Tuduhan

3.7K 361 47
                                    


Wati telah siap melayani para pembeli, di sampingnya emak mendampingi.  Harga-harga dagangan mereka telah ditulis di kertas yang dipegang emak.

"Jualan sayur, Bu?" tanya sekelompok ibu yang melewati rumah mereka.

"Iya, mulai hari ini." Emak menjawab ramah.

Sekelompok ibu itu mendekati meja tempat sayuran dan lauk pauk dipajang. Wati bersyukur ada ibu-ibu tetangganya yang datang untuk membeli.

Sambil memilih mereka sesekali melihat ke arah Wati lalu saling senyum diantara mereka.

"Jualan sayur karena udah gak laku ya, Wat?" tanya seorang ibu yang juga kakak kelas Wati di masa sekolah dulu.

"Apa?" Wati tak mengerti maksud perkataan lawan bicaranya.

"Pura-pura gak tau tuh," sahut ibu yang lain.

"Maksud ibu-ibu apa ya?"

"Orang sini semua udah tau, Wat."

"Maksudnya?"

"Kamu 'kan pelacur," tuduh seorang ibu yang berperawakan subur.

Deg!

Tuduhan itu menghentak jiwa Wati. Tetangga-tetangganya kini tahu apa profesinya dulu. Profesi berlumur dosa yang walaupun ia telah bertaubat tetap menimbulkan bekas.

"Jangan asal bicara!" bela Emak.

"Itu kenyataan,"

"Saya bukan pelacur!"

"Kalo ibu-ibu dateng ke sini cuma untuk menghina anak saya, lebih baik pergi!" usir emak.

"Malu tuh ketahuan belangnya," sindir salah satu ibu.

"Udah yuk, jangan belanja di sini nanti kita ketularan."

Wati benar-benar geram, ingin ia memaki ibu-ibu itu tapi ia berusaha menahan amarahnya. 

_____

Wati duduk sendirian di dalam kamarnya, matanya menatap ke arah jendela sementara tangannya sibuk mengelus perutnya yang mulai sedikit buncit.

Wati merenung, lebih dari 3 tahun ia menjadi pelacur dan mengenyampingkan rasa berdosa yang bercokol di hatinya. Tiap hari sesungguhnya rasa berdosa itu ada tetapi ia tidak mempedulikannya. Setelah diketahui hamil barulah rasa berdosa tersebut makin menguat sehingga Wati memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar. Tetapi sekarang orang-orang mencibirnya padahal ia sudah meninggalkan dunia kelam itu, apakah ia sanggup bertahan?

"De, kuatkan ibu ya! Kamu sumber kekuatan ibu," bisik Wati pada sang calon bayi di dalam kandungannya.

Tok! Tok! Tok!

"Wati, ada pak RT." Suara emak jelas terdengar dari balik pintu.

"Iya, Mak."

Ada apa lagi?

Wati segera keluar dari kamarnya. Emak menyambutnya dengan wajah tegang.

"Pak RT mau ketemu kamu,"

"Ada apa, Mak?"

"Mau bicara katanya."

"Owh." ucap Wati dengan jantung berdebar. Ia mendorong kursi roda ibunya menuju ruang tamu.

Di ruang tamu, Pak RT telah duduk bersama seorang lelaki yang merupakan pengurus RT dan dua orang perempuan yang Wati kenali sebagai tetangga dekat mereka.

"Wah sebuah kehormatan nih, kami kedatangan pak RT," ucap Wati sambil mendorong kursi roda Emak mendekati para tamu.

"Kami ke sini ingin bicara dengan Dek Wati,"

Wati duduk tepat di depan pak RT, yang memisahkan mereka hanyalah sebuah meja kecil. Di samping Wati, emak duduk di kursi rodanya.

"Silakan Pak, sampaikan apa yang mau disampaika." Mata Wati berkeliling melihat wajah-wajah tegang di hadapannya. Ini pasti bukan berita baik, batinnya bicara.

"Jadi begini Dek Wati, saya mendapatkan laporan dari ibu-ibu yang tinggal di sekitar sini," ujar Pak RT.

"Laporan apa, Pak."

"Bahwa Dek Wati ini bekerja sebagai PSK,"

"Itu dulu, Pak," potong Emak.

Wati mulai merasa tak nyaman melihat Emak yang mulai naik nada bicaranya.

"Nah bener 'kan Pak RT kalau dia itu perek, ibunya aja ngakuin." Seorang ibu berbaju merah yang ada di samping Pak RT bicara.

"Itu dulu saya bilang, bukan sekarang!" Emosi emak meninggi.

"Biar saya jelaskan," tukas Wati berusaha meredakan ketegangan yang terjadi.

"Silakan, Dek."

"Saya akui dulu saya memang bekerja sebagai PSK tapi saya sudah meninggalkan profesi itu. Saya sudah taubat, saya ingin memiliki hidup yang baik."

"Ibu-ibu di sini khawatir, Dek Wati akan menggoda suami mereka."

"Astaghfirulloh, tuduhan macam itu?!" Emak menatap para tamu dengan tatapan marah.

"Ini bukan tuduhan, hanya kekhawatiran." Lelaki yang duduk di samping Pak RT ikut bicara.

Wati mengambil nafas dan memejamkan matanya sejenak lalu ia berkata, "Saya tidak akan pernah merebut suami siapa pun, ibu-ibu tidak perlu khawatir."

"Tetangga depan rumah kamu saja, rumah tangganya berantakan gara-gara kamu," Wanita yang datang bersama Pak RT yang sejak tadi diam ikut bersuara.

"Saya sudah bilang tadi, dulu memang saya bukan perempuan baik-baik tapi sekarang saya sudah bertaubat. Saya tekankan sekali lagi saya tidak akan pernah menggoda lelaki manapun."

"Nah, ibu-ibu sudah dengar 'kan penjelasan Dek Wati?"

"Apa ada jaminan kamu gak akan menggoda suami-suami kami?"

"Saya bersumpah demi Allah saya tidak akan pernah menggoda lelaki manapun. Apa tidak cukup sumpah saya?" Air mata mulai menggenang di mata Wati, sebagai perempuan yang berusaha menjadi baik tuduhan ini benar-benar menyakitkan.

"Kalo kamu menggoda suami orang maka kamu harus pindah dari sini."

"Baik, jika itu kemauan Ibu-Ibu maka saya akan turuti." Wati berkata dengan suara bergetar.

"Nah Ibu-Ibu sudah dengar kata Dek Wati 'kan?"

"Pak RT nanti harus tindak tegas ya kalo ada kejadian?"

"Sebagai aparat pemerintahan saya pasti berusaha supaya warga tetap tenang."

"Kalian sudah dapatkan apa yang kalian inginkan, sekarang silakan tinggalkan rumah kami!" usir Emak.

Tanpa banyak kata mereka berpamitan lalu pergi dari rumah itu. Tangis Wati pun pecah setelah mereka pergi.

Struggle For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang