Selepas menginjakkan kaki di ubin kelas, yang kudapati adalah teman-temanku yang rusuh. Ada si bos genk kelas yang terkenal bar-bar tengah sibuk pada dagangan sembako di atas meja. Bibirnya tak henti berbicara.
"Woy, yang nyokapnya butuh sunlight, gula sama rinso bisa beli di gue aja, ya. Kalo ada temen sendiri yang jual kenapa harus ke yang lain-lain, sih?" katanya mempengaruhi. Mendapat sorakan dari beberapa anak.
Aku mulai melangkah ke bangku, pandanganku tak henti menyisiri sepenjuru. Kelompok lain sepertinya tak punya masalah dalam berjualan.
Beberapa saat aku mendudukkan diri, Sasha mendekati. "Uangnya gimana, Sha, udah pas?"
Aku cemberut. Tak habis kekesalanku semalam karena kena kacang, aku semakin dibuat deg-degan ketika mengingat hari ini si bendahara bakal kena interogasi dari pak komar.
"Belum."
Wajah Sasha berubah kaget. "Ha? Nanti suruh laporan padahal."
"Ya emang! Udah, deh, gue pusing."
"Tinggal kurang apa, sih?" Dia tampak penasaran.
"Enggak tahu. Gue juga nggak paham." Perasaan ingin bilang menyerah seketika menggebu-gebu.
Hari ini, Sha! Lo harus berani bilang! Demi hidup lo ke depannya.
Terdengar lebay ya? Mungkin bagi yang tidak paham, iya. Tapi bagi yang merasakan mungkin mereka akan melakukan hal yang sama.
Ratih---teman sebangku sekaligus sekretaris di kelompokku---menyahut, "Belum beres, ya? Makanya besok-besok dicatetin biar enggak bingung."
Aku meliriknya kesal. Dia ini!
Ketika aku hendak menimpali, guru pelajaran perpajakan sudah keburu hadir. Aku cuma bisa memandangnya sambil mendengus.
[•]
"Jadi gimana?" Larasati memimpin rapat dadakan sewaktu istirahat kali ini. Ngomong-ngomong, kami tengah berkumpul di baris paling belakang. Dia memain-mainkan penggaris besi, menggoreskannya pada meja dan bertanya. "Kita mau jualan apalagi?"
Aku yang tengah sibuk pada pembukuan hanya menyimak. Masih fokus mengutak-atik kalkulator. Aku sudah bertanya pada Larasati mengenai modal, namun karena kemarin kami terlalu kalap dalam berjualan, kami sampai lupa mencatat pengeluaran-pengeluarannya.
"Sebenernya gue perhatiin kelompok Gaby laris banget ya jualan sembako." Ira berpendapat.
"Hooh, lah. Para orang tua butuh itu setiap hari. Kalau disimpan juga enggak khawatir kedaluwarsa." Sasha menimpali.
Aura bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya berkilat kesal menatap Larasati. "Gue bukannya dari awal emang bilang sembako? Terus siapa yang nyuruh jualan kripik, hah?!" sentaknya nyolot, sampai bola matanya memelotot.
Jujur saja, kadang watak Aura yang seperti ini yang membuat suasana kelompok memanas.
"Ya, 'kan kemarin pak Komar bilang makanan kering aja." Larasati balik menatap Aura.
"Terserah lah!!" Aura menatap sinis kami, tangannya terkibas ke udara lantas pergi.
Mereka semua---kecuali aku--- cuma bisa memandang kepergian Aura dengan raut yang berbeda-beda.
"Udah, deh, besok ke rumah Sasha lagi aja. Kita jualin produk sisa kemarin ke tetangga Sasha. Kalo bareng-bareng pasti laku. Kita bisa mencar-mencar jualannya." Larasati kembali memberi usul.
"Jangan di rumah gue lagi! Gantian, lah!"
"Ya masalahnya kalo gantian pada mau enggak?"
"Ya masalahnya kalo di rumah gue, guenya setuju enggak. Jangan asal nentuin tempat gitu aja dong!" Sasha ikut ngegas. Wajahnya merenggut.
Aku yang sudah tidak tahan dengan kepusingan ini sendirian, segera menutup buku. Menelungkupkan kepala pada lipatan tangan.
"Kalian mikir nggak, sih, kalo hari minggu kita kerkel, seninnya kita banyak tugas bikin catetan? Mau dibikin kapan anjir?!" Larasati tampak kelimpungan. Dia memang cewek cerdas, tapi kadang gampang panik juga.
"Belum lagi nanti kita mau belanja barang. Gue capek," sambungnya.
"Atau gini aja ...." Tatapannya terarah ke Trias. "Lo yang belanja aja."
Trias segera menggeleng. "Males, ah. Lagian bagian stok barang itu Amel."
Larasati mendecak. "Kalo aja ada yang mau nulisin materi gue, gue nggak papa, deh yang belanja juga."
Seketika aku tertarik mendengar itu.
"Tri, lo tulisin, deh punya gue. Nanti gue yang belanja gapapa." Larasati merayu sembari mesem-mesem. Trias tampak ogah-ogahan. "Ayolah, Tri."
"Males."
Pandangan Larasati beralih ke Tari. "Tar, tulisin punya gue, gih! Nanti gue belanja."
"Dih, gue aja baru nulis setengah! Ogah!"
Cewek berambut keriting itu lagi-lagi mendecak. "Ratih, tulisin dong!"
"Enggak mau!"
Aku yang merasa punya kesempatan, segera menyela ucapan Larasati. "Gue mau, Ra! Gue mau! Tapi syaratnya jangan jadiin gue bendahara!" Aku berujar penuh semangat. Seolah punya harapan baru.
Anehnya, Larasati cuma tersenyum dan seolah mengabaikan ucapanku, dia malah lagi-lagi memohon pada Trias, Tari dan Ratih.
Maksudnya apa coba?!
"Gue mau, Ra! Gue aja yang tulisin, sini. Lo tinggal terima beres. Tapi asal jangan jadiin gue bendahara lagi!" Tersirat nada memohon dari segenap ucapanku. Namun, lagi-lagi yang kudapati bukan respons cewek itu yang berkata iya atau tidak.
Menyebalkan!
[.]
Pernah ngalamin gini juga nggak? Atau insiden yang kurang lebih sama?😂
Jumat
31/01/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
When an Introvert Becomes Treasurer
Short StoryTidak ada yang salah dari Introvert. Semua orang pasti memiliki sifat satu itu kan? Pendiam. Pemikir. Antisosial. Tidak asik. Aku ... cuma ingin jadi berguna sekali saja. Jauh dari tudingan miring seperti yang kusebutkan. Tapi, kenapa susah, ya? Ak...