-lembar ketiga
sore , dibawah langit jogja.─ׅ─ׅ─ׅ─ׅ─ׅ─ׅ─ׅ─ׅ─ׅ─̥˚᳝᳝
Derap langkah kaki terdengar dari ujung lataran rumah sakit. Semilir angin sepoi-sepoi menambah syahdunya malam ini. Kali ini bulan urung menampakkan cahayanya, terganti dengan kumpulan kerlap-kerlip bintang yang terbentang tiada ujung.
Rangga mendesah pelan, rambut hitam legamnya terbang searah dengan hembusan angin. Malam ini sepi, bahkan bisa dibilang terlalu sepi. Hanya suara jangkrik dan suara knalpot kendaraan dari jalan raya, itu juga cuma beberapa.
Tongkatnya terayun, mencari benda sebagai penunjuk arah jalannya. Rangga tidak tahu mau kemana. Terkadang, ia rasanya ingin menyalahkan Tuhan atas kecacatan yang dia miliki. Tentu, itu dilarang.
Tongkat bantu berwarna coklat menuntun tubuhnya kesini, lorong gelap di sudut rumah sakit. Cahaya temaram, apalagi waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Gelap, tidak berujung, misterius, bahkan kita tidak tahu, bisa saja ada sesuatu yang sekarang sedang menunggu didalam.
Rangga tidak perduli, ia butuh rumah, ia butuh sandaran atas keluh kesah yang dideritanya selama ini. Matanya sudah lelah mengeluarkan banyak air dari sudut netra.
Tongkatnya terhenti ketika Rangga mendengar tapakkan kaki, semakin lama suaranya makin terdengar. Membuat siapa pun bergidik ngeri. Apalagi sudah larut malam.
Tanpa aba-aba, sebuah pukulan tanpa tuan berhasil mendarat halus di pelipisnya. Lantas membuat sang empu menjerit, memeluk tongkatnya sambil diselimuti angin malam.
"Mana duit lo?!" suara bass khas anak laki-laki terdengar. Membuat lorong di ujung rumah sakit tersebut bergema. Hanya tatapan iba dari benda bisu yang bahkan tidak bisa berkata.
Belum sempat Rangga membuka mulut, lelaki tersebut lebih dulu memukul rahangnya kuat. Rangga meringis, tubuhnya terpental ke belakang. Membuat baju rumah sakitnya terkena tanah yang lumayan basah.
Tangannya menopang, jejeran bintang diam-diam menyemangati dalam sunyi. Seakan membantunya untuk bangun. Dia kuat, jangan tanya mentalnya. Kata rembulan, Rangga lelaki terhebat di dunia.
Anak itu sedari tadi belum membuka mulut. Tangannya mencengkram tongkat kuat-kuat sampai tangannya memutih. Jika dilihat lebih jelas, uratnya terlihat sudah.
Tendangan berkali-kali di perutnya membuat pekikan hebat dari sang empu. Lorong semakin mencekam dengan lolongan suara meminta tolong. Tetap saja, tidak akan ada yang mendengar. Rangga meraung, ingin membalas. Tapi tenaganya bahkan sudah habis sebelum perang dimulai. Sang rival sudah memulai duluan tanpa menunggu aba-aba.
Sebenarnya pertandingan ini curang, si rival bukan seorang tunanetra.
Hingga terdengar suara dentuman keras tepat di hadapannya. Membuat kening Rangga terlipat sesaat, bingung apa yang sedang terjadi. Kemudian tersadar ketika suara khas perempuan menariknya untuk berlari lawan arah.
"Lari buruan lariii!!" tangan seseorang mencengkram Rangga seiringan dengan teriakan yang entah milik siapa.
Rangga berlari tergopoh-gopoh, meninggalkan tongkatnya di lorong. Pikirannya berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang. Berlari di malam hari sungguhlah bukan hal yang baik. Siapa sangka kalau-kalau sebentar lagi kepalanya terbentur tiang listrik? Bisa-bisa kepalanya benjol.
Setelah dirasa cukup sepi, langkah kaki keduanya terhenti. Kemudian mengatur nafas yang masih menderu akibat berlari. Tangannya bertumpu pada dengkul, tetesan keringat jatuh dari pelipis.
"Tadi siapa?" tanya seorang gadis yang kini sedang menatap Rangga. Raut wajahnya ketakutan. Jantungnya masih berdegup tanpa ampun.
Rangga menaikkan kedua alisnya dengan mata setia tertutup, "enggak tahu. Sepertinya sih, preman."
Sang gadis bergidik, "kamu preman?!"
Rangga menjawab cepat, tangannya menyilang membentuk huruf X, "eh, bukan serius, bukan aku."
Terdengar helaan nafas sejenak dari si gadis, sesaat nadanya berubah tinggi, "kenapa kamu enggak kabur? Jangan sok jagoan kayak gitu ih."
Rangga tersenyum kecil, darah segar mengalir di bibirnya, "tidak sempat, kalau aku memukulnya 'kan juga tidak mungkin."
"Tidak mungkin bagaimana?! Jelas-jelas-"
"Aku buta, enggak bisa melihat. Ntar malah makin menjadi kalau aku memukulnya." Rangga cepat-cepat memotong ucapan sang gadis. Membuat lawan bicaranya tercekat untuk sesaat. Kaget, tentunya.
Rangga kembali membentuk seulas senyum manis, senyumnya seperti dapat menggantikan tuan rembulan yang kini sedang urung menampakkan diri.
Tangannya terulur, rambutnya acak-acakan menambah dinginnya malam ini. Dini hari, pukul dua belas lewat sepuluh menit, semesta mempertemukan Jogja dengan bintangnya.
Cerita bintang tuan Jogja yang akan menuntun kalian hingga lembaran akhir,
Sang gadis menyambut uluran tangan Rangga hingga sudut bibirnya tertarik,
"Terimakasih ya, nona baik hati."
Jogjakarta, kelamnya malam tanpa tuan bulan.
❝terimakasih semesta atas harapan yang tak pernah ku pinta, menjadi rumah tempat ku mencinta.
dari aku, sang penyuka semburat merah jingga yang kehadirannya tak pernah dirasa❞
《 6 9 8 k a t a 》
KAMU SEDANG MEMBACA
sore, dibawah langit jogja.
FanfictionCerita tentang isi dari kota Jogja yang membawa kenangan indah bersama lelaki yang dipandang sebelah mata, namun penuh dengan kesempurnaan yang terpendam didalam raganya. ─ ft hwang hyunj...