Remember when i told you
' No matter where i go,
I'll never leave your side,
You will never be alone'..Lagunya Sam Feldt yang berjudul Way Back Home, teralun merdu dari hp yang berdominan warna biru gelap.
Eza is calling.
Tiga kata yang tertera di layarnya itu, membuat senyumnya terlihat semakin manis. Jari kecilnya dengan segera menyambungkan saluran.
" Halo..?"
" Assalamualaikum" ujar Ruqaiyah sembari mengingatkan bahwa sebaik-baik sapaan adalah salam.
Yang di ujung saluran tersenyum sambil menepuk jidatnya, " eh, wa'alaikumussalam.. hehe"
" Gimana kabarnya, nih?"
" Alhamdulillah, baik. Eza gimana?"
" Alhamdulillah, sehat kok"
" Oh ya, tau berita ini, nggak?"
"Apaan tuh?"
"Katanya, mah si fulan tuh bla bla bla..."
"Ha? Weshh anjiirr gila, men.. eh katanya juga gini, lho. Dia tu bla bla bla..."
"Idihhh.. nggak nyangka.. haha"
Malah ghibah, haduhh..
•
•
Flashback
Eza memutari kamar tidurnya yang tak terlalu lebar. Hp kesayangan nya itu, diketuk nya pelan ke kepala kirinya. Laki-laki itu masih berfikir bagaimana caranya mendapatkan nomor sahabatnya. Entah kenapa, ia begitu tak sabar ingin berbicara via telepon dengan gadis itu.
Pintu kamarnya terbuka. Sebuah kepala dengan rawut wajah datar, muncul tiba-tiba dari sana.
"Oi, dek. Temanin Abang ke toko buku, yuk."
Eza terdiam sebentar. Setelah menghembuskan nafas pelan, ia mengangguk. Diambilnya kemeja kotak-kotak hijau-hitam, lalu langsung melangkah keluar kamar.
"Abang ke bagian buku pelajaran ya, dek. Kamu muter-muter aja, dulu" ucap laki-laki itu meninggalkan adeknya yang hanya bisa menghembuskan nafas berat.
Eza melihat-lihat buku di rak sudut kiri ruangan. Novel berbagai macan genre, terpampang di sana. Matanya membaca setiap judul buku. Hingga pada satu buku, alisnya agak terangkat.
Muhammad; Sang Penggenggam Hujan? Apa ini Real life nya Rasul?
Tangannya menggapai buku itu yang letaknya agak tinggi di banding buku lain. Dengan cepat, membaca sinopsisnya.
"Aduhh, nggak sampai." Keluh seorang gadis yang terus menginjit untuk menggapai buku yang di minatinya. Jilbab lebarnya bergerak, seiring angin dari AC terus berhembus.
Eza menoleh, memperhatikan gadis di sampingnya yang terus saja berusaha. Wajahnya tak tampak, karena Eza memang bisa di bilang berada di belakang si gadis.
"Maaf, ada yang bisa di bantu?" Tanya Eza sopan. Gadis itu menoleh. Seketika dua pasang mata itu terpaku melihat siapa yang diajak dan mengajaknya berbicara.
"Ru-ruqaiyah?" Tanya Eza tak percaya. Sedangkan Ruqaiyah hanya bisa menunduk, tapi matanya tetap terpaku diam menatap lantai.
"A-aku permisi dulu," ucap Ruqaiyah sedikit berlari menjauh dari Eza.
"Eh tunggu," Eza mengernyitkan dahi, melihat gadis itu semakin jauh berjarak dari dirinya. "Kok kabur, sih?"
Dengan rasa ketidak-mengertiannya, Eza mengikuti Ruqaiyah. Hanya ingin memastikan, apakah itu benar2 sahabatnya atau tidak.
Gadis itu berhenti tepat di depan rak buku fiksi. Mengambil buku yang sepertinya menarik baginya. Eza mengamati gadis itu dari jarak lima meter. Ada satu hal yang baru ia sadari. Gadis itu, entah kenapa, teduh saat dilihat olehnya. Seperti halnya mengamati hujan dan menghayati bagaimana bunyi khasnya, menenangkan jiwa. Itu yang dirasa oleh laki-laki itu kini.
Hembusan nafas yang diikuti oleh senyum damai, menjadi ekspresi Eza dalam mengungkapkan hatinya yang dipenuhi oleh kesejukan. Sepasang kaki itu mendekat. Pura-pura melihat salah satu buku, lalu mengambilnya. Membuka sembarang halaman.
"Ruqaiyah, kan?" tanya nya lembut.
Ruqaiyah terdiam, tapi tetap menganggukkan kepalanya kikuk. Pandangannya tak lepas dari buku yang ia pegang. Gadis itu tegang.
'Ke lantai bawah, ya. Aku mau ngomong'. Duhh, bilang kata itu aja kok susah, ya.. ucap Eza dalam hati.
"Em.. Nyambung mana?" Eza terkejut dengan pertanyaan yang keluar dengan sendirinya.
Lahh, kok malah nanya itu, sih?
"Lan-lanjut sana aja," jawab Ruqaiyah terbata-bata. Tubuhnya kini gemetar habis. Gadis itu menghardik dirinya sendiri, yang ingin pergi dan menghindari percakapan ini tapi tak mampu untuk meninggalkan laki-laki itu secara mendadak.
"Jurusan agama?"
"Enggak"
Udah-udah, pergi.. batin Ruqaiyah sambil perlahan berjalan sedikit menjauh.
"WhatsApp aku udah di balas kan?"
"Udah" Ruqaiyah masih saja terus berjalan. Tidak peduli dengan Eza yang terus saja bertanya.
"Tetap istiqamah, ya"
Ha?
"Iya"
Aduuhh, udah dong, ngomongnya. Mau pulang, nih.. gerutu gadis itu sambil terus saja melangkah.
"Ruqaiyah!"
Gadis itu menggepalkan tangannya kesal. Lalu memutar balik tubuhnya dengan tiba-tiba.
"Ish, apa?!" Jawabnya agak membentak. Dua mata itu saling bertemu lagi. Tampak Eza sedikit terdiam menyaksikan ekspresi gadis di depannya itu.
"Ma-maaf, kalo bikin kamu sedih" Ruqaiyah speechless. Tapi, gadis itu ingat tujuannya. Pulang.
Kok sedih?
"Iya, nggak papa, kok." Senyumnya terukir lembut. Lalu dengan cepat berlalu, hilang dari hadapan Eza.
Laki-laki itu spontan menutup wajahnya yang entah kenapa kini memerah.
Oh god, senyumnya.. Nggak kuat aku..
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Terindah
Teen FictionSemua yang terjadi adalah sebuah skenario yang dibuat oleh Sutradara yang Maha Agung. Kita tak bisa menolak, mengubah atau bahkan keluar dari alurnya. Begitu juga dengan rasa sakit, yang sering kali kita rasakan saat menghadapi beban hidup di dunia...