Ciee yang kangen aku hahaha... Maapkeun ya baru bisa up. Ribet dah di rumah. Happy reading, Gan.🥀🥀🥀
Ambar menarik napas dalam-dalam untuk mengurai rasa lelah yang ia rasakan ketika sampai dan duduk di ruang karyawan. Ia lelah fisik dan pikiran, terlebih harus berpura-pura baik-baik saja di depan mertua dan saudara Arvin, ditambah dengan rencana menginap yang harusnya satu malam menjadi tiga malam, karena pria itu sakit.
Hampir sebelas bulan bersama Arvin, baru kali ini ia melihat pria irit bicara tersebut sakit. Ia kira manusia kutub tingkat dewa seperti Arvin tidak bakal tumbang, mengingat pola hidup pria berusia 34 tahun itu lebih teratur daripada Ambar, nyatanya dia hanya manusia biasa dan Ambar yang menerima akibatnya.
Di tengah pikiran Ambar yang bercabang-cabang, sebuah botol minuman dingin tampak di depan wajah. Otomatis Ambar mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan si pemilik botol. "Terima kasih, Pak." Ambar mengambil botol tersebut tetapi tidak langsung membukanya.
"Nggak usah formal gitu, Mbar. Biasa juga manggil Mas," ujar Dimas mendudukkan bokong di kursi sebelah Ambar.
Ambar pun tersenyum lebar menanggapi omongan Dimas. "Ck, itu kan di luar kantor. Kalo di sini mah pake 'Pak'. Bisa didemo fan situ kalo manggil 'Mas'," balas Ambar ringan. "Btw, nyari siapa? Kok, tumben-tumbenan ke belakang."
Dimas menoleh, memindai paras manis Ambar tanpa terlewat sedikitpun. "Kamu."
Wanita kulit langsat itu terperangah. "Aku? Emang ada apa, Mas. Perasaan aku nggak ada utang, deh. Kan pas kapan hari itu udah aku traktir makan. Lunas, dong, ya."
Dengan santainya Dimas menoyor kepala Ambar hingga terdorong ke belakang. "Emang jidatku ada tulisan nagih utang? Ngawur ae bocah iki. Zayn Malik, kok, dikata debt collector." Lirikan sengit Dimas berikan untuk Ambar yang cengengesan dengan dua jari membentuk huruf V.
"Ya, kali aja, Mas. Ada apa, sih? Tumbenan, lho, nyari aku. Jangan bilang kalo kangen aku. Dududu.... terhura hati dedek, Bang."
"GR!" Dimas kemudian terdiam, menimbang apakah pertanyaannya nanti mengagetkan Ambar, tapi rasa penasaran Dimas terlalu tinggi untuk ditutup rapat. "Mbar ... kamu...."
"Ya?" Tawa Ambar terhenti kala melihat ekspresi serius Dimas. Suasana yang tadinya santai mendadak tegang. "Ada apa, sih, Mas? Horor gitu lihatnya. Jangan bikin deg-degan, ih."
"Kamu beneran nikah sama Arvin?"
Seketika mata Ambar terbelalak. Dimas mengetahuinya, tetapi bagaimana bisa? Bukankah hanya Neja yang tahu hal ini. Apa Neja....
Seolah mengerti pikiran Ambar, Dimas buru-buru menjelaskan. "Sorry, aku nggak sengaja dengar kamu sama Neja ngobrol beberapa hari lalu. Selamat, ya, tapi kenapa nggak ada satu pun yang diundang? Padahal itu kabar bahagia, aku yang sering ngumpul sama dia aja nggak tahu. Kebangetan itu orang."
"Makasih, Mas," ucapnya diiringi sakit di dada dan ucapan selamat dari Dimas membuatnya melankolis. "Sayangnya bentar lagi status itu harus aku lepas," lanjutnya dengan memaksakan senyuman. Sakit di dadanya semakin bertambah usai ia mengungkapkan fakta yang sebenarnya.
Kening pria berusia tiga puluh itu berkerut dalam, tak mengerti maksud ucapan istri dari temannya itu. Dimas akhirnya mengubah posisi duduk menghadap Ambar. Mengamati paras sendu nan muram itu dengan rasa ingin tahu yang besar. "Maksudnya gimana?" tanya Dimas bingung.
Ambar menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum kecil kala melihat kebingungan Dimas. "Lagi proses cerai, Mas. Bentar lagi jadi janda hehehe...." Ia terkekeh menutupi sakit yang mendera. Mata Ambar buram dan memanas. "Gila, ya, baru 25 udah janda aja aku," ucapnya sembari tertawa dan mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata.
Ya ampun! Sungguh menyedihkan dirinya ini menangisi pria yang tidak mencintainya. Jangankan mencintai, memikirkan dirinya saja belum tentu.
Melihat Ambar menangis hingga sesenggukan membuat Dimas iba. Refleks tangan kekarnya meraih tubuh Ambar ke dalam pelukannya. Mengusap punggung wanita itu berulang-ulang.
🥀🥀🥀
"Sini, Mbar." Dimas melambaikan tangan kala melihat Ambar, Neja dan beberapa karyawan lain yang baru masuk ke Waroeng Steak and Shake dekat kantor mereka.
Ambar dan kawan-kawannya bergegas menghampiri Dimas dan Arvin. Ia pun duduk tepat di depan Arvin karena hanya bangku itu yang kosong.
Pandangan mereka pun bertemu dan Arvin memandangnya dengan intens, hingga membuat bulu kuduk Ambar berdiri. Entah mengapa, kali ini ia merasa tatapan suaminya itu berbeda.
"Yang lain mana?" tanya Dimas.
Pertanyaan pria dangam tinggi badan 175 sentimeter itu menyentak keterpakuan Ambar terhadap Arvin. Segera ia mengalihkan pandangan dengan detak jantung tak karuan.
Neja mendengkus karena pertanyaan Dimas. "Si Bapak lucu juga ternyata sampai pengin nyubit itu ginjal, Bapak," sahut Neja cepat. "Kalo semua kemari yang jaga di kantor siapa? Mbak Kunti? Makin aneh, deh, Bapak. Btw, selamat tambah umur, moga cepet ketemu jodohnya, biar nggak jomlo terus."
Ucapan Neja seketika mengundang tawa dari rekan kerja lainnya, termasuk Ambar. Ia suka melihat interaksi Neja dan Dimas jika di luar kantor. Mereka sama-sama orang yang menyenangkan.
"Hohoho... jangan salah, Marimar. Kali ini udah ada calon," bantah Dimas sombong.
Neja mencibir omongan Dimas. "Hoax-nya kemanisan, Pak. Gula aja kalah."
"Setuju. No pict, hoax!" timpal Rika.
"CK, nggak percayaan banget kalian ini." Dimas beranjak dari kursi, berjalan memutar dan duduk di samping Ambar. Tangannya ia letakkan di bahu Ambar, menariknya hingga tubuh bagian kanan wanita itu menempel pada tubuh Dimas. "Nih, calonnya. Setelah urusan dia kelar, Kakang Dimas yang tampan, baik hati, ramah dan rajin menabung, bakal halalin dia," ujarnya sombong dengan tatapan lurus ke wajah Arvin.
Kekagetan menaungi meja panjang berisi sepuluh orang itu, termasuk wanita itu sendiri. Ambar menatap Dimas tanpa suara. Apa ... Dimas meng-klaimnya sebagai calon istrinya? Ini ...
Neja menepuk-nepuk dadanya yang sakitn karena tersedak air putih tepat saat Dimas mengatakan status Ambar. Ia menggeleng guna mengusir pengar dan perih di hidung.
"Woah! Selamat, ya, Pak. Nggak nyangka banget, lho." Aris memecah kebekuan dan tidak menyadari aura ketegangan antara tiga orang di ujung meja. "Jadi ini traktiran ultah sekalian jadian, dong," tambahnya semangat.
"Selamat juga, Pak. Moga dilancarkan sampai nanti nikahan," sahut Rika.
Pria berkemeja biru muda itu mengangguk, mengangkat jempol ke arah yang lain. "Makasih, gaes. Pesen-pesen! Tapi jangan yang mahal, ya, persiapan buat nikah juga soalnya, wkwkwk." Seringai kecil tampak di bibir kala melihat reaksi Arvin. Ia kemudian menoleh Ambar yang kini melolotinya. "Kamu pesen apa, Yang?"
"Pak!" geram Ambar sereya melepas tangan Dimas dari pundaknya.
"Aish! Nggak usah marahlah, Yang. Lagian nggak capek apa main sembunyi-sembunyi terus. Kamu itu bukan simpanan yang harus disembunyiin. Status kita jelas, jadi buat apa ditutupin."
Terpaksa Ambar menampilkan senyum agar teman-temannya tidak tahu kejengkelan yang ingin ia muntahkan kepada Dimas. Ia melihat Neja yang juga melihatnya dan saling mengirim kode.
'Jaaa! Tolongin aku.'
🥀🥀🥀
Wkwkwk, ceritanya mulai absurd yak. Tapi enjoy aja ya hahahah
#kodemaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Simpanan (Part tidak lengkap)
Romans#Projek Cinta Batik Publisher Saat Ambar memilih menyerah. Satu hal di luar nalarnya terjadi hingga membuat rencana yang ia susun gagal total. Ambar dilema, jalan manakah yang harus dia pilih?