Sementara itu di sebuah bangunan megah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi bagai sebuah benteng, tampak seorang laki-laki bertangan buntung duduk di kursi bertahtakan manik-manik indah, berlapiskan emas murni. Laki-laki itu sudah berumur, tapi masih kelihatan gagah. Sinar matanya tajam menatap seorang pemuda berpakaian koyak dan kotor berdebu. Bercak-bercak darah kering masih melekat di tubuhnya. Dari raut wajahnya yang kotor penuh bercak darah, dapat diketahui kalau pemuda itu adalah Risman, yang sebenarnya Raden Sanjaya.
"Memalukan! Benar-benar memalukan!" geram laki-laki bertangan buntung itu.
Dialah Wiratma yang sekarang memakai nama Gagak Item, dan juga bergelar Gusti Pragala. Perlahan-lahan kepala Raden Sanjaya terangkat. Sinar matanya sangat tajam, menerobos langsung ke bola mata Gagak Item.
"Rapi sekali cara kerjamu. Sehingga, begitu lama aku sampai tidak tahu siapa kau sebenarnya. Raden Sanjaya..., Putra Mahkota Kerajaan Bantar yang perkasa, cerdik, dan lihai menyamarkan diri. Sayang..., sayang sekali kau harus berhadapan dengan Gagak Item!"
"Kau pikir aku takut? Phuih!" Raden Sanjaya menyemburkan ludahnya sengit.
"Hahaha..., tikus kecil yang malang," Gagak Item menggeleng-gelengkan kepala. Suara tawa lepas berderai, memenuhi ruangan besar yang indah ini. Raden Sanjaya berdiri tegak, meskipun kedua tangannya terikat ke belakang. Tatapan matanya masih tajam, dan raut wajahnya menegang memancarkan kebencian yang sangat. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Raden Sanjaya merasakan rongga dadanya jadi sesak, menahan rasa marah yang bergolak.
"Setan Jubah Merah!" panggil Gagak Item keras. Setan Jubah Merah melangkah maju beberapa tindak ke depan. Badannya dibungkukkan sedikit untuk memberi hormat.
"Pergi ke rumah petani Badil! Seret dia ke sini sekarang juga!" perintah Gagak Item.
"Jangan!" sentak Raden Sanjaya cepat. "Dia tidak bersalah! Jangan ganggu dia!"
"Kerjakan perintahku, cepat!" bentak Gagak Item.
Setan Jubah Merah berlalu setelah memberi hormat. Raden Sanjaya ingin mencegah, tapi empat orang bersenjata tombak sudah menghadang, dan menempelkan ujung mata tombak di tubuhnya. Raden Sanjaya menggereng murka, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya saja yang menatap tajam, penuh amarah pada Gagak Item.
"Kubunuh kau, Gagak Item!" geram Raden Sanjaya menggereng bagai kerbau terluka.
"Hahaha...!"
Gagak Item hanya tertawa saja mendengar ancaman Raden Sanjaya. Ancaman itu dianggapnya hanya di mulut saja. Mana mungkin Raden Sanjaya bisa melakukan, sedang sekarang dalam keadaan tangan terikat dan ditodong empat batang tombak. Gagak Item menjentikkan jemarinya. Maka, empat orang yang menghunus tombak panjang ke tubuh Raden Sanjaya langsung menggiringnya keluar dari ruangan agung Istana Bantar ini.
Sementara suara tawa Gagak Item terus terdengar bersamaan dengan tergiringnya Raden Sanjaya. Anak muda itu menyumpah serapah tanpa mampu berbuat apa-apa. Raden Sanjaya digiring terus ke bagian belakang istana megah ini. Dia tahu, jalan ini menuju ke dalam tahanan bawah tanah. Di sepanjang jalan, para penjaga berseragam serba hitam berdiri berjajar dengan tombak terhunus di tangan.
Raden Sanjaya mengamati wajah-wajah para penjaga itu. Beberapa di antaranya, dikenali sebagai prajurit Kerajaan Bantar dulu. Dan yang mengenal Raden Sanjaya, hanya bisa menundukkan muka saja. Pintu tahanan terbuka, menimbulkan suara bergernyit mengilukan hati. Udara lembab dan pengap langsung menyergap begitu kaki Raden Sanjaya menginjak lantai tahanan ini. Dia terus digiring, melewati lorong gelap yang hanya diterangi obor kecil yang menancap di dinding.
"Akh!" Raden Sanjaya memekik kaget ketika tiba-tiba salah seorang yang berjalan di belakangnya mendorong keras. Belum lagi Raden Sanjaya bisa berbuat sesuatu, terdengar suara pintu dari besi baja tebal ditutup rapat. Seketika, ruangan itu jadi gelap. Hanya bias cahaya obor dari luar pintu saja yang menerangi samar-samar. Raden Sanjaya berusaha bangun berdiri, dan menggerak-gerakkan tangannya yang sudah terlepas dari ikatan. Pergelangan dan jari-jari tangannya terasa pegal dan kesemutan.
Sebentar matanya menerawang membiasakan diri dalam keadaan gelap begini. Beberapa saat diamatinya sekitar ruangan yang pengap dan lembab ini. Dua ekor tikus berebut sesuatu di pojok ruangan. Raden Sanjaya terkejut begitu melihat seorang lelaki tua tergolek di lantai ruangan. Bergegas dihampirinya laki-laki itu.
"Paman...!" Raden Sanjaya memekik tertahan begitu mengenali laki-laki tua yang kini sudah berada dalam pelukannya.
Dua ekor tikus lari terbirit-birit meninggalkan suara ribut yang menyakitkan telinga. Raden Sanjaya memeriksa denyut nadi dan aliran darah lelaki itu. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya begitu mengetahui kalau lelaki tua ini masih hidup. Hanya saja denyut nadinya lemah, dan hampir tak terasa. Sejenak lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu kelopak matanya mulai terbuka perlahan.
"Ra... de... nnn...," lemah sekali suaranya. Namun ada seulas senyuman di bibir yang kering pecah-pecah.
"Paman..., Paman Nara Soma.... Oh! Syukur, Paman masih hidup,"
Raden Sanjaya gembira melihat abdi setia penasihat Gusti Prabu Bantar Kencana ternyata masih hidup. Raden Sanjaya menggotong tubuh tua kurus itu, lalu meletakkannya di atas dipan kayu yang sudah reyot, bunyi deritnya terdengar. Putra Mahkota Kerajaan Bantar itu membuka ikat kepalanya, dan membersihkan luka-luka di tubuh Paman Nara Soma. Tampak satu jari kelingkingnya putus digerogoti tikus.
Sebentar Raden Sanjaya mengamati setiap sudut ruangan. Tak ada satu celah pun yang dapat menghubungkan dengan luar. Ruangan ini biasanya memang digunakan untuk menahan penjahat kelas berat yang siap dihukum mati. Tidak ada jalan sedikit pun untuk meloloskan diri. Dan ketika dia melangkah ke sudut, ada tetes-tetes air mengucur kecil dari langit-langit.
Raden Sanjaya melepas sabuk kulitnya yang besar, untuk dibuat corong. Ditadahinya titik-titik air yang jatuh dari tempat itu, dengan cepat dibawanya ke Paman Nara Soma. Seteguk demi seteguk tenggorokan laki-laki tua itu dialiri air. Beberapa kali Raden Sanjaya menuangkan air ke mulut yang kering pecah-pecah dan membiru itu, sampai Paman Nara Soma menolak air yang diberikan pemuda ini.
"Cukup, Raden. Terima kasih," masih lemah suara Paman Nara Soma.
Raden Sanjaya duduk di pinggir dipan kayu itu. Bunyi bergerit terdengar begitu menerima berat tubuh Raden Sanjaya. Sepertinya dipan kayu lapuk ini begitu menderita menerima beban begitu berat dari dua orang laki-laki malang.
"Bagaimana kau bisa masuk sini?" tanya Paman Nara Soma dengan suara bergetar lirih.
"Ceritanya panjang, Paman," sahut Raden Sanjaya tertunduk.
"Ceritakanlah," pinta Paman Nara Soma.
Tanpa diminta dua kali, Raden Sanjaya menceritakan semuanya hingga sampai masuk tahanan. Juga diceritakannya tentang Panglima Gadalarang dan Putri Kencana Wungu yang kini mungkin menunggunya di rumah bersama Pendekar Rajawali Sakti. Sampai di situ, ceritanya dihentikan.
Paman Nara Soma diam merenung begitu Raden Sanjaya menuntaskan ceritanya. Lama mereka hanya diam membisu. Suara desahan berat terdengar menghembus dari hidung Paman Nara Soma.
"Mudah-mudahan mereka selamat," gumam Paman Nara Soma lirih.
"Ya, mudah-mudahan," desah Raden Sanjaya.
![](https://img.wattpad.com/cover/214307643-288-k909737.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
79. Pendekar Rajawali Sakti : Penyamaran Raden Sanjaya
ActionSerial ke 79. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.