III. INSANITY

33 4 0
                                    

"Maka dari itu, perlu kesadaran dari pemerintah sendiri terkait dengan kasus nepotisme yang bahkan dilakukan sendiri oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Hal ini sangat mudah menyebabkan penurunan ekonomi dan penumpulan pisau politik."

Langit lalu mengepalkan tangannya.

"Apa gunanya kita menempuh pendidikan dengan keras, lalu terjun bebas ke lapangan jika apa yang menduduki negara kita butuhkan adalah sebuah relasi dekat?"

Langit menarik nafasnya. Kemudian ia melanjutkan, "Praktek KKN ini sangat perlu dihapuskan karena mengangkat ketidak-profesionalnya para oknum praktek KKN. Pemerintah setidaknya harus melakukan penyelidikan⏤dan memecat anggota-anggota asing yang tidak jelas latar belakangnya menjadi pemimpin negara."

Sedetik kemudian ia tersenyum, "Terima kasih atas perhatiannya, saya memohon maaf apabila banyak kata-kata saya yang menyinggung anda. Saya Langit Maheswara dari jurusan Filsafat pamit undur diri."

Audiens sontak bertepuk tangan. Bahkan juri-juri pun turut bertepuk tangan. Ardo menepuk bahu sahabatnya itu, "Good job, that's my bro."

Langit tertawa kemudian merangkul Ardo dan menggeret teman 'homo'nya itu keluar untuk mencari makan.

Mereka sampai di salah satu warung indomie dekat kampus. Warung sederhana ini selalu menjadi tempat persinggahan mahasiswa yang sedang dalam masa kritis di akhir bulan. Langit mencibir, "Lo mau makan apa? Gue bayarin."

Ardo tersenyum lebar, menggaruk tengkuknya, "Duh, jadi ga enak nih."

"Kamu jahat tapi enak kali ah."

Mereka tertawa keras. Tidak, Ardo yang tertawa lebih keras. Kemudian Ardo dengan tampang bloonnya itu memesan indomie jumbo double dengan keju dan kornet, serta telur mata sapi setengah matang.

Langit hanya memutar bola matanya malas. Magadir.

"Anyway, tadi speech konstitusi lo keren, Lang. Berani juga ya lo ngekritik pemerintah sampai segitunya," ucap Ardo sambil menyeruput kuah indomie rasa kari ayamnya.

"Namanya juga konstitusi. Kalau lo ngekritik seni mah ada di matkul gue." Langit mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Kemudian menyalakan pemantik dan membiarkan gulungan tembakau itu terbakar.

Bara api mulai mencuat keluar, disertai dengan asap yang mengepul di atasnya.

"Rokok baru?"

Langit mengangguk, "Kata Kisha, ini rokok enak buat dicobain."

"Cobain rokok apa cobain Kisha?"

"An-"

"-cobain sambil ngerokok lah, sinting lo."

Gelak tawa menggelegar di ruangan terbuka itu. "Brengsek lo ya," balas Ardo sambil tertawa.

"Tapi gue ga nyangka. Pertemuan gue yang pertama aja pas lo ngatain gue anak mami. Gue kira dia anak baik-baik⏤polos. Tapi ya, namanya juga anak tongkrongan lo, mana ada baik-baiknya," ucap Langit sambil menghisap  bakaran tembakau itu.

"Dia anak baik-baik, sebenarnya. Cuma ya kadang gue aja yang terlalu brengsek, sih." Ardo menegak es teh manisnya. Langit hanya terkekeh pelan.

Dua batang rokok habis. Ditambah tiga, milik Ardo.

Mereka akhirnya kembali ke kampus untuk menunggu pemenang lomba pidato konstitusi.

Langit duduk di kursi paling ujung aula. Ardo duduk di sebelahnya. Persis seperti sepasang kekasih yang hendak menonton bioskop.

Paling ujung, paling atas, paling gelap-

-paling tidak dianggap keberadaannya.

"Terima kasih atas partisipasinya, para peserta lomba pidato konstitusi antar jurusan. Terima kasih pula karena sudah turut serta meramaikan acara tahunan kami."

Master of Ceremony di atas panggung aula tersenyum. Di atas sana berdiri mahasiswa tingkat akhir yang seharusnya menyusun skripsi. Brian Farrel Angkasa, mahasiswa semester 7 jurusan perminyakan.

"Sesaat lagi kita akan menyaksikan pertunjukan band Red Rose dari UKM band."

"Sambutlah⏤Red... Rose!!"

Keempat perempuan cantik itu naik ke atas panggung. Mereka adalah primadona kampus. Hingga nama mereka melejit kencang ke berbagai platform social media.

Jennie Alexandria. Perempuan berwajah dingin ini memegang alih dentuman ritme.

Kemudian beralih ke tuts hitam putih, di belakangnya berdiri Park Jisoo, perempuan blasteran Korea Selatan ini selalu menjadi perhatian para laki-laki buaya di kampus. Di depan keyboardnya juga terdapat stand microphone. Membuktikan kalau gadis ini juga pandai bernyanyi.

Sampai ke kampus sebelah.

Di sebelah sang vokalis, berdiri Lalisa Manoban, keturunan Thailand. Wajahnya kecil dan manis. Ia memegang kendali atas bass.

Dan di tengah-tengah berdirilah Andanti Kisha Gayatri. Suaranya mencolok. Di bahunya menahan tali suspender gitar. Jari-jarinya dengan lentik memetik nada-nada dari gitarnya. Suaranya menggelegar, bagaikan alunan surga.

"Cewe lo tuh." Ardo menyenggol lengan Langit yang menjadi senderan kepala.

Langit hanya tersenyum.

Diam-diam merekam.

Merekam perempuannya⏤cantiknya, suara merdunya.

Oh, Langit harap semua itu ditujukan untuknya.

Sampai nada berubah menjadi nada melodi yang sedih--muram.

Now the day bleeds
Into nightfall
And you're not here
To get me through it all
I let my guard down
And then you pulled the rug
I was getting kinda used to being someone you loved

(Someone You Loved - Lewis Capaldi)

Langit tersenyum. Kecil. Tak terlihat. Di bawah remangnya lampu aula,

Langit tersenyum karena ia merasa iba.

Iba akan dirinya sendiri.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STÌGMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang