Part 2 Jakarta di Waktu Malam

7 1 0
                                    

Jam automatic-nya berbunyi pelan 7 kali, pertanda sudah masuk pukul 19:00. Matahari sudah lenyap seutuhnya dari cakrawala. Arlan memaksakan badannya untuk berdiri. Setelah melumat setengah potong biscuit berprotein tinggi, dan meneguk 150 ml air putih, dia berjalan ke jalur kereta kearah kiri. Dengan bantuan senter, Arlan mulai berjalan pelan.

Dari sela-sela lubang di langit-langit bawah tanah yang runtuh, Arlan dapat melihat matahari sudah benar-benar tenggelam. Bulan menyinari ruang bawah tanah melalui lubang-lubang. Langit cerah tanpa awan setelah hujan lebat beberapa hari ini. Semilir angin segar menerpa wajahnya. Jalur keluar sudah dekat. Arlan mematikan senternya, dan kegelapan pun menyelubunginya.

Dia berjalan sambil meraba-raba dinding yang lembab dan berlumut. Kakinya sesekali tersandung bongkahan-bongkahan batu. Beberapa bagian rel kereta ada yang patah dan membengkok, kakinya setidaknya 2 kali terantuk rel-rel dingin tersebut.

Tiba-tiba Arlan memberhentikan langkahnya. Sebuah pemandangan yang ganjil terpampang di depannya. Ada sekitar 3 hingga 4 zombi di depannya yang berjarak kurang lebih 100 meter. Mereka berdiri diam, kepala mereka mengadah ke langit-langit menghadap seberkas cahaya bulan yang masuk. Mereka sedang melakukan fase 'tidur'.

Saat malam, zombi-zombi ini lebih banyak diam dan tidak banyak bisa bergerak. Seolah-olah seperti sedang mengisi tenaga mereka. Kebanyakan dari mereka bersembunyi di tempat-tempat tertutup karena mereka rentan sekali diserang. Pada saat inilah, waktu paling aman untuk berkeliaran di luar sana. Saat inilah ­hunter-hunter zombie akan melancarkan serangan membabi buta kepada mereka. Tapi, sepanjang jalan tadi, Arlan tak bertemu satupun hunter atau manusia lainnya. 

Arlan tetap melambatkan langkahnya, berjalan hati-hati, melewati satu dua mayat hidup yang bergeming. Dia memperhatikan, salah satu zombi ternyata adalah anak kecil, berusia kira-kira sepuluh tahun. Tubuhnya kecil dengan luka-luka tergores sesuatu. Kulitnya pucat. Matanya sepenuhnya tertutup. Dari mulutnya air liur menetes. Selain itu, anak itu seperti anak kecil biasa.

Ada lagi sepasang mayat hidup, mereka sepertinya pasangan karena menggunakan kaos yang sama: si cowok menggunakan baju bertuliskan 'She's Mine", si cewek "He's Mine". Mata mereka kosong dan salah satu mata ceweknya sudah hilang kemana, meninggalkan lubang gelap yang kalau dilihat lebih dekat, isi kepalanya mungkin akan terlihat. Arlan memandang makhluk-makhluk itu dengan rasa kasihan tapi di satu sisi tidak ada yang dapat dia lakukan untuk menyelematkan mereka.

Setelah melewati zombi-zombi itu, Arlan sampai di stasiun dengan atap yang runtuh. Arlan menaiki salah satu peron untuk mencapai sebuah tangga eskalator yang telah mati. Di salah satu dinding stasiun tertulis nama stasiunnya, stasiun Tebet.

Stasiun MRT Tebet baru beroperasi setahun belakangan ini, melanjutkan jalur tahap pertama yang menghubungkan Lebak Bulus – Bunderan HI. Pada tahap kedua ini, jalurnya di perpanjang, berlanjut dari stasiun Benhil ke arah timur sampai ke wilayah Pondok Kopi. Kejadian pandemik virus misterius yang merubah manusia menjadi makhluk setengah hidup ini sudah merusak berbagai fasilitas umum, seperti jalur kereta bawah tanah. Serangan-serangan rudal oleh Angkatan Darat telah memutus berbagai jalus tranportasi dengan maksud untuk mengisolasi Jakarta sehinga zombi-zombi itu tidak dapat menyebar ke area yang lebih luas lagi.

Eskalator itu berderit ketika dia menginjaknya. Beberapa zombi menyadarinya dan menolehkan kepala mereka ke arah Arlan. Namun mereka tidak banyak bergerak, hanya terdiam di tempatnya. Arlan memperlambat dan memperhatikan langkahnya dengan seksama. Selain sensitif terhadap cahaya, beberapa zombi memiliki tingkat kesensitifan pada suara-suara, bahkan suara kecil sekalipun. Namun lebih banyak zombi-zombi itu yang tuli mungkin karena saraf pendengaran mereka sudah rusak seutuhnya.

In The Heart of ZombieWhere stories live. Discover now