"Gue paling ga suka liat cewe nangis. Apa lagi nangisnya gara-gara gue."
~•°∞°∞°∞°•~
Laki-laki itu menggenggam tangan Zia dengan cekalan yang sangat kencang. Bahkan sesekali Zia meringis karena sakit. Mungkin setelah dilepas nanti pergelangan tanganya akan memerah.
Laki-laki itu menuntunya menuju parkiran sekolah. Dan memojokan Zia ditembok dan kedua tanganya menghimpit tubuh Zia yang lebih pendek darinya.
"Mau lo apa si?" Ucap laki-laki itu.
Alvero Argi Gracio.
Zia membaca name tag yang ada di depan dadanya.
"Gue ga suka cara lo!" Ucap Zia yang tak menunjukan rasa takut sedikit pun.
"Seterah gue dong!"
"Lo ga pernah diajarin sopan santun ya?! Hah?" Ucap Zia yang terlihat sangat garang.
"Haha! Ga usah sok ngajarin gue deh." Ucapnya. "Ga usah banyak bacot! Sekarang lo mau apa?" Ucap Vero yang langsung to the point.
Zia yang ditanya seperti itu langsung kebingungan akan menjawab apa.
Zia malah meringis.
"Hikss.." Zia menangis seraya memegang pergelangan tanganya.
Tanganya berdarah, terlihat darahnya sampai menembus perban yang baru dipasangnya di UKS tadi.
"Ya Allah, lo kenapa?!" Ucap Vero seraya memegang pergelangan tangan Zia dan memeperhatikanya.
"Ini semua gara-gara lo. Ini luka bekas jatoh dari motor tadi dan lo malah nambahin dengan cara lo narik paksa gue sampe ke sini." Ucap Zia di sela-sela isakanya.
Jujur ini sangat perih.
Luka menganga yg belum kering malah diremas begitu saja.Vero membuka perban yang ada ditangan Zia. "Ya Allah ini malah tambah berdarah." Ucapnya khawatir.
Jujur Vero tidak suka melihat wanita menangis. Apa lagi menagis karena dirinya. Ia akan merasa bersalah akan hal itu.
"Ayo gue anter ke UKS." Ucap Vero seraya menuntun Zia.
Zia memang perempuan ketus. Ia sangat tidak suka dengan laki-laki songong seperti Vero. Apalagi laki-laki yang menggunakan uang untuk memiliki apa yang ia mau. Tapi Zia juga memiliki hati yang sangat lembut, Selembut kapas. Zia juga seperti perempuan pada umumnya. Namun, Zia tidak suka menutupi kesedihanya dengan tawa atau senyum palsu. Zia lebih menunjukan ekspresi apa yang saat itu ia rasakan. Apa yang ada diotaknya secara sepontan akan ia keluarkan melalui bibir mungilnya.
"Eh, ka Zia, kenapa lagi ka?" Ucap penjaga UKS yang tadi mengobati luka lecet Zia.
"Loh ko berdarah lagi?" Ucap Adel, setelah melihat luka ditangan Zia.
"Udah sini biar gue yang obatin, kebanyakan ngomul lo, brisik!" Ucap Vero yang langsung mengambil kotak p3k yang ada ditangan Adel.
"AW! BISA PELAN-PELAN GA SI LO! INI TUH PERIH TAU GA?!" Ucap Zia yang terus memarahi Vero yang sedang mengobati tanganya.
"Bentak-bentak tapi nangis." Ucap Vero seperti menyindir tapi tetap melakukan aktivitasnya.
Lucu.
"Bacot lo! Ini semua juga gara-gara lo kan?!" Ucap Zia yang sesekali menyeka air matanya.
"Iya Maaf." Ucap Vero. Terdengar sangat tulus.
Jujur Vero lemah jika masalah air mata perempuan.
~•°∞°∞°∞°•~
Bel pulang sekolah sudah berbunyi.
