"See you, Ma!"
Ujar Ira sambil melambaikan tangan kepada seorang wanita yang berdiri di teras rumah. Ia menginjak gas, mulai meningggalkan rumah dan menutup jendela mobil.
Lagu cigarettes of ours karya Ardhito Pramono menjadi teman perjalanannya kesekolah pagi itu. Tubuhnya bergoyang kecil mengikuti irama, sambil tetap fokus menyetir. Sudah setahun sejak ia diperbolehkan menyetir sendiri ke sekolah, dan ia sangat menyukainya.
Sekitar tiga puluh menit dari rumahnya menuju kesekolah. Tinggal berbelok sedikit, dan dia akan sampai ke area kompleks sekolahnya.
Masuk gerbang, dan mobil hitam legam itu melaju menuju area parkir murid. Ia menginjak rem, merapatkan jaketnya, mengambil tasnya dan mengenakan kacamatanya.
"Ira!"
"Hai, Gem."
Cowok yang menyapanya, Gema. Cowok itu berbadan tinggi, membuat Ira yang sudah mungil terlihat makin mungil disebelahnya. Keduanya berjalan, memasuki lobby sekolah dan menuju ke lantai 3, ruang kelas mereka.
"Udah kerjain PR, Ra?" Tanya Gema lagi.
"Belum, haha. Bel masih 40 menit lagi ini. Gue kerjain dikelas aja nanti." Kata Ira sambil terkekeh.
Gema tersenyum, menatap sosok yang lebih pendek darinya itu. Rambut gadis itu dikuncir satu, poninya dibiarkan kesamping dan tidak dijepit, jadi agak berantakan. Kacamata bulat berframe tipis membuat wajahnya jadi sedikit lebih menggemaskan.
Tubuh Ira tenggelam dalam jaket hitam polos miliknya yang kebesaran, selalu menjadi poin imut sendiri bagi Gema. Ya, cowok itu memang tertarik pada Ira, meski tak begitu digubris oleh cewek itu.
"Mau ke lantai 4 nggak, Ra?" Tanya Gema setelah meletakkan barang-barangnya.
Ira mengangguk semangat. Ia setengah berlari kecil kearah Gema, dan berjalan sejajar dengan cowok yang satu itu.
...
"DUAR DUAR DUAR GUD MORNING GENGSKIIII!"
Teriakan rusuh seorang Ira membuat seisi kelas yang baru berisi 5 orang itu menoleh padanya. Iris mata Ira menangkap sesosok cowok yang sedang membaca di kursinya, entah ketempelan makhluk apa Ira justru menunduk, malu.
Ia berjalan cepat menuju ke pojok dekat jendela, tempat duduk Dera, sahabatnya. Cewek satu itu selalu datang beberapa detik sebelum bel, jadi Ira duduk dikursinya, menjelajahi laci meja yang penuh novel itu.
Gema duduk di sebelahnya, sedangkan ada Irish dan Lala di hadapannya.
"Yo, gengski. Males banget gue ulangan Fisika hari ini." Gerutu Ira.
"Males-males juga cepe lu, sat." Kata Gema sambil menoyor kepalanya.
"Gue ulangan PJOK hari ini. Gampang sih, cuma males aja."
Ira terdiam. Ngomong-ngomong soal PJOK, rasanya Ira ketinggalan sesuatu...
"Eh! Gue lupa bawa baju ganti! Astaga!" Ujar Ira mendadak panik sendiri.
"Pinjem telepon sana, Ra. Mati lu ntar sama Pak San."
Ira mengangguk, menyetujui usulan Irish. Ia bingung, harus meminjam kepada siapa. Matanya menangkap sosok tadi yang duduk di pojok, kemudian menghampirinya.
"Lah si Ira minjem hape sama Jingga?" Ujar Lala kebingungan.
"Bar-bar emang ga ngerti lagi gue sama dia." Irish menambahkan.
Jingga. Cowok itu tak banyak bicara, cuek, dan bodoamatan. Jarang sih yang ingin meminjam barang darinya kalau bukan karena ngefans. Itu juga nggak akan dikasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan, Jingga, dan Secangkir Cerita
Romance[SLOW UPDATE] "Kau tau aku sosok yang membosankan, monoton, dan menyebalkan. Rasanya mustahil ada yang mencintaiku seperti apa yang kau lakukan," Ujarnya, sore itu. "Kenapa? Kau memang membosankan, dan menyebalkan. Namun kau menulis. Segala tulisan...