Ashurbanipal I

253 34 0
                                    

     Ishtar mendongak angkuh, rahangnya menggertak keras saling beradu.

"Aku dewi kesuburan, aku perang. Aku diasosiasikan dengan cinta." Ishtar menyabet jari lentiknya membelah udara, kaki jenjangnya mendramatisir bergerak-gerak. "Aku dewi yang dilegendakan dalam epos Mesopotamia, dan cahaya Semit. Bangsa Asiria menyakiniku. AKU! AKU AKU AKU! Aku di sembah di Babilonia, Asiria, dan Akaddia. Aku ratu surga. Aku pelindung Eann—"

"—Aku Gilgamesh." Potong si emas singkat.

    Pipi Ishtar memerah semerona tomat, jika diumpamakan, sudah menyamai gradiasi kepiting rebus. "Jangan potong ucapanku, emas batangan!"

"Ishtar." Panggil Gilgamesh keibu-ibuan.

"Apa?"

"Pintu keluarnya tepat di belakangmu." Gilgamesh memiringkan senyum mengindahkan. Naasnya Ishtar malah membela diri dan mengacungkan dua jari. "Kubunuh kau."

    Sinar merah pekat muncul di ujung kukunya, mana Ishtar sudah tertambatkan. Sepersekian detik berikutnya, ada api yang melesak lurus menuju jantung Gilgamesh. Mudah menjelaskannya, si surai emas menjentikkan jari, lalu portal sebentuk air muncul, memuntahkan pedang dan memblokir permata cair milik Ishtar.

"Hah?" Ishtar mencak-mencak mengekspresikan ketidak-sukaannya. Pikiran Gilgamesh bercabang menyaksikan itu, si Raja pahlawan menunjukkan minatnya; Gilgamesh tertarik meretakkan leher Ishtar hingga patah menjadi tujuh potongan tulang, barangkali Ereshkigal akan membayarnya. "Tampaknya daya tempurmu sudah terkikis karena tua."

"Tua katamu?" Gilgamesh menopang dagu. "Pergi berkaca, tolol!"

"Aku? Hah! Dewi kecantikan tidak memerlukannya!" Ishtar menyilang tangan angkuh, dan menertawakan umpan balik Gilgamesh.

"Enuma, ELI—"

"GILGAAAAMESH!" Enkidu tergopoh-gopoh berlari menghentikan. Keringat dingin ada di pelipisnya walau dalam stamina yang melimpah. "Mau apa kau?"

"Membasmi serangga." Jawabnya simpel.

"Meluluh-lantakkan Uruk." Koreksi Enkidu. Gilgamesh mendecih dan memasukkan kembali pedang tidak teridentifikasinya ke gerbang babilon.

"Menyebalkan! Menyebalkan, menyebalkan, menyebalkan! Aku mengutukmu menjadi biawak!" Ishtar menghentak-hentakkann kakinya. "Pokoknya aku sudah memperingatkanmu, ada gempa waktu! Atasi sendiri, pada kenyataannya nanti, kau akan bersujud memohon padaku."

     Ishtar memanggil busur gemuknya. Sekali lagi, Gilgamesh tidak peduli gadis itu mau jungkir-balik atau bagaimana, tapi busurnya terbang di langit menerobos atap ziguratnya hingga runtuh berkeping-keping; Ishtar merusak properti, dan itu terjadi nyaris tiap selasa dan kamis.

    Dewi itu pergi, memendam keluh-kesahnya seraya mencibir Gilgamesh sebagai kakek-kakek yang rentan akan minuman keras.

"Meskipun begitu, dia ada benarnya." Imbuh Enkidu meyakinkan, ia bolak-balik memikirkan kalimat yang tepat. "Gempa waktu bisa menyebabkan gangguan semesta."

"Dia ngibul." Balas Gilgamesh, lagi-lagi tidak ingin memperpanjang topik mengenai Ishtar dan hingar-bingarnya. Enkidu mendapatkan dirinya begitu skeptis akan ancaman terhadap mortal, teori-teori mengelilingi otaknya tanpa lelah. "Aku mau pergi jalan-jalan. Mohon izinmu, Yang Mulia."

   Gilgamesh kembali sibuk memindai tabletnya. Itu mengenai laporan kemiliteran yang dirinci Siduri, dan tidak disentuh siapapun kecuali oleh diirinya dan kasim. "Ya, ya, terserah."

   Enkidu membungkuk selaku prilaku hormat, sekaligus sebagai ritual pamitnya pada sang Raja.

   Enkidu lagi-lagi tersenyum hangat memandangi Gilgamesh yang kelihatannya sibuk, ia akan merasa bahagia selama bisa memperhatikan sahabatnya sehat dan berperangai sok bijak.

Fate; Uruk and EnglandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang