Nama: Siti Lisna Rahmawati
Cerita inspirasi 3
Judul: Hantaran tak menjamin kebahagiaan________________________________
Hari pernikahanku tinggal menghitung hari, jantungku rasanya berdegup sangat kencang.
"Re ... tau gak?" Ibuku menyadarkan lamunanku.
"Apa Bu?"
"Katanya rezeki seorang wanita itu di lihat pas nikah, melalui hantaran yang di bawa suaminya!" Ibuku menyatukan tangannya.
"Semoga kamu juga kaya Tina, Re!" Ibu memasang ekspresi berharap tinggi.
"Tergantung rezeki Rena saja Bu, jangan terlalu berharap!" Aku mengingatkannya.
Memangnya siapa yang dapat menentukan itu, hanya Allah, dan niat Mas Ghani.
***
Mendengar shalawat berkumandang membuat jantungku sangat berdetak. Itu tandanya rengrengan pria telah datang.
Dari kejauhan ku melihat Mas Ghani sangat tampan dengan balutan jass hitam. Dan prosesi pernikahanpun di laksanakan.
***
Aku melihat hanya 5 hantaran yang di bawa Mas Ghani. Ibu terlihat sangat cemberut karena hantarannya tak sesuai dengan keinginannya.
"Dikit banget!" Ibu ketus sekali padaku.
"Sssst!" Aku menyuruh ibu memelankan suaranya. Untung Mas Ghani sedang di kamar mandi.
"Rezeki kamu jelek banget sih Re!" Ibu meninggalkanku mematung sendiri.
***
Dari kejauhan kulihat Ibu sedang berkumpul dengan tetangga. Aku belum keluar setelah kemarin menikah, karena aku tak tega meninggalkan mas Ghani yang belum bisa bersosialisasi sepenuhnya.
Brukkk.
Aku dan Mas Ghani terkejut mendapati pintu di tutup kencang. Aku penasaran mendapati Ibu yang langsung masuk ke kamar.
"Bu ... kenapa?" Aku mulai duduk di pinggirnya.
"Semua gara-gara Ghani, dia cinta gak sih sama kamu, tetangga pada ngomongin tau kamu dibawakan hantaran dikit gituh!"
"Astagfirullah Bu, masih masalah itu? Ini udah lewat Bu, biarlah!" Aku kesal. Memangnya kebahagiaan tergantung hantaran?
Melihat tekad Mas Ghani menikahiku, itu sangat membuatku bahagia.
***
"Bu kami pergi dulu yah!" Aku menyalimi tangan Ibu. Lalu di susul Mas Ghani berlaku sama.
"Sering-sering pulang Re!" Mama memelukku.
Kami memang berencana merantau, aku tak tega Mas Ghani tinggal di rumahku, dan ia juga tak mau mendapat perlakuan yang sama.
***
"Gimana Mas lancar?" Aku tersenyum mendapati suamiku baru pulang kerja.
"Seperti biasa De!" Mas Ghani duduk menyandarkan kepalanya di bahuku.
Mas Ghani memang mengelola sebuah restoran, ia di percayakan oleh atasannya pada cabang baru.
***
"Sayang alhamdulilah!" Dari sebrang sana ku dengar Mas Ghani sangat bahagia.
"Ada apa Mas?" Aku penasaran kali ini.
"Mas bisa membuat sesuatu yang baru di restoran, dan itu menarik minat pelanggan, makasih ya sayang ini berkat kamu!"
***
Setelah hampir 3 bulan tidak pulang, hari ini aku pulang ke rumah Ibu, kangen juga rasanya tidak bertemu Ibu.
"Renaa!" Dari kejauhan aku menatap Ibu berseri-seri melihat kepulanganku.
"Ibu!" Akupun sama hal nya tak kuasa menahan tangis bertemu Ibu. Maklumlah dulu aku sangat manja, berpisah dengan Ibu rasanya sedih jika di ceritakan.
"Bu ini ...!" Aku menunjukan sebuah atm.
"Ini apa Re?"
"Di dalam sini ada uang, alhamdulilah kami kemarin mendapat rezeki Bu, ini buat bekel Ibu." Aku dan Mas Ghani tersenyum.
"Buat Ibu?" Ibu menatapku dan Mas Ghani bergantian, lalu menangis.
Kami berdua mengangguk, lalu menggiring Ibu masuk karena kami sudah lelah di perjalanan.
***
Hampir seminggu aku menginap di rumah Ibu, dan ini hari terahir, aku disini, karena restoran Mas Ghani tidak bisa di tinggal lama-lama.
"Bu tolong kasih ini pada tetangga ya!" Aku sengaja membeli beberapa makanan untuk oleh-oleh karena kemarin waktu di kota belum sempat beli.
"Iya Re!"
***
"Ini Bu ada sedikit Rezeki," ucapku. Aku ikut membagikan makanan ini.
"Wah Rena nampaknya sudah sukses sekali ya sekarang, bisa berbagi seperti ini!"
"Ah tidak juga," sanggahku.
***
"Kami pamit dulu ya Bu!"
"Maafkan ibu ya Ghan!" Mama memeluk suamiku.
"Tidak apa-apa Bu, doakan saja Ghani selalu ya, meski di awal memang Ghani tidak layak, sekarang insyaallah Ghani akan terus meyakinkan Ibu, Ghani bisa menghidupi Rena!"
Kami seakan terbawa suasana, lalu kami saling berpelukan.
End.