next

0 0 0
                                    

“Apa kau gila Sean. Perjanjian kita aku hanya menjadi tunangan pura-pura mu, bukan tinggal bersama Kakek mu!” bentakku.

Aku sudah menyiapkan sumpah serampah yang sedari tadi ingin aku keluar kan. Dan sekarang Sean harus menanggung semua amarahku!

“Bukankah lo sendiri yang bersedia akan menuruti apa pun keinginan gue,” jawab Sean tenang.

“Tapi kamu bilang aku akan tinggal di apartemen mu, bukan di rumah Kakek mu!” bantahku.

“Sudahlah ikuti saja permainannya. Bukankah harusnya lo  bersyukur jika bisa menjadi bagian dari keluarga besar gue, ya walaupun hanya satu bulan sih. Mengingat jika lo itu hanyalah seorang gembel yang tiba-tiba menjadi bagian dari keluarga tersohor nomor satu di Indonesia. Lo tidak perlu susah-susah ngemis kesana-kemari hanya untuk sesuap nasi dan lo harusnya tahu diri jika lo itu masih punya hutang padaku. Lo mau bayar gue pakai apa huh. Udahlah aslinya lo seneng kan bisa hidup mewah, belanja sana-sini tanpa per-“

“Cukup Sean. Apakah kamu menilai orang hanya melalui hartanya saja. Tak bisakah kamu menilai seseorang dari sisi baiknya. Jika kamu berpikir aku bahagia karena bisa tinggal dengan keluarga mu, salah Sean jawabannya salah besar. Aku lebih memilih tinggal di bawah jembatan dari pada tinggal satu atap dengan keluarga yang berpikiran rendah seperti mu. Kamu tidak tahu apa-apa tentang kehidupan ku, jadi aku mohon berhentilah menilai diriku dari luar.” Tangisku. Setelah itu ku buka pintu mobil Sean dan langsung berlari menjauh darinya. Memang ketika perdebatan itu terjadi, Sean menepikan mobilnya terlebih dahulu dan  itu menjadi peluang bagi ku untuk kabur darinya.

***

Hampir satu jam aku menangis di tepi danau, meratapi nasib ku. Mengapa hidup ku sekarang seperti ini! Dulu, semua orang begitu menghormati ku, namun sekarang jangankan menghormati melihat pun mereka jijik.

“Apa ini hukuman bagi hamba ya Allah, karena hamba sudah membuat hati Kakek sakit. Ampuni hamba ya Allah, hamba akan berusaha memperbaiki kesalahan hamba. Hamba akan minta maaf pada Kakek dan Mama, tapi hamba bingung ya Allah. Jika hamba pulang sekarang maka hamba kalah, tapi jika hamba tidak pulang maka-“ aku semakin terisak kala mengingat aku telah banyak dosa pada Kakek dan Mama “ya Allah hamba pasrahkan semua perkara hamba pada-Mu, hamba ikhlas menerima semua hasilnya.” Lanjutku sambil terus terisak.

“Steffy.”

Ku tegakkan kepala ku melihat ke sumber suara. Dan betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa suara itu suaranya Paman Herry.

“Paman,” ucapku sambil terus terisak.

“Apa yang terjadi sayang? Kenapa kamu bisa ada di sini?” Tanyanya khawatir.

“Bawa Steffy pulang Paman, Ste- ffy,” jawabku terbata-bata.

Tembus Langit Robohkan EgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang