Sengaja

24 2 2
                                    

Bodoh

Aku cuma bisa berteriak dalam hatiku sejak satu jam yang lalu. Aku terus menyesali keputusanku untuk datang ke tempat ini. 

Kamu gila, Mawar!

Aku tau sekali. Aku memang gila. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku ini waras. Aku ingin sekali kabur dari tempat ini. Kenapa aku memutuskan untuk datang? Apa yang sebenarnya aku cari? aku tau kalau aku pasti tidak akan berani. Jantungku tidak bisa berhenti berdetak sejak dari tadi. Aku ingin sekali mengangkat kakiku. Pikiranku terus berkutat, tapi hatiku ingin tetap berada di tempat ini. Karena akhirnya, aku menemukan dia. Setelah ribuan malam yang kuhabiskan dengan menghancurkan diriku sendiri.

Aku benci perasaan cinta, tapi aku juga menyukai debaran ini. Aku tau aku bahagia. Aku sangat bergairah dan hidup. Sejujurnya, aku tidak pernah merasa sehidup ini. Aku selalu merasa hampa dan kosong setiap harinya. Namun, hari ini, aku merasa bahwa untuk pertama kalinya, aku bernapas dengan benar.

Dia ada disana. Dia, yang selama ini aku cari. Ya, silahkan bilang aku seorang stalker. Iya, aku mengikutinya sampai di tempat ini. Tidak, aku tidak tau rumahnya. Aku tidak tau apa yang dia lakukan tiap harinya. Aku hanya tau satu hal ini saja. Bahwa dia beribadah di gereja ini. Namun, aku pun tidak yakin dia bakal beribadah jam berapa. Dan, aku tidak percaya akan kebetulan yang terjadi saat ini. Sungguh, aku tidak percaya.

Bagaimana jika dia mengenaliku?

Lucu sekali. Mana mungkin dia mengenaliku lagi, sudah lima tahun lamanya sejak pertemuan kita terakhir kalinya. Bahkan aku sudah membuatnya tidak mengikutiku lagi di Instagram. Ya, benar. Sebenarnya kami saling mengenal. Kami sekolah di tempat yang sama, dari sejak taman kanak-kanak. Merasa aneh? Aku pun juga. Aku yakin merasa kenal dengan orang-orang yang bersekolah denganku. 

Tidak, aku yakin dia sudah menghapusku dari ingatannya. Aku selalu jutek pada setiap orang. Aku benci manusia pada umumnya, pengecualian orang-orang yang aku sayangi. Mengenai Instagram, aku berusaha menyembunyikan nya dari teman SMA ku. Aku tidak pernah berniat mengikuti siapapun itu. Namun, hal paling mengejutkan, adalah dia mengikutiku tidak lama setelah aku membuat Instagram. Tentunya aku mengikutinya balik.

Ya, aku tau sekali sosial media tidak ada artinya saat ini. Kita saling mengikuti tapi juga tidak pernah berinteraksi.

Aku ingin pulang saja!

Aku menyesalinya karena dia ada disana. Gereja ini tidak sebesar gereja yang lain, lebih tepatnya gereja yang cukup kecil. Pastinya, aneh, dan sangat random jika aku berada disini saat ini. Setelah pak pendeta menyelesaikan doa penutup, aku harus kabur secepat mungkin. Aku tidak bisa terlihat olehnya. Sedikit lagi semua ini selesai, tinggal memberikan persembahan terakhir dan aku siap untuk pulang. Tidak mungkin semua ini lebih buruk dari itu.

"Permisi."

Tuhan, apa salahku?

Aku seharusnya mengetahuinya. Kenapa harus hari ini, kamu bertugas? Siapa yang merencanakan kebetulan ini?

Dia tepat berada di ujung deretan kursiku. Hanya berjarak tiga kursi saja diriku dari ujung. Dengan bodohnya, ketika suara itu muncul aku menoleh, dan jelas sekali mata kami saling bertatapan. Tuhan, aku saat ini sangat sadar dia masih melihatku walau aku sudah membuang muka. Aku dapat merasakan tatapannya. Aku tidak berbohong. Jika aku menoleh lagi sekarang, pasti akan ketahuan. Tapi aku masih ingin sekali melihatnya.

Aku menoleh. Dia sudah berjalan maju untuk mengembalikan kantong persembahan. Kacau. Aku tidak bisa lagi menunda kepulanganku. Aku harus segera pergi. Kenapa harus ketika aku berada di sini? Tuhan, aku sudah cukup hanya melihatnya. Aku tidak perlu lagi dia menyadari keberadaanku.

obliviousWhere stories live. Discover now