4. Kecewa

89 12 2
                                    

+Happy Reading+

Mata yang terpejam, kini telah terjaga akibat suara ponsel yang menerobos gendang telinga Meira secara paksa. Suara itu sudah beberapa kali berbunyi, namun selalu ia abaikan karena rasa kantuk yang begitu berat. Semakin diabaikan, suara itu semakin mengganggu tidurnya, mau tak mau ia terpaksa mengangkat dan kini ia tidak dapat lagi memejamkan matanya.

Perkataan orang di seberang sana terus saja terngiang di kepalanya, pikirannya melayang memikirkan bagaimana nasib cowok itu jika dirinya tidak datang menemui. Ia mengembuskan napasnya, menimbang lagi apakah ia akan pergi ataukah tidak.

Saat logikanya menolak, justru hatinya bergerak memaksa untuk menghampiri cowok itu. Dengan menggunakan pakaian tidur, ia berjalan dengan cepat dan menghampiri taksi online yang sebelumnya ia pesan.

"Pak, tolong cepatan, ya!" serunya dengan panik.

"Siap, Mbak."

Meira melihat-lihat jalanan yang sedikit ramai seraya merapalkan doa, berharap tak terjadi sesuatu dengan cowok itu. Hati dan pikirannya tak bisa tenang semenjak menerima telepon tersebut.

Kadang cinta bisa membuat siapa saja hilang akal. Seperti yang sedang cowok itu alami, ia berdiri tepat di tengah jalan yang dipenuhi kendaraan berlalu-lalang. Tak jarang kendaraan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, namun hal itu tidak membuat cowok berparawakan tinggi dengan penampilannya yang lusuh menjadi takut.

Katakan saja cowok itu nekat hanya untuk mendapatkan simpati dari Meira. Di seberang sana Meira terus saja berteriak memanggil nama Dava berharap cowok itu menghendikan aksinya yang konyol.

"Dav, kamu nggak usah gila!"

"Nggak usah kayak anak kecil!"

Berteriak membuat tenggorokkannya kering, ia memutuskan untuk menyusul Dava dan menyeret cowok itu ke pinggir jalan. Rasanya muak sekali melihat kelakuan Dava yang seperti itu.

Dengan sekali embusan napas, kakinya melangkah perlahan menuju tengah jalan seraya kelapanya menoleh ke kanan dan kiri. Saat sampai di hadapan Dava, Meira meraih tangan cowok itu, tapi sang empunya menghentakkan tangannya agar tangan Meira terlepas.

"Woy, nggak usah gila!" maki salah satu pengendara. Suara klakson terus saja mengintrupsi mereka, namun Dava tak peduli dengan itu semua.

Plak!

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Dava, Meira memberanikan diri untuk menamparnya agar cowok itu sadar dengan apa yang ia perbuat.
Dengan napas yang kian memburu, Meira memaksa Dava untuk mengikuti dirinya.

"Lepasin!" seru Dava memberontak. Meira memilih tidak mendengarkan Dava—lebih tepatnya berpura-pura tidak dengar.

"Diam di sini." Meira menahan air matanya agar tidak jatuh. Bukannya ia sedih, melainkan emosi yang tidak dapat ia tahan lagi. Mungkin, kebanyakan cewek akan mengeluarkan air matanya saat emosi yang tidak dapat ditahan lagi, alih-alih berontak mengeluarkan tenaga.

"Jemput aku, bawa mobil, ya, aku sama Dava. Aku minta tolong, Vier," ucapnya dengan orang di seberang sana.

"..."

"Aku masih di sekitaran Rumah Music. Nggak jauh dari itu."

Seusai menelepon, ia beralih menatap Dava yang tidak berkutik, dari penampilannya cowok itu sangat berantakkan. Bau alkohol menyeruak, sehingga Meira mampu menciumnya. Meira mendekatkan hidungnya membaui baju yang dikenakan Dava. Lalu, tatapan penuh amarah ia layangkan pada cowok yang sedang tersenyum tanpa adanya rasa bersalah.

MEIRAWhere stories live. Discover now