"Bro, ngopi dulu ga?" Tanya Ilham.
"Ga deh gue mah pulang aja, ngantuk." Ucap Vero.
"Tumben biasanya anti banget kalo disuruh pulang kerumah." Ucap Iyan menyahut.
"Gue mau tidur, ngantuk banget gila."
"Ya udah deh, kalo mau ngopi kabarin kita ya." Ucap Iyan.
"Siap."
"Gue duluan ya." Ucap Vero yang meninggalkan teman-temanya.
"Ati-ati, brother."
Vero mengeluarkan mobilnya dari halaman sekolah.
"Aku mau kita cerai!" Suara papihnya menggelegar sampai keluar.
Saat sampai di depan rumah. Kata itu yang pertama kali menyambut Vero.
Vero memang sudah sering mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut papihnya. Entah sejak kapan Papihnya menjadi orang keras seperti itu. Padalah dulu Vero sangat sayang kepada Papihnya. Namun, perlahan-lahan rasa sayang itu pudar dan malah berganti menjadi rasa benci.
"Jadi anak laki-laki harus kuat! Ga boleh nangis!" Ucap Papih Vero.
Saat itu umur Vero baru menginjak 5 tahun dan Vero meminta untuk diajarkan mengayuh sepeda. Papihnya lah yang selalu ada untuk Vero, menemaninya bermain bola, bermain pasir, bermain mobil-mobilan dan permainan laki-laki lainya.
Kata-kata itu yang selalu terngiang diotak Vero. Bagikan kaset rusak yang terus memutarnya berulang-ulang.
Bahkan sampai saat ini Vero benar-benar berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak boleh lemah.
Namun, entah kenapa. Saat melihat mamihnya selalu menagis karena papihnya dan sampai saat itu iya perlahan-lahan mulai membenci papihnya.
Karna itu lah Vero tidak suka melihat wanita menangis.
'Prankkk'
Satu pot bunga pecah. Papihnya melempar pot bunga itu tepat di samping mamihnya.
Vero yang mendengar itu tidak tinggal diam.
Vero segera masuk dan melihat mamihnya sedang duduk dilantai dengan mata yang sembab.
"GA USAH KASARIN MAMIH TERUS, PIH!" Ucap Vero membentak Papihnya.
Sejak saat itu Vero memang selalu membantah ucapan Papihnya.
Vero membantu mamihnya untuk berdiri dan membawanya kedalam kepelukanya.
"KAMU ANAK KECIL GA TAU APA-APA!" ucap Latif Gracio, Papihnya Vero.
"Apa? Papih bilang Vero masih kecil? Vero udah besar, pih. Vero udah tau mana yang bener mana yang salah."
"Kalo Papih memang mau bercerai sama mamih, Vero setuju kalau kalian cerai." Ucap Vero.
Itu bukanlah keinginan setiap anak. Keinginan setiap anak adalah memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tapi, apa jadinya jika semuanya dilanjutkan? Itu hanya akan membuat mamihnya tambah tersiksa. Maka dari itu Vero menyetujuinya.
"Jangan Vero jangan... Hiks.." ucap Rika, menahan agar anaknya tidak membantah ucapan papihnya. Karna bagimana pun keadaanya Latif tetaplah Papihnya.
'Plakkkkk'
BERSAMBUNG....
Kalian yang masih punya keluarga lengkap tolong disyukuri. Karna tanpa kamu sadari banyak orang yang ingin berada diposisi itu.
Ily
Siti Fatimah
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Pernah Ada
Teen FictionHIATUS SAMPAI CERITA MY TEACHER IS MY HUSBAND SELESAI. Apa yang kamu tunggu dari kepulangannya? sedangkan kamu bukan lagi rumah untuk tempatnya berpulang. Mulai: 1 Februari 2020 Selesai: - Cover by: @Raninurmalasari3 Happy Reading😉 Siti Fatimah❤