Bagaimanakah rasanya menjalani hidup sejak lahir di ruangan yang sempit, gelap, lembap, bacin, dan menyedihkan? Mungkin saja menakutkan, mengenaskan, atau memilukan. Namun, semua itu kemungkinan hanya bisa dipahami betul oleh orang yang sebelumnya mengetahui ruang hidup yang lebih baik, lebih bebas, lebih indah. Bagaimana halnya apabila kita hidup di ruangan semacam itu sejak awal mula dilahirkan? Tentulah kita tak memiliki pembanding antara ruang hidup yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Apalagi apabila kita dilahirkan dengan keadaan yang tidak lengkap—setidaknya menurut parameter manusia pada umumnya—tak memiliki penglihatan, tak memiliki pendengaran, dan tak bisa berbicara. Katakanlah, kita dilahirkan di ruangan sempit itu, ruangan yang tidak menyenangkan itu, dalam keadaan buta, tuli, dan bisu. Kiranya apa yang akan kita pikirkan? Akankah kita tetap bisa melihat? Akankah kita tetap bisa mendengar? Akankah kita tetap bisa berbicara? Semua itu mungkin saja.
Baiklah, aku akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku adalah seorang juru tulis yang gemar menulis tentang apa saja yang menurutku menarik. Setiap peristiwa bisa saja menarik bagiku meski kadang-kadang terkesan seperti tak ada yang menarik darinya dan begitu pula sebaliknya. Sikap egois ini, yang selama ini aku pertahankan, adalah alasan kenapa aku tak kunjung dikenal sebagai seorang juru tulis. Aku tak peduli pada tulisan apa yang tengah disukai pasar pembaca saat ini, kebutuhan industri penerbitan, gema tren musiman yang rapuh, dan hal-hal sejenisnya. Sejak dulu aku selalu menulis apa yang ingin kutulis.
Namaku? Oh ya, nama. Perkenalan selalu harus membawa-bawa sebuah nama. Apakah nama benar satu-satunya petunjuk identitas seseorang? Kita tak pernah tahu sebelum semua nama yang ada di muka bumi ini dihapuskan seluruhnya. Namun, tak bisa kubayangkan betapa kehidupan akan menjadi kian gelap, kian hening, kian bungkam, apabila tak ada lagi nama yang bisa kita sebutkan. Meski demikian, aku tak merasa harus memberitahukan sebuah nama. Namaku tidak penting sama sekali. Sungguh. Apa yang kubicarakan adalah kebenaran. Namaku bukan sesuatu yang pantas dan layak untuk diingat. Namaku hanyalah alfabet yang tersusun sebagai sesuatu yang dikenal sebagai sebuah nama. Namun, apakah benar namaku merupakan identitasku yang sebenar-benarnya? Aku tidak tahu. Satu hal yang kusadari adalah, aku tak pernah mengenal diriku sendiri.
Kisah ini pun tersusun begitu saja di dalam kepalaku. Bisa kita sepakati bersama bahwa kisah ini hanyalah khayalan belaka yang bermetamorfosis menjadi karikatur muram dan sama sekali tidak bersentuhan dengan peristiwa historis apa pun, tetapi sebaliknya, kita bisa juga menyepakati bahwa kisah ini ternyata berangkat dari sebuah peristiwa suram yang (pernah) benar-benar terjadi di dunia nyata. Aku akan menyepakati apa pun pilihanmu.
Apalah perbedaan fiksi dan kenyataan apabila keduanya sama-sama bisa begitu menyakitkan.
Kita sebut saja tokoh di dalam kisah ini bernama Damis. Ia seorang lelaki muda yang sejak awal kehidupannya tidak mengenal apa pun yang dinamakan identitas. Alasannya? Entahlah, kemungkinan besar karena ia tidak mampu menggunakan berbagai peranti kebahasaan. Ya, ia tidak bisa berkomunikasi. Ia tidak bisa melihat, mendengar, maupun berbicara. Kehidupan yang gelap, yang sunyi, yang bungkam, adalah kehidupan yang selama dua puluh tiga tahun dijalani oleh Damis. Aku sendiri tak pernah bisa mengira-ngira bagaimana agony yang ia rasakan. Atau bahkan, jangan-jangan, ia tidak mengalami sedikit pun agony dan malah mengamini sedemikian rupa kehidupan (jika pun layak disebut kehidupan) yang ia miliki dengan segenap penerimaan—dan bahkan kebahagiaan. Siapa yang bisa mengetahui dengan pasti ngarai terdalam perasaan manusia?
Yang aku ketahui, sesuai yang sebelumnya terstruktur dalam imajinasku, Damis dilahirkan di sebuah sel gelap dengan luas dua kali tiga meter saja. Dinding-dinding di sel gelap itu disusun oleh semacam batu marmer yang lembap, dipenuhi lumut tipis, penuh retakan, dan berkilat-kilat menandakan keberadaan semacam cairan entah apa. Aroma di sel itu? Kemungkinan besar sangat busuk. Alasannya adalah karena di sana banyak juga sel-sel lain dengan karakteristik serupa dan di dalamnya terbungkuk bekas tahanan-tahanan. Aku berkata bahwa mereka adalah bekas tahanan karena mereka sudah mati, artinya mereka sudah tidak lagi menjadi tahanan. Mereka sudah bebas. Ya, mereka sudah bebas. Aku harap bisa demikian. Sisa-sisa tubuh mereka yang mulai membusuk itulah yang menjadi sumber dari segala aroma tidak sedap yang meruap di seluruh lorong yang menghubungkan puluhan entah ratusan sel yang gelap dan lembap.
Damis memiliki seorang ibu (tentu saja, karena ia makhluk yang dilahirkan), tetapi aku sama sekali tak tahu menahu soal identitas ibu yang melahirkannya dan kemudian mati begitu saja pada tangisan pertama Damis di dunia. Ya, Damis pernah menangis, yang artinya ia mampu berkomunikasi dengan suara (sebuah bahasa verbal yang belum sempurna ejaannya). Namun, pada suatu malam (di sel gelap itu sebenarnya tidak pernah ada waktu selain malam) seorang tentara masuk dan menyeret mayat ibu Damis yang bagian selangkangannya berlumuran darah.
Entah bagaimana ceritanya, kini Damis masih berada di sel gelap itu hingga berusia dua puluh tiga tahun. Ia kehilangan penglihatan, pendengaran, dan suaranya satu hari setelah kelahirannya. Matanya dicongkel oleh semacam belati, telinganya ditusuk oleh besi panjang yang kecil, suaranya direbut karena ia diminumkan suatu cairan yang entah terbuat dari apa. Ajaibnya, Damis kecil tidak mati meskipun bila kita melihatnya saat itu kita tidak akan bisa merasakan energi kehidupan terpancar dari bayi malang itu—dan kemungkinan besar mengiranya sudah tak bernyawa. Masalah bagaimana cara ia bisa bertahan sampai dewasa, aku sungguh-sungguh tak mengetahuinya. Aku tak bisa menjabarkannya. Bisa kita sepakati bersama, bahwa itu benar-benar sebuah keajaiban.
Kini Damis sudah beranjak dewasa. Bagaimanakah kiranya pergulatan batin yang ia alami selama ini?
Agony: Penderitaan mendalam seorang anak manusia.
YOU ARE READING
AGONY
SpiritualBagaimanakah rasanya menjalani hidup sejak lahir di ruangan yang sempit, gelap, lembap, bacin, dan menyedihkan? Mungkin saja menakutkan, mengenaskan, atau memilukan. Namun, semua itu kemungkinan hanya bisa dipahami betul oleh orang yang sebelumnya m...