Si Macan Lembah Iblis melompat sambil mencabut goloknya yang besar berwarna hitam pekat. Begitu Rangga melangkah mundur dua tindak, ternyata sabetan golok yang begitu dahsyat itu hanya menyambar angin kosong. Kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti, mungkin baru kena angin sambaran goloknya saja sudah lari terbirit-birit. Tapi tidak demikian halnya dengan Rangga yang malah semakin tenang.
Melihat lawannya mampu menandingi sampai lima jurus, si Macan Lembah Iblis jadi semakin geram. Serangannya diperhebat sambil terus menyumpah. Sekitar pertarungan telah porak-poranda terkena kibasan golok si Macan Lembah Iblis. Beberapa orang yang berada di sekitarnya cepat-cepat menyingkir mencari selamat. Hanya beberapa orang berkemampuan agak tinggi yang masih menyaksikan jalannya pertarungan.
Bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai arena judi. Mereka masing-masing memilih jagonya dengan bayaran sejumlah uang. Dan sebenarnya Rangga mendengar pertaruhan itu, meskipun dalam keadaan tengah bertarung. Maka seketika hatinya jadi geram. Ternyata, penduduk desa ini telah terjangkiti penyakit yang merusak moral.
"Awas kaki...!" teriak Rangga sambil menyampokkan kakinya ke kaki lawan.
"Uts!" si Macan Lembah Iblis menghindarinya dengan cepat. Tapi belum si Macan Lembah Iblis sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba tangan kanan Rangga sudah menyodok ke depan. Laki-laki kasar itu tidak punya pilihan lain. Segera tubuhnya mengegos sambil mengayunkan golok dengan cepat ke tangan Rangga.
Tap!
Rangga menjepit golok itu kuat-kuat di antara kedua jarinya. Si Macan Lembah Iblis kontan terkejut. Segera seluruh tenaganya dikerahkan untuk melepaskan goloknya. Tapi golok itu bagai dijepit oleh baja yang amat kuat, hingga si Macan Lembah Iblis sampai berkeringat. Padahal, seluruh tenaga dalamnya sudah dikerahkan, tapi sedikit pun tak bergeming.
"Hih!"
Rangga menghentakkan tangannya ke bawah. Begitu kuat dan cepatnya, sehingga si Macan Lembah Iblis sampai tertarik ke depan. Begitu tubuhnya doyong secepat kilat Rangga mengayunkan kakinya ke depan.
Buk!
"Hugh!"
Si Macan Lembah Iblis mengeluh pendek. Telak sekali kaki Rangga mendarat di dada si Macan Lembah Iblis. Akibatnya pegangan pada gagang goloknya terlepas dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Belum lagi keseimbangan tubuhnya dikuasai, secepat kilat Rangga menjentikkan jemarinya yang mengepit golok. Maka, seketika golok itu meluncur deras ke arah si Macan Lembah Iblis.
"Aaakh...!" Si Macan Lembah Iblis menjerit melengking tinggi. Dada si Macan Lembah Iblis kontan tertancap senjatanya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk, dan menggelepar di tanah. Darah tampak mengucur deras dari dadanya. Sejenak Rangga memandangi tubuh yang sudah tak bergerak-gerak lagi, kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat itu.
Setelah Rangga pergi, orang-orang yang menyaksikan kejadian ini keluar, dan langsung mengerumuni mayat si Macan Lembah Iblis. Macam-macam gumaman terdengar saling sambut. Yang menang bertarung, tertawa-tawa senang. Sedangkan yang kalah menggerutu karena jagonya tewas.
Tak seorang pun yang mempedulikan ke mana Pendekar Rajawali Sakti pergi. Bagi mereka, seorang pendatang yang memperlihatkan kebolehannya merupakan satu tontonan biasa. Lain halnya Rangga. Kejadian barusan membuatnya jadi lebih banyak berpikir. Dia makin heran atas keadaan Desa Mayang yang dianggapnya aneh dan tidak wajar. Baru kali ini Rangga menemukan sebuah desa yang memiliki keanehan tersendiri.***
"Kau pulang larut sekali malam tadi."
Pendekar Rajawali Sakti menoleh dan tersenyum begitu melihat Risman sudah duduk di sampingnya. Rangga memang pulang hampir pagi. Dan semua penghuninya sudah terlelap. Namun tidak diduga kalau Risman bisa mengetahui kedatangannya.
"Ke mana saja kau semalam?" tanya Risman lagi
"Jalan-jalan," jawab Rangga, singkat.
"Kudengar, ada keributan semalam. Katanya si Macan Lembah Iblis tewas bertarung melawan seorang pendekar muda yang baru singgah di sini. Aku yakin pasti kau yang bertarung semalam," duga Risman.
Rangga kaget dibuatnya. Begitu cepat berita itu tersiar. Sampai pagi-pagi begini, Risman sudah tahu apa yang terjadi semalam.
"Kau tahu, siapa si Macan Lembah Iblis itu?"
"Tidak," sahut Rangga singkat.
"Dia adalah salah satu pengawal orang terpandang di desa ini," jelas Risman.
"Maksudmu, kepala desa?"
"Lebih dari itu. Selain kepala desa, juga saudagar dan tuan tanah yang sangat kaya."
"Hm. Siapa namanya?"
"Orang memanggilnya Gusti Pragala."
"Lalu, apa yang membuatmu cemas?"
"Gusti Pragala pasti tidak akan menerima kematian pengawalnya. Masalahnya si Macan Lembah Iblis adalah kaki tangannya yang paling diandalkan dan dipercaya."
"Kau takut?"
"Untuk apa? Semua orang menganggapmu hanya pendatang yang kebetulan singgah. Tak seorang pun yang tahu kalau kau ada di sini," tegas Risman.
"Kecuali aku!" tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar.
Rangga dan Risman kontan menoleh ke arah suara itu. Mereka cukup terkejut oleh suara yang bagai guntur tadi. Tampak di tengah-tengah halaman rumah berdiri seorang laki-laki tinggi besar. Dadanya dibiarkan terbuka, memperlihatkan bulu-bulunya yang hitam lebat. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang panjang dan besar bergagang perak. Wajahnya bengis dan kasar, penuh ditumbuhi brewok.
Perlahan-lahan Rangga bangkit berdiri, diikuti Risman. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati orang yang berdiri tegak dan angkuh di depan. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal satu batang tombak lagi. Matanya tajam merayapi orang di depannya. Agak berkerut juga kening Rangga ketika melihat tampang yang menyeramkan, persis raksasa kelaparan.
"Maaf. Apakah aku pernah mengenalmu, Kisanak?" Rangga membuka suara lebih dahulu. Mungkin saja ingatannya terlupa, barangkali dia pernah mengenal orang itu. Makanya dia bertanya seperti itu.
"Aku Rakyan Buto! Kedatanganku ke sini untuk menuntut balas atas kematian adikku semalam!" jawab Rakyan Buto.
"Hm. Jadi Macan Lembah Iblis itu adikmu?" tanya Rangga tenang sekali.
"Benar! Dan kau berhutang nyawa padaku!"
"Maaf. Aku tidak sengaja membunuhnya. Dialah yang ingin membunuhku. Dan aku hanya membela diri."
"Phuih! Membela diri atau bukan, kau harus membayar nyawa adikku!"
Rangga melirik Risman yang kini sudah didampingi Badil dan istrinya. Wajah suami istri itu tampak begitu ketakutan, sampai-sampai lutut mereka gemetar. Hanya Risman yang kelihatan tenang. Bahkan matanya tajam mengawasi laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Rakyan Buto.
"Bersiaplah, Bocah!" sentak Rakyan Buto.
Setelah berkata demikian, Rakyan Buto langsung mencabut pedangnya. Sinar keperakan yang menyilaukan langsung berpendar begitu pedang keluar dari warangka. Sementara Rangga melangkah mundur dua tindak, bersiap-siap dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Perlahan-lahan tangannya berubah jadi berwarna merah bagai terbakar. Pendekar Rajawali Sakti tidak mau tanggung-tanggung, karena sudah bisa menilai kalau lawan yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah. Maka langsung dikerahkannya jurus ke empat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
"Hiyaaa...!" Rakyan Buto berteriak nyaring. Pada saat yang sama, tubuh tinggi besar itu melompat sambil mengibaskan pedangnya. Sinar putih keperakan berkelebat ke arah leher Rangga. Namun dengan sedikit menarik kepala, kibasan pedang itu lewat di depan lehernya. Dan belum lagi Rangga bisa berbuat sesuatu, kaki Rakyan Buto sudah melayang ke pinggang. Maka dia segera melompat, seraya mengirimkan satu tendangan keras ke arah kepala. Rakyan Buto merunduk cepat. Pertarungan tampak jadi berlangsung makin sengit. Masing-masing mengeluarkan ketinggian ilmunya.
Sementara, Rangga masih tetap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sedangkan Rakyan Buto sudah menghabiskan tidak kurang dari lima jurus. Memasuki jurus keenam, Rakyan Buto semakin cepat dan berbahaya. Pedangnya berkelebat mengurung tubuh Rangga. Begitu cepatnya bergerak, sehingga yang terlihat hanya bayangannya. Bahkan ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti sepertinya tertutup oleh kelebatan sinar-sinar keperakan dari pedang Rakyan Buto.
Rangga mengerahkan tingkatan terakhir dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sinar yang keluar dari kedua tangannya semakin memancar mengalahkan sinar pedang Rakyan Buto. Sinar-sinar merah meluncur ke sana kemari, mengarah tubuh Rakyan Buto yang jadi kerepotan menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
"Akh!"
Mendadak, Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras. Bersamaan dengan itu, kedua tangannya bergerak cepat ke atas dan ke bawah, disertai putaran tubuhnya yang cepat bagai gasing. Sinar merah yang keluar dari telapak tangannya memancar ke segala arah. Dan salah satunya menghantam tangan kanan Rakyan Buto yang menggenggam pedang.
Rakyan Buto langsung melompat mundur. Pedangnya seketika terlepas dan tangan kanannya, hangus terbakar mengeluarkan asap tipis berwarna merah. Rakyan Buto meringis memegangi sebelah tangannya yang kini mati.
"Kurang ajar!" geramnya marah.
"Aku masih memberimu kesempatan hidup. Pergilah, jangan ganggu ketenangan kami!" ancam Rangga, dingin sekali.
"Phuih! Pantang bagiku mundur sebelum mencabut nyawamu!" dengus Rakyan Buto.
"Hm.... Rupanya kau termasuk orang yang keras kepala," kata Rangga, sengit
"Sudah saatnya mengadu nyawa, Bocah!"
Rakyan Buto langsung merenggangkan kakinya. Kemudian, kedua tangannya merentang ke depan. Bibirnya sedikit meringis saat memaksakan tangan kanannya terangkat. Perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan, lalu ditarik dengan siku tertekuk di samping dada. Rangga mengerutkan kening seperti pernah melihat jurus ilmu kesaktian itu. Tapi, entah di mana?
Dan belum memperoleh jawaban, mendadak seberkas sinar kuning meluncur cepat ke arahnya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat. Maka sinar kuning itu hanya menghantam sebatang pohon hingga hancur.
"Edan!" dengus Rangga. "Aku tidak boleh main-main. Dia benar-benar ingin membunuhku!"
Saat sinar kuning yang kedua kembali meluncur, mau tak mau secepat kilat Rangga mengerahkan ilmu 'Cakra Buana Sukma'. Yang langsung didorong dengan tangannya ke depan. Dua sinar saling bertemu di satu titik. Sinar biru dan kuning tampak saling mendorong, adu kekuatan. Beberapa saat, mulai kelihatan kalau sinar kuning semakin terdesak mundur. Padahal, Rakyan Buto sudah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong sinar biru. Tapi usahanya sia-sia. Ternyata sinar biru itu semakin kuat mendorong. Hingga akhirnya, seluruh sinar kuning lenyap dari pandangan. Bahkan kini kedua tangan Rakyan Buto telah diselimuti sinar biru.
"Hih, akh!" Rakyan Buto menggeliat. Terasa sekali kalau tenaga Rakyan Buto semakin tersedot keluar. Semakin mencoba untuk bertahan, semakin kuat tenaganya tersedot.
"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Suatu ledakan keras terdengar, seketika itu juga sosok tubuh Rakyan Buto terlontar ke belakang, kemudian sosok tubuh itu menggeliat-geliat meregang nyawa. Mati! Akibat terkena pukulan ilmu pamungkas Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menarik kembali ajiannya. Sebentar ditariknya napas panjang. Sementara benaknya masih diliputi pertanyaan mengenai ilmu yang pernah dikenal beberapa waktu lalu. Sepertinya, ilmu seperti itu pernah dihadapinya. Tapi entah di mana, kapan dan dengan siapa. Belum sempat terjawab, Risman sudah berlari-lari ke arahnya. Risman berdiri sekitar tiga langkah di depan Rangga. Sementara Badil dan istrinya mengikuti. Mata mereka menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar yang sulit dilukiskan.
"Keadaan kita sudah tidak aman lagi," pelan suara Risman terdengar.
"Ya! Gusti Pragala pasti akan mengirim jago-jagonya ke sini," lanjut Badil.
"Sebaiknya, kau segera pergi sebelum tubuhmu dicincang," sambung Sadiah.
Rangga hanya mendesah seraya mengayunkan langkahnya menuju rumah kecil itu. Dia berbalik, lalu duduk di lantai beranda yang terbuat dari papan. Pikirannya tidak terpusat pada kekhawatiran ketiga orang itu, tapi masih tertuju pada ilmu yang tadi dikerahkan Rakyan Buto. Rangga yakin sekali kalau pernah bentrok dengan seseorang yang memiliki ilmu kesaktian seperti itu. Hanya saja, tingkatannya lebih kuat dan dahsyat.***
Malam telah merayap naik. Udara di sekitar Desa Mayang semakin dingin. Sejak sore Rangga keluar rumah ingin menyelidiki keadaan desa yang menurutnya punya ciri khas tersendiri. Sementara di beranda depan, Risman duduk ditemani Badil dan istrinya.
Sejak Rangga pergi, tak seorang pun yang bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Risman menghela napas panjang, sebelum meneguk kopinya yang sudah dingin. Matanya merayapi sekitarnya. Hanya kegelapan saja yang nampak menyelimuti bagai di tengah-tengah kuburan. Onggokan debu dari tubuh Rakyan Buto, perlahan-lahan mulai terkikis terbawa angin malam.
"Aku belum yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sakti," gumam Badil memecah kesunyian.
"Kau tidak lihat pedang di punggungnya tadi, Kakang?" Risman membantah dugaan Badil.
"Tidak sedikit senjata yang memiliki gagang berbentuk kepala burung. Menurut keterangan yang kudengar, pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan sinar biru yang sangat terang dan menyilaukan mata," tegas Badil.
"Kau sudah melihat saat dia menggunakan pedang itu, Risman?" tanya Sadiah ikut bicara.
"Belum," sahut Risman terus terang.
"Nah! Kenapa kau begitu yakin?"
"Dari ciri-cirinya!" Risman tetap pada pendiriannya.
"Aku hanya mengingatkanmu, Risman," kata Badil.
"Terima kasih," ucap Risman.
Beberapa saat mereka kembali terdiam.
"Sudah dua tokoh sakti tewas di tangannya. Dan mereka bukanlah orang sembarangan. Aku jadi sangsi, semuanya akan gagal," Sadiah bergumam pelan.
"Hilangkan keraguanmu, Sadiah! Kita harus selalu bersikap wajar sebelum yakin bahwa dia benar-benar Pendekar Rajawali Sakti!" celetuk Badil.
"Iya, kalau benar. Kalau salah?"
"Masih ada waktu. Dan kukira pemuda itu bisa diandalkan. Lihat saja! Rakyan Buto yang begitu sakti dan tidak ada tandingannya tewas di tangannya?!" Risman mencoba meyakinkan.
"Rakyan Buto dan Macan Lembah Iblis masih jauh tingkatannya dibandingkan...,"
Sadiah tidak meneruskan kata-katanya. Mereka seketika mengalihkan pandangan ke depan. Tampak Pendekar Rajawali Sakti berjalan santai ke arah mereka. Rangga tersenyum dan mengangguk begitu kakinya menginjak lantai beranda yang terbuat dari belahan papan. Tanpa dipersilakan lagi, dia duduk di samping Risman.
"Dari mana?" tanya Sadiah lembut.
"Jalan-jalan," sahut Rangga.
"Bagaimana menurutmu keadaan desa ini?" tanya Badil basa-basi.
"Menyenangkan! Seperti bukan sebuah desa. Terlalu besar dan ramai, bagai kadipaten."
"Memang begitu keadaannya. Mungkin nanti desa ini juga akan berubah jadi kadipaten, atau bisa jadi kerajaan kecil," celetuk Risman agak bergumam.
Risman mengalihkan wajah saat menyadari tengah dipandangi oleh Badil dan Sadiah.
"Yah, memang pantas desa ini diubah jadi kadipaten," sambut Rangga polos.
Ketiga orang itu saling berpandangan. Tatapan mata Sadiah sedikit tajam memandang mata Risman. Sementara, Rangga bangkit. Setelah berbasa-basi sebentar, kakinya melangkah ke dalam rumah. Tubuhnya terasa pegal-pegal. Dia ingin menikmati istirahat sejenak untuk melemaskan otot-ototnya.
"Risman, jaga mulutmu!" sentak Sadiah tertahan, begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah tak terlihat lagi.
"Maaf, aku keterlepasan bicara," sahut Risman.
"Huh! Untung dia tidak curiga," dengus Badil pelan.
"Mudah-mudahan saja begitu, sampai rencana kita terlaksana," gumam Sadiah.
Risman mengangkat bahunya, lalu beranjak meninggalkan beranda. Langkahnya tertahan ketika Sadiah memanggil.
"Mau ke mana kau?" Sadiah balik bertanya.
"Keluar, cari hiburan," sahut Risman kalem.
"Ingat! Kau harus hati-hati, Risman!" Badil mengingatkan.
"Jangan khawatir! Aku bisa jaga diri!"
Risman kembali melangkahkan kakinya. Tinggal Badil dan Sadiah di situ. Mata mereka lurus menatap punggung Risman yang semakin menghilang ditelan kegelapan malam.
"Anak itu perlu diawasi, Kakang," kata Sadiah pelan.
"Aku percaya, dia sudah cukup dewasa, sehingga bisa memilih mana yang harus dikerjakan dan ditinggalkan," sahut Badil kalem.
"Tapi...."
"Ah, sudahlah. Tidak perlu dicemaskan. Mungkin di dalam kepalanya ada rencana yang tidak kita ketahui. Buah pikirnya selalu cemerlang," ada nada pujian pada suara Badil.
"Terserahlah. Tapi kau harus ingat, Kakang. Mulutnya gampang terbuka!"
"Sebaiknya, kau istirahat saja,"
Badil tidak mempedulikan kekhawatiran Sadiah. Wanita ayu berkulit kuning langsat itu mengangkat pundaknya, lalu melangkah masuk. Badil menghela napas panjang begitu tubuh Sadiah lenyap di balik pintu. Sebentar dia masih duduk di kursi bambu, kemudian beranjak masuk juga. Keadaan di dalam rumah lengang sekali. Cahaya yang ada hanya sebuah pelita dari buah jarak kecil yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan. Sementara malam merayap larut, angin pun semakin dingin berhembus.***
KAMU SEDANG MEMBACA
79. Pendekar Rajawali Sakti : Penyamaran Raden Sanjaya
AcciónSerial ke 79. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.