malam

200 17 20
                                    

Malam sudah cukup larut saat aku sampai di sebuah rumah bercat putih fi mana halamannya dipenuhi dengan daun-daun kering yang cukup tebal. Sesekali koper yang kugeret menekan ranting hingga menimbulkan bunyi 'kres'. Jarak yang menurut orang yang kutemui tadi hanya tiga kilometer saja terasa bagai berpuluh-puluh kilometer. Bukan aku ingin melebihkan, tapi kenyataannya aku baru bisa sampai saat malam sudah hampir menginjak tengah malam.

Suara burung malam terdengar begitu dekat hingga membuat bulu kuduk berdiri. Angin yang berhembus dengan sangat perlahan seolah menjadi pelengkap dari suasana yang sedikit horor ini. Sesekali kugosok telapak tangan pada lengan bagian atas yang tidak tertutup kain untuk memberikan kehangatan di tengah dinginnya belaian sang angin.

"Kenapa aku berbuat sebodoh ini Tuhan?" gumamku yang mulai menyesali keputusan keras kepalaku.

Saat sampai di depan pintu rumah, aku langsung mengetuknya tapi tak ada satu orang pun yang membukakan pintu. Oma hanya memberikan wasiat untuk tinggal di rumah ini selama satu bulan tanpa memberikan kuncinya. Di mengatakan jika rumah ini dijaga oleh sepasang suami istri yang bertugas untuk membsihkan rumah meski sudah lama tak ditinggali. Tetapi jika melihat kenyataan yang ada di hadapanku saat ini, aku sangat sanksi jika suami istri itu membersihkan rumah dengan baik.

Terang bulan yang menyinari malam ini cukup membantuku untuk melihat keadaan rumah berlantai dua dengan cat warna putih yang mulai kusam. Teras rumah yang seharusnya bersih jika dirawat dengan baik terlihat berlawanan, kotor dan penuh dengan dedaunan kering. Belum lagi lampu yang tidak dinyalakan. Ok, sebagian orang mematikan lampu saat akan tidur, tapi tidak mungkin semua lampu termasuk di luar kan?

"Oma ... rumah ini sangat tidak terawat," gumamku sambil terus berusaha mengetuk pintu.

Akhirnya lelah menyapa setelah beberapa lama mengetuk pintuk dan berteriak memanggil siapa pun yang ada di dalam rumah tapi tak membuahkan hasil. Tubuh lelah nan lengket akhirnya roboh di depan pintu dan pasrah jika malam ini harus tidur beralaskan lantai dan berselimut langit.  Inginku tidur di atas tempat tidur yang nyaman seperti biasanya atau seindah bayangan sebelum berangkat, tapi kembali semua hanya harapan sematan karena kenyataan tak seindah bayangan.

Sambil menyandarkan punggung ke dinding sesekali aku melihat keadaan sekitar--berusaha mencari siapa pun yang kebetulan lewat pulang dari bepergian atau yang ronda, tapi semuanya nihil. Rumah peninggalan leluhurku berjarak sekitar seratus meter dari rumah warga lainnya. Inginku mengetuk rumah siapa saja dan memohon perlindungan dari dinginnya malam siapa yang akan percaya kepada orang asing sepertiku?

"Oma ... kenapa tidak memberiku kunci rumah ini saja sih biar aku bisa masuk jam berapa pun aku sampai?" tanyaku sambil menatap langit bertabur bintang. Aku adalah manusia yang percaya jika orang yang telah tiada akan menjadi bintang dan menatap orang-orang yang disayanginya penuh kasih. "Vira kedinginan dan kelaparan, Oma."

Puas kutatap langit yang perlahan mulai semakin gelap dan bintang-bintag menghilang, bukan hanya bintang tapi bulan juga ikut bersembunyi hingga membuat malam semakin gelap. Burung hantu yang tadi hanya sesekali berbunyi kini terdengar semakin sering menunjukkan kebolehan suaranya. Belum lagi angin yang berhembus semakin kencang membelai tubuh hingga menusuk sampai ke tulang.

"Neng ... Neng ... Neng ...," terdengar suara seorang pria memanggil seseorang dengan logat sunda. Aku yang hampir terpejam akhirnya membuka mata dan melihat ke sumber suara. Tidak jauh dariku berjalan seorang kakek yang dengan pakaian compang-camping dan membawa tongkat. "Neng ...."

Aku menegakkan badan saat tubuh renta pria itu semakin mendekat. Gurat kelelahan tercetak di wajahnya yang sudah berkeriput--mungkin dia sudah berjalan cukup jauh hingga akhirnya kelelahan. Perlahan dia mulai duduk di sampingku sambil sesekali mengusap keningnya yang berkeringat. Tangan itu kemudian terulur hingga dapat menggenggam tanganku. Kurasakan kasarnya tangan lelaki tua itu, dan entah kenapa bulu kudukku merinding.

"Ehm ...." Aku berdehem sejenak hanya untuk membasahi kerongkongan yang kering karena lama tak tersentuh air meski hanya seteteh. "Kakek ini orang sini atau bagaimana?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya, dia hanya melihatku dengan matanya yang tajam. Seketika bulu kuduk mulai berdiri dan membuatku beringsut mundur hingga genggaman tangannya terlepas. Masih dalam diam, kakek itu menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk garis lurus. "Saya orang sini, Neng."

Akhirnya aku dapat menghembuskan napas penuh kelegaan. Jujur saja, tadi sempat terbersit dalam pikiran jika dia bukan manusia karena tak kunjung menjawab pertanyaanku. Namun aku salah, mungkin dia hanya memerlukan waktu lebih lama untuk menjawab pertanyaanku yang begitu simpel. Tangan keriput itu kembali menggenggamku dan menariknya--bagai sebuah isyarat agar aku mendekat ke arahnya. Perlahan aku kembali duduk di sampingnya dan tangan sang kakek yang satunya mengelus punggung tanganku.

"Kamu bukan orang sini ya, Neng?" tanyanya dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Untuk apa kamu ke sini, Neng? Mencari harta karun yang tersembunyikah atah ada urusan lainnya?"

Mendengar pertanyaan sang kakek aku hanya mampu diam. Harta karun? Tak pernah terpikirkan dalam otakku jika di tempat terpencil ini ada sebuah harta karun. Lagian, Oma pun tidak pernah mengatakan apa-apa soal harta karun. Dia hanya memintaku untuk tinggal di rumah ini agar peninggal leluhur yang seharusnya menjadi milikku bisa dimiliki secara utuh.

"Tidak, Kek, saya ke sini bukan untuk harta karun. Bahkan saya sendiri tidak tahu menahu mengenai harta karun yang Kakek sebutkan tadi."

"Lalu untuk apa kamu jauh-jauh ke tempat terpencil ini jika bukan mencari harta karun yang terpendam itu?"

"Saya hanya ingin menjalankan wasiat yang diberikan Oma saya untuk tinggal di rumah ini selama sebulan penuh."

"Tinggal di rumah ini? Kamu keturunan Pramudya?"

"Iya, bagaimana Kakek tahu jika saya adalah keturunan Pramudya?" Tidak ada jawaban dari pria yang ada di hadapanku. Dia hanya melepaskan tanganku secara kasar dan sebuah seringaian muncul di bibirnya. Tidak berapa lama, kakek itu berdiri dan tiba-tiba menarik tanganku dengan cukup kuat hingga berhasil menarikku. "Kek, tolong lepaskan tangan saya."

"Lepaskan katamu? Tidak akan sama sekali! Jika aku melepaskanmu, maka aku akan kehilanganmu untuk selamanya dan membuat kalian semakin angkuh di atas muka bumi ini."

Tarikkannya semakin kuat hingga membuat tubuhku terseret di halaman tanpa bisa melawannya dan perih mulai kurasakan saat kulitku bersentuhan dengan ranting serta tanah. "Kumohon lepaskan aku, Kek, apa salahku kepada Kakek?"

"Kalian telah menarik tubuhku dan Alice dengan kejam seperti ini. Kalian sendiri tidak memiliki belas kasihan kepada kami, jadi kenapa aku harus mengasihanimu?" katanya sambil terus menarik tubhku dengan kuat. "Kamu akan mati, sama seperti kalian membunuhku dan Alice!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You & MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang