6. Kini Dunia Telah Hancur

83 7 1
                                    

+Happy Reading+


Saking putus asanya, Dava kembali minum-minum bersama temannya di sebuah bar dengan pencahayaan yang minim. Dentuman musik membuat Dava beberapa kali berdiri dan berjoget ria mengikuti lantunan yang keras tersebut.

Ketika sudah dirasa cukup untuk minum, ia berjalan sempoyongan menghampiri seorang wanita yang sedang duduk di sebuah sofa, wanita tersebut tersenyum ke arah Dava yang menghampirinya. Seketika cowok itu terjatuh dalam pelukannya, kemudian wanita tersebut berdiri seraya membopong Dava ke tempat yang lebih privasi.

Sebuah ruangan kecil dengan fasilitas yang memadai. Wanita itu duduk di sofa, sedangkan Dava berjalan menuju lemari kecil yang menyimpan minuman memabukkan dengan berjalan sempoyongan. Dava kembali minum dan memerintahkan wanita tersebut untuk menemaninya minum, awalnya ia menolak ajakkan Dava, namun akhirnya ia tergoda juga.

***

Sinar matahari yang menyilaukan mengganggu tidur seorang cewek di balik selimut. Dengan mata yang masih terpejam, ia merubah posisinya menjadi duduk seraya membuka matanya perlahan. Kelopak matanya belum terbuka dengan sempurna, tapi ia ingin pergi ke toilet sekarang juga.

Saat kaki jenjangnya menuruni ranjang, cewek itu merasa ada yang aneh pada dirinya. Per sekian detik ia tersadar, kemudian membulatkan matanya dan menoleh ke samping. Bibirnya yang semula mengatup, kini terbuka dengan lebar seraya tangannya kembali menarik selimut hingga menutupi dada.

Bola matanya menatap seseorang di sampingnya dan tubuhnya secara bergantian. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya, mencoba mengulik ingatan pada malam itu. Air matanya perlahan menetes membasahi pipi, ia terisak. Ia sangat tidak percaya dengan yang ia lihat kali ini, seketika dunianya hancur.

Adanya pergerakkan membuatnya menghapus air mata dengan cekatan. Cowok itu mengucek mata untuk menyesuaikan sinar yang masuk ke retinanya.

Ia membuka matanya perlahan dan melihat orang di sampingnya samar-samar. "Ra," panggilnya lirih.

Ia mengernyitkan dahinya saat nyawanya belum terkumpul dengan penuh. Lantas, ia membulatkan matanya karena ingatan yang telah kembali. "Meira!" pekiknya terkejut.

Meira masih bungkam, air mata yang ia tahan kembali mengalir saat ingatan itu muncul dengan jelas. Sedangkan cowok itu sibuk mengumpulkan semua pakaiannya, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Ini apa, Dav?" Akhirnya Meira buka suara, menanyakan kondisi apa yang sedang ia lihat. Menurutnya, hanya Dava yang mampu menjawab dan menjelaskannya.

"Ra, pakai bajumu, kita pergi dari sini!" pinta Dava.

Meira menggeleng, bola matanya terus menatap Dava dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. "Jelasin," lirihnya.

"Ra."

"DAVA! APA YANG LO LAKUIN SAMA GUE?!" Meira tidak bisa mengontrol emosinya lagi, ia menangis sejadi-jadinya karena terlalu syok atas kejadian ini. Membayangkan hidupnya saja ia sudah tidak mampu. Seakan hidupnya telah tamat, Tuhan memaksa menutup buku untuk kehidupan dan takdirnya.

Dava mendekat dan duduk di ranjang, berhadapan dengan Meira. Ia menatap lekat bola mata cewek itu, pandangannya memburam, terlihat ada penyelasan pada sorot matanya. Dengan sekali tarikkan, ia mampu menubrukkan badan Meira pada tubuhnya, Dava memeluk tubuh mungil Meira sangat erat seraya terisak. Bukannya Dava tidak bisa menenangkan Meira, hanya saja ia juga terlalu syok dengan kejadian yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Mungkin Dava cowok yang buruk dalam mengontrol emosinya, hingga bisa membuat siapa saja terluka saat di dekatnya. Namun, cowok itu masih memiliki sisi penyayang yang tidak ingin ia rusak begitu saja. Seperti saat ini, pendiriannya telah runtuh melihat apa yang telah ia lakukan kepada Meira.

"Dav?" panggil Meira dengan lirih. Air matanya terus saja mengalir, sekali pun ia mencoba menahannya, tapi tetap saja hasilnya nihil.

Dava mengusap air mata dan melepaskan dekapannya, mencoba terlihat baik-baik saja, raut wajahnya tidak dapat didefinisikan. Kedua tangannya memegang pundak Meira, berusaha menenangkan cewek yang sedari tadi tidak berhenti menangis.

"Bagaimana kalau aku hamil?" tanya Meira dengan bibir yang bergetar. Dava menelan salivanya susah payah setelah Meira mempertanyakan masalah itu. Sejujurnya, yang dari tadi bersarang di pikirannya adalah hal itu, banyak kata bagaimana yang tidak bisa ia jawab, bahkan ada kemungkinan Meira juga tidak bisa menjawabnya.

"Nggak mungkin, Ra."

"Berapa persen ketidakmungkinan itu? Kamu bisa jamin apa, Dav?" Dava terdiam dan napasnya tercekat.

***

Meira mengurung diri di kamar indekosnya, matanya sembap akibat menangis terlalu lama. Pikirannya dipenuhi oleh kata yang tidak bisa ia jawab, seperti nasib keluarganya setelah mengetahui ini semua, nasib kuliahnya yang mungkin akan berlanjut ke S2, dan lain sebagainya. Padahal belum dipastikan bahwa ia benar-benar hamil, tapi pikiran itu selalu melintasi otaknya, seperti matahari mengelilingi bumi.

Ia mencoba memejamkan mata untuk melupakan sebentar kajadian malam kemarin. Namun, matanya enggan menutup walaupun berat. Sementara, notifikasi pesan selalu berbunyi, entah itu dari Dava atau Javier yang sekadar mencarinya.

"Kalau aku hamil beneran, apa aku harus nikah sama Dava?"

"Apa aku harus serahin diri aku dengan cuma-cuma sama cowok yang selalu kasar ke aku?"

"Hidupku pasti semakin hancur." Meira bermonolog seorang diri. Air mata kini tak lagi dapat mengalir karena telah kering. Bagaimana tidak, ia menangis tak berhenti sejak kemarin. Ia juga mengabaikan makannya, hanya minum yang ia konsumsi untuk menjaga dirinya agar tidak dehidrasi.

Panggilan telepon membuyarkan lamunannya, ia melihat layar ponselnya yang menampilkan nama Javier. Sejak semalam, Javier sibuk menghubunginya tanpa henti, bahkan ia menghampiri indekos Meira, tapi Meira enggan bertemu siapa pun sampai akhirnya Javier jera dan kembali pulang.

Cowok itu belum tahu apa yang telah terjadi pada sahabatnya. Tiba-tiba Meira menghilang tanpa kabar sejak malam itu, malam di mana Meira meminta bantuannya untuk mengantarkan ke bar tempat biasa Dava menghabiskan waktunya.

Pikiran Meira melayang memikirkan malam itu, andai saja ia tidak mesaksa Javier untuk mengantarkannya pada Dava, pasti semua akan baik-baik saja. Setidaknya impiannya masih punya harapan besar.

"Vier, aku mohon, ya? Kali ini aja, aku janji akan hapus perasaanku untuk Dava," ucap Meira sedikit memohon. Awalnya Javier tidak memberi izin setelah mendengar cerita-cerita yang sahabatnya alami selama ini. Ia mengira, bahwa Meira bahagia dengan Dava, tapi nyatanya tidak.

Terlalu bodoh untuk Javier membiarkan hubungan mereka terus terjalin yang ternyata juga menyakiti perasaannya. Ia selalu mengira Dava telah sembuh dari penyakit yang ia derita, maka dari itu ia mengizinkan Meira berkencan dengan kakak tirinya, walaupun tanpa sepengetahuan Meira.

"Jangan, deh, Ra." Ada raut khawatir di wajah Javier.

"Kenapa? Kamu bilang aku harus lupain Dava."

"Ya, tinggal lupain apa susahnya, sih. 'kan nggak harus ketemu," tegasnya. Meira merengut kesal karena ini pertama kalinya Javier menentang keputusan yang ia buat.

"Yaudah, iya," lanjut Javier yang memberi izin Meira lantaran tidak tega bila sahabatnya itu sedih.

"Oke, deh. Makasih, ya, Javier Alexander yang unyu kayak bokong anak ayam warna-warni." Meira tertawa senang. Namun, Javier memelototkan matanya mendengar dirinya disebut seperti bokong anak ayam warna-warni. Apa Meira buta karena tidak melihat kadar ketampanan yang Javier miliki selama ini? Dari dia di dalam perut pun ia sudah terlihat tampan, apa lagi setelah ia keluar dari dalam perut mamanya. Sungguh, Meira keterlaluan.

Semua sudah sirna, ibarat nasi yang sudah menjadi bubur. Hidupnya akan berubah dalam hitungan hari, bahkan jam, atau bahkan detik sekali pun. Tidak ada harapan untuk kembali seperti semula, mungkin hanya akan ada penyesalan atas hal bodoh yang ia lakukan.

MEIRAWhere stories live. Discover now