Iya, ayahku pengantar kelapa tua. Itu pun cuma jika setiap ada kelapa yang datang, biasa 3 hari sekali. Dari situlah ayahku benar-benar mendapat upah untuk menghidupi keluarga.
Lantas bagaimana dengan barang rongsok yang selalu dikerjakannya setiap malam, yang susah payah dia bela-bela tidak tidur hanya untuk memperbaiki barang-barang tersebut?
Kalau kalian tau, semua yang dia kerjakan untuk becak motor rongsok itu “TIDAK di BAYAR“.
Ketika aku mendengar kabar tersebut dari ibuku, aku juga ikut jengkel, marah, kesal apa sajalah. Kenapa coba dia rela bela-belain memperbaiki becak rongsok milik temannya yang pada ujung-ujungnya tidak mendapat apa-apa?
Kenapa juga sih dia merelakan kesehatanya hanya untuk orang yang tidak memikirkannya. Pernah aku menjumpai dia benar-benar sakit. Tubuhnya sangat lemas, batuknya sudah gak karuan nada dan iramanya, menyakitkan dada orang tersebut. Dia hanya bisa berbaring lemas untuk jangka waktu beberapa hari.
Sejenak aku berfikir, mungki dia lebih baik diberi sakit dari Sang Kuasa, dengan begitu dia bisa istirahat. Mungkin juga dari sakit itu dia sadar, kalau yang dia lakukan itu tidak baik untuk kesehatannya. Toh juga apa yang ia lakukan tidak mendapat apa-apa.Tapi pikiranku salah besar, apa yang telah terjadi kepadanya tidak membuatnya berubah sama sekali. Saat dia sudah sedikit bugar, cuma sedikit saja, dia melakukan aktifitas itu lagi dan lagi.
Sampai kapan dia akan melakukan hal itu? Aku kesal dengan berbuatanya, aku bukan benci, cuma kalau melihat salah seorang yang kusayang seperti itu, lantas aku harus bagaimana? aku juga bingung, ibu saja tidak bisa menasehatinya, apa lagi aku?
Di suatu pagi yang seisi rumah ribut oleh ocehan ayah-ibuku, aku mendengar ucapan mereka yang lantang dengan suara saling meninggi,
“pak bagaimana nasib anak kita, kalau bapak begini terus, penghasilan pas-pasan dan tidak cari kerja lain. Masih saja mengurus becak orang yang tidak mendapakan upah. Sedangkan anak kita sudah masuk kelas 3 SMA, habis ini butuh dana banyak untuk ujianya” kata ibuku berusa halus.“Ya udah lah, kalau sudah tidak bisa membiayai sekolah, ya gak usah sekolah” katanya keras.
Raut muka ibuku menjadi mengkerut.
“Jangan begitulah pak, bapak yang harus bisa cari kerja lain. Tinggalin itu becak-becak gak berguna. Paling juga di kasih 10 ribu, itu aja kalau ada yang ngasih.” kata ibuku sedikit meninggi.
“Lah mau kerja apa, reski sudah ada yang ngatur, iya itu dapatnya.”
“Tapi tidak begitu juga pak, bapak menyiksa diri kalau setiapa malam begitu.”
“Udah lah udah, kalau mau sekolah suruh anakmu cari uang sendiri”Mendengar kata-kata itu hatiku langsung sakit, sungguh sangat menusuk, apa jadinya kalau aku tidak sekolah? Kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Jujur, aku memang tidak akrab dengan ayahku. Ngobrol? itu tidak ada dalam kamus keluargaku, lebih tepatnya aku sama ayahku.
Ketemu di jalan saja kita tidak pernah saling sapa, perhatiannya kepadaku hampir tidak pernah ada. Sekali doang ketika ibu pergi kepasar dan saat aku sakit gigi, dia pernah berkata :
“Sakit gigi ta, di kasih pil sana beli di toko sebelah”
Itu kata-kata yang tak pernah terlupakan dalam hidupku. Perhatiannya mungkin terlalu mahal untuk anak-anaknya. Aku tidak tau kenapa. Mungkin sepele, tapi buat aku itu berharga sekali.Sampai suatu hari, dia pergi ke ladang, dan aku sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyedihkan
Novela JuvenilKumpulan cerita yang menyedihkan dan penuh haru Yang mana dari cerita yang akan dibaca mungkin pernah kalian lakukan dan rasakan kesedihannya