One

21 2 0
                                    

Entah bagaimana ceritanya, aku mulai menjalani hidup seorang diri. Dari dulu aku memang sedikit berbeda. Aku tumbuh di keluarga yang tak utuh. Ayah dan ibu bercerai tepat disaat aku membutuhkan sosok mereka. Aku—si gadis introvert yang hanya bisa diam, tidak mampu sedikit pun menyelamatkan keutuhan keluarganya sendiri. Aku tak begitu dekat dengan keluargaku. Saat mereka berpisah, tak seorang pun mencariku. Ayah kembali ke keluarganya sedangkan ibu menikah lagi. Kakak yang tentu lebih baik dalam segala hal selalu menjadi pemeran utama dalam setiap cerita. Peranku adalah sebagai figuran—kehadiranku tak berpengaruh terhadap alur cerita. Mau seberat apapun masalahku, orang-orang tak akan peduli.

Satu hal yang pasti, figuran diciptakan untuk membantu sang pemeran utama.

Semenjak masuk universitas, aku meminta kepada ayah untuk hidup seorang diri. Aku beralasan ingin coba hidup tak beketergantungan. Kesannya seperti aku menghindar dari masalah ya? Mungkin memang benar. Setelah ayah dan ibu bercerai, aku dan kakak tinggal bersama Tante Sofie, adik ayah satu-satunya. Tante Sofie adalah seorang wanita yang menurutku sedikit otoriter. Aku dengannya sangat bertolak belakang. Dia seperti anak muda, baginya, segala sesuatu harus bersesuaian dengan trend masa kini. Hobinya menghabiskan banyak uang dalam sekali waktu. Bila diibaratkan sebagai minuman, dia itu wine sedangkan aku kopi hitam. Perumpamaan yang cukup aneh.

Saat aku mengutarakan keinginanku kepada ayah, aku pikir aku tak akan mendapat izin. Rupanya aku ini hanya ke-geer-an. Ayah mengiyakan dengan cepat, tanpa keraguan sedikit pun. Aku bingung apakah harus sedih atau senang. Di satu sisi aku memang berharap agar ayah mengizinkan, tapi di sisi lain aku ingin mencoba melihat ayah membujukku untuk tetap tinggal bersamanya. Such a nice try, aku memang bukan prioritasnya.

Hari kepergianku dari rumah disambut alam dengan sangat baik. Badai hujan disertai beberapa sambaran petir. Waktu itu ayah sedang dinas di luar kota sehingga ia tidak bisa mengantarku. Kak Nala yang baru-baru ini diangkat sebagai manajer di perusahaan fashion-nya kelewat sibuk sehingga selalu pulang malam. Tante Sofie dipastikan menganggur di rumah, walaupun begitu bisa dipastikan pula ia tak sudi repot-repot mengantarku bahkan bila hanya sampai depan pintu rumah.

Aku menaiki taksi yang melintas di jalan depan rumah. Aku berusaha mati-matian mengangkat koper dan tas jinjingku yang beratnya seperti batu ke dalam bagasi mobil. Jujur saja sopir taksi yang terlihat muda itu membuatku jengkel karena sama sekali tak membantu. Aku jelas-jelas kewalahan dengan barang bawaanku ditambah lagi hujan tak kunjung berhenti. Dia hanya duduk manis sambil sekali-kali menengokku melalui kaca spion dan menyuruhku untuk menaruhnya sesegera mungkin. Ugh, ingin mengumpat rasanya.

Tak berapa lama kemudian, taksiku sampai di depan sebuah apartemen yang well tidak terlalu mewah juga tidak terlalu buruk—tipikal tempat mahasiswa kebanyakan. Aku diam untuk beberapa saat sambil menatap hujan dan-

perang batinku dimulai lagi.

Bagi seorang introvert dengan anxiety sepertiku, meminta tolong kepada orang asing merupakan suatu hal yang berat. Entah karena takut dengan penolakkan atau mungkin denial terhadap diri sendiri, menganggap diri kuat—tak butuh bantuan orang lain. Aku sangat benci situasi seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, kali ini aku tak yakin akan sanggup mengangkat barang bawaanku seorang diri.

Setelah mempersiapkan mental, aku pun memberanikan diri.

"Maaf mas, bisa bantu saya turunin barang bawaan saya? Cuma sampai pintu masuk aja kok," pintaku malu-malu.

Ya Tuhan, aku terlihat menyedihkan sekali.

Sopir taksi itu langsung menoleh kearahku, sorot matanya aneh.

"Maaf dek, itu bukan tugas saya. Tugas saya cuma nganterin adek sampai ke tempat tujuan dan ini sudah sampai. Kalau bisa cepat keluar ya dek, saya mau narik lagi."

Deg. Aku tersentak. Benar-benar tidak percaya. Rasanya anxiety-ku terhadap orang asing semakin bertambah. Dari semua skenario yang ku bayangkan, ini adalah yang paling buruk! Benar-benar kejam, tak berperasaan, jahat, ignorant, menyebalkan, dan-

"Oh iya mas gapapa, makasih udah mau nganterin saya," kataku sembari turun dari mobil.

...payah.

Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang