata : Dia Bukan MilikmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang