Aku meremas kertas yang kugunakan untuk mencoret-coret. Perasaanku gelisah. Sejenak, aku mengamati ponsel yang tergeletak di meja belajar lalu menggeleng dan menghela napas.
Tidak.
Aku tidak akrab dengan mereka.
Tapi mereka kelompok lo! Kalo ada apa-apa lo memang harus nanya mereka!
Nanya seperti apa?
Pertama, aku tidak suka kalau mereka menganggapku bodoh atau tidak becus.
Kedua, yang mereka tahu, aku si Alisha---gadis yang menduduki peringkat tiga besar di kelas. Intinya, yang mereka tahu aku pandai. Aku selalu bisa mengerjakan transaksi akuntansi dengan benar.
Aku bisa membantu beberapa temanku yang tidak paham terhadap transaksi akuntansi dan menjelaskannya dengan lugas. Yang mereka tahu soal aku adalah begitu.
Apa kata mereka kalau hanya dengan menjadi bendahara di kelompokku saja tidak bisa?
Tapi, bukan itu inti kecemasan yang sedang kualami. Aku ... tidak akrab dengan mereka.
Rasanya aku ingin menangis. Bagiku, sejak awal, terbentuknya kelompok ini adalah sebuah kesalahan. Seperti medan magnet yang dipaksa menyatu padahal mereka jelas-jelas memiliki kutub yang sama.
Aku merasa ... sedang berada pada lingkar pertemanan yang penuh racun. Mematikan. Dan aku hanyalah pelampung di air. Tidak bisa tenggelam, tapi juga tidak sanggup kembali ke daratan. Mengambang.
Beberapa minggu lalu, sewaktu kelompok ini terbentuk, aku memang dipaksa menjadi bendahara. Pelajaran kewirausahaan membuat praktek yang mana mengandaikannya sebagai perusahaan. Setiap kelompok harus bisa menjadikan perusahaan yang mereka kelola berjaya.
Aku bisa-bisa saja mengikuti praktek itu. (Andai saja kelompokku adalah orang-orang yang kukehendaki, bukan seperti ini!)
Dan tentang menjadi bendahara, sejak awal aku menolak keras-keras. Aku tidak mau berurusan dengan sesuatu yang membuatku merasa terbebani.
Tapi selalu saja, mereka memakai alibi ....
Alisha kan pinter hitung-hitungan.
Dan aku memutuskan menyerah. Kupikir, tidak ada salahnya mencoba. Aku juga ingin menjadi bagian penting dari kelompokku.
"Gue mau nyerah," cicitku pelan, tanpa sadar menangis. Besok jadwal kewirausahaan dan pak Komar akan mengecek keuangan setiap perusahaan.
Kembali, aku meraih buku keuangan yang tertindih kakiku. Menatap tanpa minat sembari mengernyit kesal. "Kenapa, sih, nggak ada yang bisa ngertiin gue?! Ini bukan lagi masalah enggak becus, tapi gue udah nggak nyaman bareng mereka!"
Terbersit ingin mengadu kepada guru mapel.
Tapi, pak komar belum tentu setuju. Bisa saja dia menanya yang macam-macam ketika aku mengajukan undur diri. Yang kutahu, semua guru tidak mau mengerti perasaan muridnya.
Aku bangkit menuju meja belajar.
Kemarin modal jualan kripik berapa?
Setelah ceklis satu di grup muncul, menunggu beberapa saat aku segera melihat info dibaca. Sudah ada Sani, Wika dan Thea yang membaca. Tapi sampai beberapa menit berlalu, tidak ada yang merespons.
Aku mendengus kesal. Lalu mulai mengetik lagi.
Plis kerja samanya ... hasil fisik sama catatan keuangan gue nggak balance.
Menyebalkan!
Sekarang malah tidak ada yang membaca.
Aku segera menuju roomchat dengan Larasati, si siswi cerdas yang menjabat direktur di kelompokku.
Laporan keuangan belum jadi. Gue nggak tahu modal bikin kripik kemarin berapa. Gue nanya di grup nggak ada yang respons. Gue kebingungan sendirian, bego!
Tanpa sadar, aku mengetik pesan itu berapi-api. Semakin kesal kala pesan yang kukirim hanya ceklis satu.
Ternyata, Larasati online dua hari yang lalu.
[.]
Jum'at, 31 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
When an Introvert Becomes Treasurer
Short StoryTidak ada yang salah dari Introvert. Semua orang pasti memiliki sifat satu itu kan? Pendiam. Pemikir. Antisosial. Tidak asik. Aku ... cuma ingin jadi berguna sekali saja. Jauh dari tudingan miring seperti yang kusebutkan. Tapi, kenapa susah, ya? Ak...