I. HOLOGRAM

63 7 0
                                    

Alunan lagu elektronik pop perlahan memenuhi ruangan kecil ini. Dentuman beat seakan hendak memecahkan gendang telinga. Beberapa gerumbulan orang bergerak mengikuti dentuman tempo musik yang semakin cepat. Semakin cepat hingga mencapai klimaksnya.

Bahkan beberapa orang terlihat sudah mengambil tempat tergelap dan terlupakan eksistensinya.

Make out.

Sementara itu, Langit Maheswara⏤mahasiswa jurusan filsafat semester 5 ini sedang memejamkan matanya. Kantuk menyerang kedua maniknya saat jam menunjukkan pukul 1 dini hari.

"Mi scuso, dude. Gue harus pulang duluan," ucap Langit sambil menepuk bahu temannya. Ardo hanya mengangguk dan kembali menegak sekaleng birnya. (Maaf, dude)

"Ga seru lo, anak mami amat. Baru jam 1."

Langit hanya tersenyum mendengar ucapan teman-temannya. Lalu ia pergi dari dance floor dan berjalan menuju mobilnya.

"Langit!"

Seketika Langit berhenti berjalan. Ia menengok ke belakang dan mendapati Kisha berdiri di ujung lorong. Kakinya berjalan mendekati Langit. Rok pendek yang ia kenakan berayun-ayun mengikuti derap langkahnya.

"Apa?" Langit berjalan beberapa langkah menyusul Kisha. Perempuan itu tersenyum, mencengkram ujung roknya menahan gugup.

"Aku boleh ikut pulang nggak Sebenarnya-"

Langit tertawa kecil, "Sebenarnya lo gak nyaman sama mereka. Ikut gue aja, bahaya perempuan pulang sendiri."

Kisha mengangguk, kemudian mengikuti Langit dari belakang.

Beberapa lama setelah obrolan singkat itu, mereka masuk ke dalam basement. Kemudian mencari mobil Langit yang terparkir di ujung basement.

Mobil sport hitam legam itu menyala, Kisha duduk di samping kursi pengemudi. Langit menyenderkan tubuhnya ke punggung kursi.

"Ambilin rokok gue di laci dashboard depan lo dong." Langit mengeluarkan pemantik dari saku celananya.

"Kamu mau ngerokok, Langit?"

"Iya. Sebentar aja. Kalau lo bosen, setel lagu aja, connectnya ke bluetooth lo tapi."

Kisha mengangguk dan membuka sebungkus rokok methol. Jari lentiknya mengapit sebatang rokok, lalu menyerahkannya pada Langit.

"Siapa bilang gue maunya satu batang?"

"E-eh? Kirain satu batang doang."

Soalnya kamu sama sekali gak ngerokok tadi.

Kisha gemetar, lalu ia memberikan sebungkus rokok kepada Langit. Langit menyalakan rokok itu di dalam mobil. Rokoknya diarahkan ke luar jendela, sehingga asapnya tidak mengepul di dalam mobil.

Setelah beberapa lama, sebatang rokok itu habis. Langit kembali menyalakan pemantik dan membakar gulungan tembakau yang ia apit di sela-sela jarinya.

"Kenapa ga setel lagu?"

"Ga ngerti, hehe."

Langit terdiam. Kembali menghisap gulungan tembakau itu.

Kisha mengotak-atik layar kecil pada mobil Langit, sedetik kemudian alunan lagu Too Good at Goodbyes dari Sam Smith memasuki indera pendengar mereka.

Setelah menghabiskan batang ketiga, Langit menutup jendelanya.

Jari Kisha masih tremor. Ia mengganti alunan halus dari Sam Smith menjadi slow beat Easy Love milik Lauv.

You got a way of making me feel insane
Like I can't trust my own brain
Unless it's screaming your name
I'd have it no other way

Mereka terdiam beberapa saat. Kisha menahan rasa gugupnya. Untuk beberapa waktu, suasana dalam mobil ini terlampau sulit ditebak.

Langit yang menyadari ekspresi ketakutan Kisha itu tersenyum kecil, lucu sekali, fikirnya. Entah apa yang ia maksud, Langit menggenggam tangan Kisha. Mencari sela-sela jari Kisha dengan mata terpejam.

Kemudian kedua tangan itu menyatu, dengan alunan lagu dari Lauv, dengan Langit yang setengah tertidur.

Perempuan manis itu terdiam. Pipinya merah padam. Ia membuang muka dengan mengarahkan pandangannya ke luar jendela.

"Sha," ucap Langit, sengaja menggantung kalimatnya.

Kisha terdiam. Tidak mau membalas ucapan Langit. Jantungnya berdetak kencang.

"Biarin gini dulu, ya? Gue ngantuk."

Entah kenapa, ucapan itu bukan apa yang Kisha harapkan.

STÌGMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang