Catatan 1: Senjakala Kegelapan

104 5 0
                                    

Dunia memang gelap, tetapi aku sungguh-sungguh bisa melihat. Soal bagaimana aku bisa melihat dalam gelap, aku pun tak tahu pasti cara kerjanya. Yang jelas, aku benar-benar bisa tahu benda apa saja yang ada di sekelilingku. Ya, benda-benda yang ada di sekelilingku, selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, memang hanya itu-itu saja. Jeruji, tembok, permukaan tanah berkerikil halus yang apabila kita tidur di atasnya lebih dari satu jam, maka di kulit kita akan membentuk banyak ceruk kecil kemerahan. Aku sungguh-sungguh bisa melihat warna meskipun kadangkala aku bertanya-tanya tentang bagaimana cara kerjanya. Tak pernah ada yang mengajariku tentang apa pun, termasuk hal ini. Bagaimana bisa aku memiliki sepasang mata yang kukira seharusnya diisi oleh sepasang bola mata. Aku penasaran ke manakah perginya kedua bola mataku apabila memang sebelumnya aku dilahirkan dengan sepasang mata yang layaknya harus diisi dengan sepasang bola mata pula. Namun meskipun aku begitu penasaran, aku pun memiliki hipotesis: Mungkin manusia memang dilahirkan dengan sepasang mata yang tidak harus diisi dengan sepasang bola mata. Rasa penasaranku tentang ke manakah perginya sepasang bola mataku disebabkan oleh perasaan yang ganjil karena di sepasang mataku terasa ada ruang yang kosong. Aku tak merasakan sakit sama sekali saat menyentuhnya-kadang bahkan sampai menekan-nekannya ke dalam. Hanya saja, kukira ruangan yang ada di sepasang mataku menjadi sia-sia saja apabila ia memang tidak diciptakan beserta isinya. Jikapun diciptakan beserta isinya-sepasang bola mata itu-ke manakah mereka pergi?

Pada saat yang sama, aku ingin berkata bahwa aku tak mampu mendengar suara. Ya, suara. Rasa penasaran yang serupa hadir kembali selama bertahun-tahun saat aku memegangi kedua daun telingaku yang kuketahui memiliki fungsi untuk mendengar. Tapi, apakah yang dimaksud dengan mendengar itu? Kusimpulkan saja secara sederhana bahwa mendengar artinya indra kita (yaitu pendengaran-melalui telinga) mampu menangkap suara-suara. Jujur saja, aku tak bisa menangkap suara-suara meskipun aku memiliki daun telinga. Apakah memiliki telinga tidak berarti manusia bisa mendengar? Entahlah, karena aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan mendengar. Aku hanya bisa menerka-nerka kemungkinan bahwa di muka bumi ini pastilah ada sesuatu yang dinamakan suara-yang lazimnya bisa ditangkap oleh bagian tubuh manusia yang dinamakan telinga. Kukira suara-suara merupakan suatu bahasa-sebuah media untuk menyampaikan informasi. Perkara apa saja informasi yang bisa disampaikan oleh suara, aku tak tahu pasti. Yang jelas, menurut pikiranku, informasi yang ada di muka bumi ini tak terbatas jumlahnya. Toh, meskipun aku tak bisa menangkap suara-suara oleh telingaku-karena aku memang tak memiliki indra pendengaran-aku bisa mengetahui informasi-informasi melalui permukaan kulitku. Ini mungkin terbilang aneh, tetapi aku tidak tahu lagi cara 'mendengar' selain dengan kulit. Suara kutangkap sebagai sebuah getaran begitu rupa yang menjalar melalui pori-pori di seluruh tubuhku. Aku bisa menangkap pesan emosional darinya dan bisa menerka-nerka isi hati manusia yang menyampaikan informasi itu dengan teramat jelas. Misalnya saja, aku ambil contoh, pada suatu hari-entah beberapa minggu yang lalu-seorang lelaki datang dengan langkah yang kasar (ini bisa kutangkap pula melalui kulit-kulitku) ke arah ruangan di samping ruanganku. Sebuah benda yang terbuat dari besi terasa diseret di tanah dengan sangat perlahan, menimbulkan suatu perasaan rawan yang tidak asing bagiku. Napas lelaki itu, dengan embusan-embusan yang dalam dan kasar, kutangkap sebagai sebuah hawa pemburu yang penuh kemuakan. Perkara ia muak kepada siapa, aku tak tahu. Yang jelas, setelah ia melewati ruanganku dan berhenti, ia benda yang terbuat dari besi itu akan hilang getarannya dari tanah dan kemudian berlanjut pada getaran-getaran hebat dari satu sosok (kemungkinan manusia) yang menghuni ruangan di sampingku. Agaknya, apabila aku bisa menangkap secara visual melalui indra penglihatan yang lazim, benda yang terbuat dari besi itu digunakan untuk memukul seseorang itu. Hal ini bisa kusimpulkan sebagai adegan penyiksaan. Ya, penyiksaan. Apakah ada di dunia ini yang terlepas dari penyiksaan? Setelah itu lelaki yang melangkah dengan tegas itu akan berjalan kembali, dan sesekali menghampiriku untuk berbicara sesuatu-kemungkinan-yang kata-katanya tak bisa kutangkap, tetapi maknanya bisa kumengerti.

Lelaki itu sudah berada di sini selama kurang lebih lima belas tahun. Ia memang sudah biasa melakukan hal-hal yang kusimpulkan sebagai adegan penyiksaan. Kukira aku pun kadang-kadang membayangkan diri menjadi dirinya dan mengayunkan benda yang terbuat dari besi itu kepada sosok tak berdaya yang berada di sebelah ruanganku. Mungkin saja sensasi yang didapatkan begitu melegakan. Aku pun sangat ingin mencoba memukul seseorang sekuat tenaga.

Begitulah kiranya rasa kagumku kusimpan untuk lelaki itu-yang nasib hidupnya begitu menyenangkan. Ia bisa sangat sering memukul orang sekuat tenaga. Betapa hal itu membuatku iri. Kukira hal ini bukan disebabkan karena aku seorang yang kejam, apalagi sampai gila. Hanya saja, kalian bisa bayangkan, betapa kehidupanku di ruangan ini begitu membosankan. Setiap hari kulewati dengan tidur dan berpikir. Bangun apabila tembok yang berlawanan dengan jeruji sudah terasa hangat oleh matahari, kemudian diberikan sebuah piring yang berisi nasi kering dan sepotong goreng tepung yang luar biasa lezat itu, kemudin buang air kecil dan besar di pojok ruangan yang kukira memiliki sebuah lubang saluran kecil ke luar, dan kemudian tidur lagi. Setelah tidur agak lama, sampai terik matahari dirasa membakar ruanganku, aku akan mendapat makan kedua dan terakhir di sini, kemudian melanjutkan berpikir. Entah sudah berapa juta hal yang kupikirkan. Kukira manusia tidak akan pernah berhenti berpikir sampai ia mati. Dan karena aku belum mati, maka aku terus saja berpikir. Berpikir tanpa bisa melihat dan mendengar membuatku sering meragukan pikiran-pikiranku sendiri. Aku pun sempat memiliki gagasan bahwa kehidupan memang diciptakan begitu rupa, hitam, sunyi, dan bisu. Ya, aku berkata bahwa dunia ini hitam karena aku tak bisa menangkap warna-warna meskipun aku bisa melihat sesuatu yang serupa dengan warna. Karena itulah aku bisa tahu rupa wajah si lelaki, corak di seragamnya, rupa sepatunya, dan juga senapan panjang yang selalu menggantung di bahunya. Selain itu aku pun mampu melihat warna yang memancar dari tubuhnya-yang memancarkan hawa dingin yang kejam. Aku sempat merasa aneh, kenapa lelaki itu, yang memiliki pekerjaan begitu menyenangkan untuk memukuli orang, bisa terlihat begitu bosan dan muak? Apakah ia sama sekali tidak menikmati pekerjaannya yang sampai membuatku iri tersebut?

Aku memang tidak mengerti, dan meskipun aku ingin mengerti, aku tidak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan, karena toh aku tak bisa berbicara pula. Sebenarnya aku pun penasaran dengan bagian tubuh yang bernama mulut di wajahku. Kukira lazimnya mulut bisa digunakan untuk bicara. Tetapi apakah tidak semua yang bermulut bisa berbicara? Aku tidak tahu juga. Sama seperti aku tidak tahu apakah manusia yang memiliki bola mata bisa melihat atau manusia yang memiliki telinga bisa mendengar.

Aku sama sekali tak bisa berbicara meskipun sudah mencoba untuk berbicara. Aku sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud dengan berbicara. Apakah sama halnya dengan kita menyampaikan informasi? Bagaimana mekanismenya? Itulah yang selalu menjadi pertanyaanku. Tak ada orang yang mengajariku hal-hal semacam itu.

Kukira kehidupan memang diciptakan begitu rupa, hitam, sunyi, dan bisu. Tak ada gunanya aku mempertanyakan tentang warna-warna, suara-suara, dan bahasa-bahasa.

AGONYWhere stories live. Discover now