Dipta memandang heran Sena. Aneh, entah kenapa sedari keluar dari kelas, anak itu selalu cengar-cengir nggak jelas. Ah, mungkin karena ia tidak harus mengikuti pelajaran Pak Rhima hari ini.Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan ruang laboraturium. Seorang perempuan langsing berdiri di ambang pintu, bersama nenek-nenek berpakaian merah yang wajahnya tidak begitu asing bagi Dipta.
"Apa liat-liat Kakak!"
Entah bagaimana Dipta malah mengingat nenek tua yang ditemuinya di halte bus beberapa hari lalu. Yah, wajahnya memang mirip. "Dipta, Sena. Akhirnya kalian datang juga," sambut Bu Rina girang.
Dipta dan Sena hanya tersenyum. Bibir Dipta kernyat-kernyit ketika nenek tua itu melangkah mendekatinya, lalu membisikkan sesuatu yang membuat Dipta tercengang. "Kamu ganteng."
Sena memegangi perutnya yang terasa geli. Walaupun Dipta memang tampan—namun tidak lebih tampan dari dirinya. Hal janggal jika yang mengatakan itu adalah nenek tua yang selalu dibuntuti oleh malaikat maut. Dipta garuk kepala, lalu menatap perempuan berambut keriting di hadapannya.
"Bu Rina kenapa manggil kita?" tanya Dipta akhirnya.
"Oh, iya. Bantuin Bu Guru beresin laboratorium, ya?" Sena menjulurkan kepalanya menatap ruangan yang hendak dimasuki olehnya dan Dipta. Heran, padahal ruangan ini masih bersih. Lantainya mengkilap, bahkan Sena ingin sekali tiduran di atas lantai ruang Lab. Tidak ada debu atau kotoran, itu karena kipas angin ajaib bermerek "Author" yang bertugas untuk menghilangkan noda membandel yang menempel.
Sena garuk kepala, ia membuka sepatu dan mulai mengelilingi ruang laboratorium sekolah. Telapak tangannya mengusap permukaan meja. "Tapi ruangan ini kan masih bersih, Bu?"
Sena menunjukan telapak tangannya yang bersih, seperti lantai yang sekarang dipijaknya.
Bur Rina menepuk keningnya sebenar, sedangkan nenek tua di ambang pintu hanya tertawa. Padahal ia tidak tahu apa yang sedang ditertawakannnya. "Maksud Ibu, beresin barang-barang Laboratorium dan masukkan ke kotak-kotak itu."
Bu Rina menunjuk tumpukan kotak di sudut ruangan. "Nanti akan dibakar."
"LOH?!" pekik Sena membulatkan matanya. "Kok dibakar, Bu? Kita belajar sains nanti di mana? Sena kan mau jadi Dokter—eh enggak deh, Sena mau jadi Dokter Puskesmas aja!"
Sena sepertinya tidak tahu barang-barang apa saja yang ada di laboraturium. Bukan organ-organ manusia berbentuk patung. Bukan pula perlengkapan pengamatan seperti mikroskop. Melainkan tumpukan kertas lusuh yang harus dimusnahkan.
Ini laboraturium atau perpustakaan?
Tipta tidak bersuara. Anak itu menyapu poninya ke belakang, lantas mulai memasukan tumpukan kertas itu ke dalam kotak. Sebenarnya, barang-barang laboraturium diletakkan di ruangan yang masih dikunci Bu Rina. Dikarenakan kepala sekolah yang sedang berlibur di Mesir, tidak ada ijin bagi siapa pun yang ingin menggunakan laboraturium.
"Bu, nenek itu siapa?" tanya Sena yang tiba-tiba muncul di sebelah perempuan langsing itu. "Kenapa nggak dia aja yang beresin laboraturiumnya?"
"Ntar encok nenek kambuh dong, Cu’" sahut si nenek sambil berjalan anggun menuju meja, dan duduk di atasnya. "Lagi pula suami saya, emh maksudnya kepala sekolah, menyuruh saya untuk mengawasi sekolah ini beberapa hari ke depan."
"Oh." Sena mengangguk-anggukan kepalanya, lantas memulai kegiatan membersihkan bersama Dipta.
Nenek tua itu menatap Dipta dan Sena sendu. Andaikan saudara kembarnya ada di sini, pasti ia akan marah-marah karena Rosa yang memilih untuk menggantikan posisi suaminya sementara—mengingat ia adalah wakil kepala sekolah—daripada berlibur ke Mesir.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIPTA
Teen FictionNamanya Dipta, anak yang hanya tahu rasa sakit dibenci. Tidak peduli seberapa banyak orang yang menyayanginya di dunia ini. Mengingat kata-kata; Lebih baik dibenci oleh semua orang, daripada dianggap seperti angin lalu oleh orang yang kau sayangi. ...