LIMA

41 7 12
                                    

Matahari terus menyongsong panas begitu lekat. Sesekali, Teres mengibaskan bajunya untuk mendapatkan sedikit angin untuk menyejukan tubuhnya. Tanpa menghentikan geraknya, ia berusaha menatap lingkungan sekitar; mencari sebuah alamat.

Lalu tak lama, Iin dan Teres sampai di alamat yang mereka tuju. Pintu depan rumah tersebut tertutup rapat, membuat mereka terpaksa mengedor-ngedor pintu tersebut dengan keras.

Sekejap tak ada respon. Iin berkeliling hanya untuk mengecek keberadaan orang rumah. Namun setelah beberapa saat, seorang wanita datang.

"Kalian polisi?" Tanya seorang wanita.

Iin dan Teres saling melirik, berharap informasi penting akan segera mereka dapatkan. Lalu mereka menghampirinya, memberi ia beberapa pertanyaan seputar keluarga korban.

"Iya. Kami dari Metro Unit Investigasi Khusus. Apakah anda tahu dimana keluarga Yusi Mahesa berada?" tanya Iin.

"Kebetulan saya wali dari Yusi. Sepupunya." Jawabnya.

Teres dan Iin menjelaskan tentang apa yang menimpa saudara wanita itu. Lalu tak lama, ia meratap sedih dan ambruk tak berdaya. Awalnya ia tak percaya dengan apa yang didengarnya, lalu ia mencoba bangkit untuk meminta keterangan lebih rinci dari Iin dan Teres.

"Dimana Yusi sekarang?" Tanya wanita itu dengan bergelagap. Tak ada jalan lain bagi Teres dan Iin, selain membawa wanita itu ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih rinci.

Di mobil, wanita itu bercerita, tentang kondisi keluarga korban saat ini.

"Yusi tinggal bersama saya, karena ia kekeh tidak mau pindah sekolah. Dia anak yang baik, tapi orang tuanya gak mau tinggal di sini. Orang tuanya pindah ke Kalimantan, karena itu, dia mutusin buat tinggal sama saya. Saya gak nyangka kalau dia bisa bernasib tragis kaya gini. Hiksss hiksss..." Tangisnya pecah seketika.
Iin mencoba menenangkan wanita itu.

"Memang kita tak pernah tau apa yang terjadi pada hidup kita dan orang-orang terdekat kita. Semuanya udah terencana. Yang kita bisa lakukan adalah menangkap psikopat itu."

***

Sementara, Maulana sudah berada di depan SLB Nusa Indah. Tak jadi menyusul Teres dan Iin, ia ingin segera menanyakan tentang Yusi di mata para guru dan temannya.

Ia berjalan menuju ruang guru. Melewati koridor yang sudah terdapat banyak siswa-siwi berkebutuhan khusus sedang beristirahat. Tiba-tiba Maulana jadi pusat perhatian mereka, sorot pasang mata sudah banyak tertuju pada Maulana. Ia hanya membungkuk, dan mengucapkan permisi kepada anak-anak yang ia lewati. Namun tiba-tiba, seorang anak menjerit dengan keras. Tubuhnya bergetar seperti dirundung rasa takut yang hebat. Maulana yang melihatnya, langsung mencoba untuk menenangkannya.

"Tidak apa-apa. Aku polisi. Aku bukan orang jahat." Ucap Maulana sambil menatap gadis itu.

Seorang guru datang dengan cepat. Ia mencoba membawa anak itu untuk ditenangkan. Ia meminta maaf kepada Maulana atas apa yang menimpanya.

"Maaf Pak. Dia memang sering kaya gini. Jadi mohon buat-"

"Tenang aja Bu. Saya paham kok." Tegas Maulana.

Lalu, ia menanyakan kepada guru tersebut dimana letak ruang guru. Lalu, guru tersebut menyuruh seorang siswa tuna wicara untuk mengantarkan Maulana menuju ruang guru.

Siswa itu sangat ramah. Walau ia tak bisa berbicara, tapi sorot matanya berkata bahwa ia sangat baik dan menyambut senang kedatangan Maulana. Namun di perjalanan, ia berhenti. Menghentikan langkah Maulana. Ia menulis sesuatu, dengan kertas kecil yang menggantung di lehernya. Maulana teraneh, ia bertanya tentang apa yang dilakukan gadis itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TITIK (Thriller in Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang