"Vir ... Vira ... week up honey!" Sebuah gunjangan aku rasakan begitu keras hingga mampu membuatku membuka mata penuh. "Are you oke?"
"Mom ...," gumamku lirih saat melihat perempuan berhidung mancung dengan kulit kebulean berada di hadapanku dan wajahnya terlihat begitu cemas.
"Ada apa? Kenapa tadi berteriak? Mimpi buruk lagi?" tanya mommy secara beruntun dan aku hanya mampu mengangguk sambil mengusap dahi yang penuh dengan peluh. Ini memang bukan pertama kalinya aku mimpi hal yang sama, tapi sudah berulang kali dan akhirnya selalu sama--dibangunkan mommy dengan sebuah guncangan yang keras dan pertanyaan beruntun. Aku tak pernah merasa aneh dengan mimpi-mimpi itu, karena menurutku, mimpi hanyalah bunga tidur, bukan pertanda atau apa pun namanya. "Sepertinya kamu harus bertemu dengan orang pintar dan menanyakan mengenai mimpimu itu!"
"Sudahlah, Mom, ini hanya sebuah bunga tidur yang tidak perlu dikhawatirkan, toh Vira baik-baik sajakan setelah mimpi itu?" kataku yang memang tidak pernah setuju dengan pendapat mommy mengenai 'orang pintar'.
"But, Honey ...."
"No, Mom! Vira rasa tidak perlu menemui siapa pun! Nanti juga mimpi-mimpi itu akan hilang dengan sendirinya."
"Hilang dengan sendirinya? When? Ini sudah kesekian kalinya kamu mimpi yang sama, Ekavira?!"
Aku terdiam tanpa mampu menjawab pertanyaan mommy karena memang tak pernah tahu kapan mimpi-mimpi itu akan berakhir dan apakah akan berakhir? Jauh dilubuk hati, aku merasa jika semua ini memang bukan hanya sekedar mimpi, tapi sesuatu yang lebih besar. Tetapi otakku menolak jika hal itu bukan sekedar mimpi karena semuanya sangat tidak masuk logika.
Tanpa menjawab pertanyaan mommy, aku segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Kubasuh wajah yang terasa begitu lusuh dan kusam. Cermin di hadapan memantulkan bagaimana kacaunya diriku, semua tidak baik-baik saja, ada sesuatu telah menganggu pikiran dan jiwa.
"Sepertinya kamu butuh liburan, Vir!" kata mommy dengan suara yang cukup keras.
Mendengar saran dari mommy tiba-tiba aku teringat pada pesan yang diberikan oma beberapa waktu sesaat sebelum dia pergi untuk selamanya.
"Oma memiliki sebuah rumah peninggilan leluhur kita, tinggallah di sana selama sebulan maka rumah itu akan menjadi milikmu seutuhnya, Ekavira!" kata oma saat sedang berada di taman belakang rumah.
"Rumah peninggalan leluhur? Memang ada?" tanyaku antara percaya dan tidak karena selama ini oma memang tak pernah membahas mengenai rumah itu, bahkan meski hanya dalam satu kesempatan sempit.
"Oma memang tidak pernah memberitahukannya kepada siapa pun, karena rumah itu milikmu!"
Perkataan oma mampu membuatku terdiam, bagaimana mungkin sebuah rumah peninggalan leluhur tidak pernah diberitahukan sejak dulu? Dan sekarang tiba-tiba oma mengatakan jika rumah itu adalah milikku. Semuanya sangat tidak masuk akal dan seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres--tidak sesuai dengan tatanan yang semeatinya.
"Kamu tidak usah kaget seperti itu, Vira!" kata oma membuyarkan semua kebingungkanku, "rumah itu memang harus oma berikan padamu dan oma sengaja tidak memberitahukan hal itu kepada yang lain karena tidak ingin ada terjadi perselisihan diantara kalian!"
"Vira! Kamu dengar Mommy bicara tidak sih?!" kata mommy dengan suara yang jauh lebih tinggi hingga mampu membuyarkan kenanganku bersama oma.
Kulangkahkan kaki keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiri mommy yang sedang membereskan tempat tidur. Hari memang sudah pagi dan mimpi itu selalu hadir di saat aku menjelang bangun. Kupeluk tubuh perempuan yang telah melahirkanku dengan penuh perjuangan itu. Dia membalasnya dengan mengusap pucak kepalaku.
"Vira akan mempertimbangkannya, Mom," kataku sambil mengecup pipi yang tak pernah lepas dari bedak meski hanya sekejap--mungkin saat tidur pun mommy tetap menggunakan benda itu.
"Kalau sudah ada keputusan, beritahu Mommy tempat mana yang ingin kamu tuju, nanti biar Mommy siapkan semuanya!" kata mommy sambil mengelus lenganku lembut. "Sekarang bersiaplah, sebentar lagi kamu harus berangkat ke kantor 'kan?"
Namaku Ekavira Pramudiya, putri bungsu dari Hutomo Pramudiya dan Christie Pramudya. Aku memiliki dua orang kakak yang saat ini sama-sama telah menikah, Akanda dan Akhilendra. Kedua kakakku kembar? Tidak sama sekali, mereka terpaut tiga tahun. Perlu kalian tahu, mommy-ku alias Ibu Christie Pramudiya adalah seorang perempuan berdarah Indonesia-Belanda, jadi nada bicaranya memang sedikit menggunakan Bahasa Inggris. Beda dengan ayah yang merupakan orang Indonesia asli bersuku jawa, di mana tata krama selalu dijunjung tinggi oleh pria parah baya itu.
Pagi ini seperti biasa aku akan pergi ke kantor dan seharian berada di sana. Mungkin ada kalanya aku akan rapat di luar untuk bertemu dengan beberapa klien. Betul, aku bekerja pada perusahaan milik keluarga sejak lulus kuliah dua tahun lalu. Namun hal itu bukan menjadi alasan bagiku untuk berleha-leha apalagi mengabaikan semua tanggung jawab yang ayah berikan kepadaku.
"Yah, Vira katanya mau cuti untuk liburan," kata mommy saat aku baru saja menarik kursi untuk menikmati sarapan.
Ayah tidak langsung menjawab, dia menatapku sekilas sebelum akhirnya berkata, "Serius kamu mau liburan, Vir?"
"Mommy menyarankan Vira untuk liburan selama beberapa waktu, Yah," jawabku sambil mengambil nasi goreng yang sudah tersaji.
"Vira sering mimpi buruk, Yah, jadi Mommy pikir ada baiknya dia liburan dulu. Siapa tahu setelah liburan mimpi itu tidak akan kembali dan Vira bisa tidur lagi dengan nyenyak," kata mommy dengan santai sambil melanjutkan sarapannya.
"Kamu mimpi apa memangnya, Vir?" tanya ayah sambil menatapku dengan penuh keseriusan.
"Ya ... pokoknya mimpi buruk deh, Yah," kataku yang memang enggan mengatakan mimpiku secara detail. Ayah adalah orang yang sangat percaya pada perhitungan jawa alias primbon, percaya bahwa setiap mimpi itu ada maknanya dan hal-hal lain yang berbau mistis, yang jelas sangat bertolak belakang denganku.
"Mom ...," kata ayah sambil melihat ke arah mommy.
"Mommy gak tahu Vira mimpi apa, yang jelas dia bilang mimpi buruk, mungkin soal ghost, alien, atau yang lainnya," kata mommy yang dapat kupastikan itu hanya kepura-puraannya saja. Mommy tahu semua mimpiku karena aku menceritakannya saat mimpi hal yag sama untuk kedua kalinya.
"Alien?! Please, Mom, alien itu gak ada!" kata ayah sambil menyunggingkan seulas senyum. "Apa mungkin soal hantu?"
"Tidak ada yang mimpi soal hantu, Yah! Sudahlah semuanya hanya mimpi semata dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan!" pungkasku sambil beranjak dari kursi dan mengkhiri sarapan yang belum seberapa masuk ke perutku. Aku tak ingin berbicara terlalu banyak mengenai mimpi itu bersama ayah karena akhirnya akan sama seperti yang mommy katakan 'pergi ke orang pintar!'.

KAMU SEDANG MEMBACA
You & Me
HorrorSebuah tangan perlahan membelai pundakku yang tidak tertutup sehelai benang pun. Bulu kuduk pun ikut meremang merasakan adanya cairan dingin nan basah dalam belaian itu. Napas yang tadi tenang kini mulai memburu, dan jantungku berdegup lebih kencang...