Hari sudah sore, bahkan hampir gelap. Mawar berjalan perlahan meninggalkan ruang rawat kakaknya setelah menghabiskan sedikit waktunya untuk berbincang dengan Diana, teman sekaligus perawat kakaknya. Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit, menyusuri kenangannya yang tanpa terasa membuat air matanya menitik.
"Mawar..."
Sebuah suara yang tiba-tiba saja menyebut namanya membuat langkahnya terhenti. Ia berbalik mencari pemilik suara itu. Dan tepat di hadapannya, sosok yang sangat ia kenali tengah berdiri tegak dan tersenyum lembut padanya.
"Ridwan, kamu ngapain disini?."
"Aku jengung teman aku yang lagi sakit, kamu sendiri ngapain disini?."
"Owh... aku... aku lagi... aku jenguk kakak aku."
"Kakak? Owh... maksud kamu kak Teguh, jadi kak Teguh dirawat di rumah sakit ini juga. Di ruangan apa, aku boleh nggak jenguk dia."
"Nggak usah, kamu ngapain jenguk kakak aku."
"Loh, kamu kan tahu dulu aku sama kakak kamu lumayan akrab, Mawar. Aku udah lama banget nggak pernah lihat dia. Terakhir kabar yang aku denger itu waktu...."
"Aku bilang nggak usah Ridwan, aku pikir udah jelas yang pernah aku bilang sama kamu. Jangan ikut campur dengan urusanku dan lupain semua kenangan yang pernah kamu punya tentang aku dan keluargaku. "
Setelah mengakhiri kalimatnya Mawar pergi begitu saja. Ia terlihat seperti gadis jahat yang memperlakukan pria yang menyukainya dengan buruk. Tapi Mawar hanya tidak ingin membuat Ridwan semakin menderita. Karena ia tahu lebih dari siapapun jika ia tidak akan pernah bisa membalas perasaan pria itu. Ia meyakinkan dirinya dengan sepenuh hati. Untuk seorang diri menguak sir yang memenuhi hidupnya dengan duri. Rasanya tidak ada satupun yang dapat membantunya menyelesaikan semua itu selain dirinya sendiri. Karena itu ia menutupnya rapat-rapat untuk dirinya sendiri, tak seorang pun ia izinkan melihat lukanya, dan tak ia biarkan siapa pun mencoba menghentikannya. Ia tahu dengan pasti, membalas dendam perlahan akan membunuhnya. Bahkan saat ini pun salah satu dari dirinya, yang menjadi bagian terpenting dalam putaran waktu kehidupannya, telah lama mati. Hati.
"Yeee.... Aku seneng banget, akhirnya kita bisa liburan. Besok kita berangkat ke villa dan bisa seneng-seneng disana. Hah... setelah otak kita runyam karena ujian, kita memang harus refreshing biar nggak pusing. Mawar, pokoknya kamu harus siapin semua kebutuhan kamu untuk berangkat ke villa besok, kita bakalan di sana selama seminggu, jadi kamu harus bener-bener prepare ya."
"Om sama tante udah tahu kalau kita mau pergi?."
"Udah dong, kan yang nyaranin kita untuk liburan ke villa itu papa. Mama malah udah nyiapin semua keperluan kita untuk disana selama seminggu. Makanan, cemilan, minuman, pokoknya semua deh."
"Kamu kelihatan seneng banget, Bunga."
"Iya dong, Mawar. Kan kita udah lama banget nggak pernah liburan. Makannya aku seneng banget."
Mawar tersenyum, menyaksikan betapa bahagia sahabat di hadapannya itu. Mungkin ia tidak merasakan kebahagiaan yang sama, tapi tak ada salahnya ikut merayakan kesenangan sahabatnya.
Sabtu pagi, Mawar dan Bunga sudah siap dengan segala barang bawaan mereka. Supir keluarga Bunga memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. Sementara kedua gadis itu, setelah berpamitan lagsung masuk ke dalam mobil, tentunya Bunga menjadi orang yang paling semangat. Di sepanjang perjalanan Bunga berbicara tentang banyak hal, dan Mawar hanya menjadi pendengar setia yang sesekali memberi tanggapan, seadanya. Perjalanan yang cukup jauh juga membuat mereka terlelap beberapa saat, dan kembali terbangun saat pak Ahmad, supir yang membawa mereka mengatakan jika mereka sudah sampai. Mawar dan Bunga terbangun, dengan kantuk yang masih menggelayuti mata, keduanya berjalan gontai memasuki villa yang terlihat sangat asri dan nyaman. Mawar mengamati sekitar, mengingat satu memori yang sudah sangat lama berlalu. Ia ingat pernah datang ke tempat ini bersama Bunga untuk merayakan kelulusan mereka saat SMP. Sudah sangat lama, tapi ia masih mengingat jelas semua yang terjadi saat itu, bahkan aroma kamboja yang mengitari rumah ini juga masih terasa sama.
Tak terasa, malam tiba-tiba saja telah merambat dan menyelimuti hari menjadi gelap. Mawar tengah asik mengamati nyala api di perapian yang ada di hadapannya. Lalu Bunga datang dan menyodorkan secangkir kopi padanya.
"Secangkir kopi hitam tanpa gula dengan sedikit creamer favourite nona Mawar telah siap."
"Terimakasih nona Bunga."
"Hmmm... dingin-dingin gini emang paling nikmat minum yang anget-anget ya."
Mawar mengangguk.
"Kenapa sih kamu suka banget mimun kopi pahit, Mawar?."
"Mmmm, nggak tahu. Mungkin karena kebiasaan."
Bunga terdiam sejenak. Menatap Mawar dengan seksama.
"Oh, ya. Bukan karena kamu ngerasa kopi pahit itu seperti menggambarkan kehidupan kamu ya?."
Mawar tersentak. Mencoba memahami maksud dari perkataan gadis di sampingnya yang tengah menatapnya itu.
"Maksud kamu, Bunga?."
"Mau sampai kapan kamu berpura-pura, Mawar. Kamu nggak capek pakai topeng terus?."
Mawar kembali tersentak.
YOU ARE READING
Black Rose in Hell
Mister / ThrillerKata orang nama adalah sebuah doa, yang akan membawa pemiliknya mendapatkan kehidupan sebaik arti namanya. Karena itu banyak orangtua yang memberi nama anak-anaknya dengan arti yang sangat indah. Tapi pada kenyataannya tak semua nama indah itu berak...