Lima

16 1 3
                                    


Mawar menggenggam tangan seorang pria yang tengah terbaring tak berdaya di hadapannya itu. Seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan kakak. Satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Yah, saat tragedi itu merenggut kedua orangtuanya, di dalam mobil yang juga ada dirinya itu, ada satu orang lagi yang selamat. Teguh, satu-satunya kakak yang ia miliki. Tragedi itu menyebabkan kakaknya koma. Sudah empat tahun, tapi kakaknya masih terbaring tak sadarkan diri. Dan sama sekali belum ada perubahan yang terjadi, seperti tanda bahwa kakaknya akan sadar. Tapi ia yakin dan percaya, suatu saat nanti kakaknya akan bangun dan memanggil namanya. Ia sangat beruntung karena ayah Bunga adalah salah satu dokter yang ada di rumah sakit itu. Karena itu sampai sekarang kakaknya masih bertahan di rumah sakit itu tanpa ia harus memikirkan tentang biaya yang harus ia bayar untuk pengobatannya. Ini juga yang menjadi salah satu alasan untuknya tetap bertahan di rumah keluarga Bunga. Ia masih sangat membutuhkan uluran tangan mereka untuk biaya hidupnya dan pengobatan kakaknya. Meskipun dengan begitu ia harus terus-menerus berpura-pura tegar dan baik-baik saja.

"Kakak apa kabar, maaf karena Mawar nggak bisa terlalu sering ngunjungin kakak. Selain makam ayah dan ibu, ngelihat kakak dengan kondisi kayak gini juga bisa buat aku terus-menerus larut dalam kesedihan aku. Karena itu Mawar cuma bisa datang bersamaan dengan ziarah ke kamam ayah dan ibu. Tapi kakak nggak perlu khawatir, karena setiap hari aku selalu dapat kabar tentang keadaan kakak dari suster Diana. Jadi Mawar tahu bagaimana perkembangan kakak."

Ia mengambil tisu basah yang ada di meja di samping ranjang kakaknya, lalu perlahan ia membasuh wajah dengan tulang pipi yang menonjol itu dengan lembut. Kadang Mawar berpikir tidak akan ada harapan untuk kakaknya bisa kembali sadar dan membuka mata. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, sekeras mungkin ia menepiskannya dan terus meyakinkan diri kalau kakaknya pasti akan kembali sadar.

"Eh, Mawar. Kapan kamu datang?." Suara lembut yang sangat Mawar kenal.

"Eh, suster Diana. Barusan kok, belum lama."

"Kakakmu pasti seneng banget adeknya datang. Apa nggak terlalu lama kalau kamu cuma jenguk kakakmu setahun sekali, Mawar. Ini sudah empat tahun loh, seharusnya kamu udah bisa lebih sering lihat kakakmu."

Mawar terdiam sejenak. Apa yang dikatakan suster Diana ada benarnya juga, tapi ia masih belum yakin kalau dirinya siap. Mimpi buruk tentang kejadian itu saja sampai sekarang masih terus menghantuinya. Ia takut jika mimpi itu akan semakin buruk jika ia terlalu sering melihat wajah kakanya. Tapi....

"Aku ngerti kok gimana perasaan kamu, Mawar. Tapi nggak ada salahnya juga kamu coba untuk lebih sering jengukin kakak kamu. Siapa tahu kalau kakak kamu tahu adeknya lebih sering datang buat ngelihat dia, dia akan bisa lebih cepat sadar dari komanya." Mawar tersenyum, senyum yang sama yang biasa ia tunjukkan pada semua orang. Hanya saja, kali ini lebih jujur, karena senyum itu untuk orang yang telah merawat kakaknya selama empat tahun ini.

"Iya suster, saya akan usahan untuk lebih sering datang jenguk kakak. Terimakasih ya, karena selama ini suster Diana selalu sabar rawat kakak saya yang sama sekali nggak nunjukin perubahan. Bahkan suster juga terus kasih saya kabar tentang kakak meskipun saya nggak bisa sering datang. Saya nggaka tahu gimana bisa balas kebaikan suster."

"Alaahh, kamu ini ngomong apa sih, Mawar. Aku ini kan teman kakakmu. Kebetulan saja aku kerja di rumah sakit tempat kakakmu dirawat. Dan lagi, sudah berapa kali aku bilang, panggil saja aku kak Diana, aku ini kan teman kakakmu. Kakakmu itu orang yang baik, dia sudah banyak bantu aku, dan hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membalasnya. Bahkan aku bisa kerja di rumah sakit ini pun karena bantuan dari kakakmu, Mawar."

Mawar kembali tersenyum, dan keduanya larut dalam perbincangan. Untuk beberapa saat, setidaknya Mawar bisa melupakan kesedihannya dan berbicara tentang banyak hal kepada teman dan juga perawat kakanya itu. Untuk beberapa saat, ia tidak perlu menjadi penipu yang harus terlihat baik-baik saja dihadapan semua orang. Bersama Diana, Mawar bisa menjadi diri sendiri walau hanya sebentar.

Black Rose in HellWhere stories live. Discover now