2. Tangis Mamah

8.9K 464 5
                                        

Satu minggu lalu.

Aku berdiri didekat jendela. Menatap kosong beberapa anak yang sedang bermain bola di halaman rumahku. Mereka tertawa dan bersorak bahagia. Aku disini, terkurung bagai burung. Tinggal di gelapnya kamar yang lebih mirip dengan gudang. Tak ada cahaya ataupun tawa seperti mereka. Aku hanya bisa menangis dan berteriak seperti orang gila.

Tapi nyatanya … aku memang gila.

Hidup yang kujalani penuh dengan duri. Aku menginjak pisau setiap hari. Tak pernah ku rasa kebahagiaan. Selalu disakiti dan dihianati. Dibenci semua orang bahkan orang tuaku.

Aku diperlakukan layaknya sampah. Aku seperti orang paling hina di dunia.

Diinjak-injak. Terluka dan terluka.

Aku tak tau mengapa aku semalang itu. Padahal, aku tak pernah melakukan apapun. Aku sosok yang pendiam. Yang kulakukan hanya membaca buku. Tapi kenapa aku selalu disalahkan? Dibully oleh teman-temanku. Disiksa oleh orang tuaku. Diruksak oleh orang yang aku cintai.

Aku cape.

Hingga memutuskan bunuh diri. Tapi, disaat aku memutuskan bunuh diri, orang tuaku datang menggagalkan rencana burukku. Tapi, otakku sudah tak sejalan. Seperti ada yang baru saja mencokelnya.

Aku yang bodoh semakin bodoh. Tertawa padahal tanganku penuh dengan darah. Ya, aku mencoba memutuskan nadiku. Mamah dan papah membawaku ke rumah sakit. Tapi tempatku bukan disana. Dokter menyerahkan aku ke RSJ.

Hari ini,

Dua tahun sudah aku dinyatakan mengidap gangguan jiwa.

Aku terkesiap saat seseorang membelai rambutku. Ku tolehkan kepalaku ke belakang. Aku menemukan mamah yang sedang tersenyum sedih. Dia melihatku seperti melihat anaknya yang sudah pergi ribuan tahun. Aku hanya menatapnya bingung.

Mamah menarik tanganku pelan.

"Duduk, yuk," ajaknya dengan suara bergetar. Dia mencoba tetap tersenyum di balik kesakitannya.

Aku duduk di samping ranjang. Mataku tetap memperhatikan anak-anak di halaman rumahku. Tawa canda mereka membuat aku tersenyum lebar. Hangat dan perih menjadi satu di lubuk hatiku. Aku tidak pernah tertawa sekeras itu. Tapi menangis sekeras itu, sudah sering aku lakukan.

Iri? Tentu saja aku iri.

Aku bertepuk tangan saat anak-anak disana bertepuk tangan. Suara riuh dan heboh menggema ketika bola masuk ke kandang lawan. Mataku berbinar melihat mereka bahagia. Aku turut merasakan kebahagiaan. Tapi disini, di hati ku, tetap saja ada duri.

Di sampingku, mamah menyisir rambutku dengan lembut. Mendadak aku merasa seperti Rapunzel.

Namun, aku tiba-tiba membeku saat mamah memelukku dari belakang. Aku ikut bergetar karena bahu mamah yang bergetar. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara isakan. Pundakku basah.

Mamah … menangis.

Kenapa mamah nangis? Hari ini aku tidak nakal. Aku tidak buat kesalahan. Mamah gak marah kok tadi, tapi kok nangis?

"Maafin Mama, Sayang," isak mamah membuat aku turut merasakan kesedihannya. Bibirku bergetar. Mata ini terasa panas. Aku berkaca-kaca mengingat kejadian dua tahun lalu. Sesak melanda dadaku. Perlahan air mataku juga jatuh.

"Maaf…" lirih mamah terdengar begitu bersalah. Aku memejamkan mataku tak kuasa. 

Mamah jahat... dulu mamah jahat... Mamah mau bunuh aku. Aku disiram air panas. Aku ditinggal di pembuangan sampah.

Aku gak mau maafin mamah.

"Tatap mamah sayang..." Dia menangkup wajahku. Ku tatap matanya yang basah dengan mata basahku. Namun, tiba-tiba bayangan dulu saat mamah menamparku berkali-kali terlintas. Posisinya sama seperti ini. Hanya saja waktu itu mamah menatapku tajam.

Aku menggeleng ketakutan. Takut kejadian itu terulang lagi. Telinga ku ku tutup dengan tangan. Aku menunduk tak berhenti menggeleng. Sungguh aku takut.

"Aleta..." Dia mencoba menyentuh tanganku. Buru-buru aku menepisnya.

Mamah … tolong jangan sentuh aku.

Mamah menangis kian jadi. "Aleta... maafin Mamah"

"Pergi!" usirku bergeser jauh darinya sampai terjatuh dari kasur. Mamah terlihat kaget. Saat dia maju hendak membantuku, aku menepis tangannya lagi. Berteriak ketakutan, "PERGIIII!"

Mamah menggeleng sendu. Mengulurkan tangannya. "Sayang..."

Aku mundur. Menatapnya takut.

Mamah… tolong jangan dekati aku. Jangan siksa aku kayak dulu. Aku gak mau di pukul.

Aku tak mau hatiku patah lagi.

Karena ketakutan yang besar, tubuhku bergetar hebat. Manik ini redup dan tersaup-saup. Dengan guncangan, aku mencoba berdiri. Memaksa kakiku yang lemah menopang tubuh tak berguna ini.

Semua anggota tubuhku sudah tak berharga. Makanya dulu papah pernah matahin tangan aku. Diinjak kuat sampai retakannya terdengar.

"Aleta jangan jauhin Mamah sayang. Sini... "

"Nggak! Jangan pukul! Jangan pukul! Gak mau sakit! Nggak!"

Tauma ini menyiksa. Aku melempari mamah dengan buku di atas meja rias. Mamah tetap maju. Tidak peduli.

"Jangan peluk. Sakit.. sakit... Mamah mukul aku lagi... gak mau sakit," lirih ku saat mamah memeluk tubuhku. Tubuh yang pernah di cambuk dan di sentuh pria.

"Maaf, ya... maafin Mama."

"Arghh..." Aku hanya bisa membalas ucapan mamah dengan suara tangisan.

"Mamah sayang sama kamu... "

"Mamah mukul aku... mukul kepala aku... sakit... sakit, Mah..."

"Iya, Sayang. Mamah minta maaf."

"Nggak mau... takut di... dipukul lagi. Aleta... Aleta gak mau."

Ku dengar isakan mamah yang menyayat.

Hampir setiap hari aku melihatnya seperti ini.

* * *

Namaku Aleta (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang