Chapter Two

6 0 0
                                    

Kata orang, hari-hari jadi berbeda kalau kita sedang jatuh cinta. Ternyata itu semua benar. Sejak Irfan dan aku resmi jadian, aku jadi sering berlama-lama mematut diri di depan cermin, menyanyikan lagu indah tentang cinta di kamar mandi. Jadi lebih pagi datang ke sekolah, lebih rajin belajar, pokoknya jadi lebih semangat.

"Rasya! Ditunggu Irfan tuh!" Teriak sebuah suara. Sepertinya aku kenal suara itu! Siapa lagi kalo bukan Rizal. Aku yang sedang belajar terpaksa menghentikan aktivitasku dan menolehkan kepala ke arah jendela untuk mengetahui situasi di luar ruangan kelas. Tampak segerombolan anak laki-laki berdiri di lapangan dan mataku dengan cepat langsung menemukan sosok itu, Irfan!

"Olala" ucapku lirih. Untuk apa sih mereka melakukan hal konyol seperti itu? Apa mereka tidak tahu kalau sekarang aku sedang ada pelajaran tambahan? Aku menggerutu dalam hati.

Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 itu artinya pelajaran hari ini sudah cukup sampai disini. Ketika teman-temanku sudah meninggalkan kelas, aku baru memilih untuk pulang. Terlalu malu rasanya, akibat ulah konyol Irfan dan teman-temannya tadi. Saat aku bersalaman dengan wali kelasku Bu Inez, dia senyum-senyum saat melihatku.

"Sepertinya ada yang sudah ditunggu-tunggu Pangerannya." ledek Bu Inez.

Aku yang salah tingkah hanya bisa mengangguk dan tersenyum dengan pipi yang merah seperti kepiting rebus..

"Hehehe, aku pulang dulu ya Bu. Assalamualaikum." ucapku seraya pergi.

Terlalu gugup jika harus berlama-lama dengan guru, apalagi kalau kita sedang salah tingkah karena ulah konyol seseorang yang kita sayang. Dari jauh kudengar jawaban salam Bu Inez.

Sebenarnya aku ingin langsung pulang. Rasanya terlalu kesal untuk menemui Irfan akibat ulahnya tadi. Tapi ternyata, Irfan menghentikan langkah kakiku. Dan, lagi! Entah kenapa aku pun mengurungkan niatku untuk pulang.

"Kamu itu tadi ngapain sih? Aku jadi malu gara-gara kelakuanmu sama teman-teman kamu" ucapku sedikit jengkel.

Kalau aku jujur, sebenarnya Irfan tak bersalah sepenuhnya sih. Hanya saja, teman-temannya itu yang selalu ada dimana pun Irfan berada yang membuatku sedikit risih. Irfan hanya diam mendengar perkataanku tadi, dia malah beranjak pergi menghampiri teman-temannya. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat kalau Irfan mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk pulang duluan. Setelah teman-temannya pulang, Irfan menghampiriku yang diam tak bergerak layaknya patung di tempat awal dia menghentikan langkahku tadi.

"Kamu marah ya, gara-gara Rizal teriak begitu? Yaudah deh, aku minta maaf Kak." terdengar suara  lirihnya.

Sepertinya Irfan menyesali perbuatan yang dilakukan ia dan teman-temannya tadi.

"Kakak ga marah sama kamu, tapi aku malu tau..." Ujarku singkat.

"Oh, jadi kamu malu punya pacar adik kelas?" nada bicara Irfan sedikit meninggi.

"Bukan gitu maksud aku, Fan. Aku malu sama Bu Inez. Malu sama guru-guru, kalau tahu kita pacaran" ucapku sedikit menjelaskan. Dan kulihat senyum sudah mengembang diwajahnya, senyum yang membuatku selalu ingat padanya.

"Yaudah yuk kita pulang kak" ajak Irfan menarik tanganku.

Siang itu, di bawah terik matahari, di atas motor yang tengah melaju kucoba untuk mencairkan suasana antara aku dan Irfan yang tadi sempat dibuat kikuk karena kekonyolannya dan teman-temannya.

"Fan, aku gak pernah malu pacaran sama kamu. Ga peduli kalau kamu itu adik kelas aku. Aku malah bangga punya pacar adik kelas yang bisa ngertiin aku, yang perhatian ke aku, yang selalu nunggu aku pulang sekolah padahal kamu udah pulang lebih awal. Tapi kamu tetep nungguin aku" itu rentetan kata yang terucap di sepanjang perjalanan.

"Kakak dari tadi ngomong sama aku?" Tiba-tiba dengan polosnya orang yang aku ajak bicara bertanya apakah aku sedang bicara dengannya.

Jelas aku bicara dengan dia, memangnya dari tadi aku bicara dengan siapa lagi. Tak ada orang selain dia, "huft" aku mengatur nafasku yang turun naik. Aku memilih diam, takut kecewa lagi, takut orang yang ku ajak bicara ternyata tak mendengarkanku.

"Kamu ini, kadang suka bikin aku kesel." Gumamku lirih berharap Irfan tak mendengarnya.

"Walaupun aku sering bikin kamu kesel. Tapi, kamu tetep sayang, kan sama aku?"

"Kamu tuh, giliran aku tadi ngomong serius ga denger." aku mengerucutkan bibir sambil menggelitik perutnya.

"Eh, lepasin dong, Sya. Aku tadi denger kok, kamu ngomong apa. Udah dong ngelitikin akunya, nanti kita berdua bisa jatoh dari motor kalo kamu ga berhenti." Irfan menahan tawa.

Aku berhenti menggelitiki dia, kemudian aku hanya bisa diam.

"Sya? Ko diem? Aku denger kok, kamu tadi ngomong sama aku. Aku juga bangga bisa jadi pacar kakak. Aku sayang kamu, Rasya Pramudita Agatha." ujar Irfan membuat jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik.

"Aku juga sayang kamu, Irfan Dhia Anggara" aku ucapkan itu tulus untuknya dari hatiku.

***

Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Sekarang aku sudah kelas 12, dan Irfan sudah kelas 11. Selama aku pacaran dengannya, aku berusaha agar dia lebih rajin lagi dalam belajar. Pernah suatu kali, ku dengar dari Rizal yang kebetulan sekelas dengan Irfan. Rizal memberitahuku kalau nilai ulangan Irfan paling rendah di kelas, mendengar itu aku langsung mengambil tindakan.

Aku tak mau kalau Irfan mendapat nilai terendah dikelasnya. Itu berbanding terbalik dengan prestasiku selama ini. Dari awal aku masuk sekolah hingga sekarang aku duduk di kelas 12, aku selalu bertengger di posisi tiga besar di kelas. Bagaimanapun juga, Irfan harus giat belajar agar dia tak tinggal kelas. Itu juga demi cita-cita dan masa depannya.

Keesokkan harinya, saat jam istirahat aku bertemu dengan Irfan. Ku ajak dia memisahkan diri dari keramaian siswa yang sedang mengantri di kantin sekolah. Setelah aku dan Irfan sampai di belakang sekolah, aku langsung membuka percakapan.

"Fan, kemaren kamu ulangan ya?" Tanyaku langsung ke inti permasalahan.

"Iya, Sya. Kemaren aku ulangan Matematika, dan aku dapat nilai kecil. Kamu tahu dari siapa, Sya?" Irfan menjawabnya dengan malas.

"Aku tahu dari Rizal. Fan, kamu yang rajin dong belajarnya. Aku gak mau karena kamu pacaran sama aku nilai kamu jadi jelek. Aku begini karena aku sayang sama kamu, Fan." Aku menjelaskan maksudku.

"Iya, Sya. Makasih kamu udah perhatian sama aku. Aku juga ga mau dapet nilai jelek, Sya. Aku tuh cuma malas buat belajar. Soalnya Papa sama Mamaku juga ga peduli sama nilai-nilaiku. Mereka cuma peduli sama pekerjaan mereka, Sya. Aku begini biar mereka itu sadar, kalau mereka itu sebenernya punya anak." Irfan menjelaskan tentang keluarganya kepadaku.

Dan aku baru saja mengetahui kalau kedua orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka hingga membuatnya seperti ini. Kalau kuingat-ingat lagi di awal pertemuanku dengan Irfan, dia memang bandel sekali. Ternyata peran orangtua itu bagi anak sangat penting ya.

"Sya, kamu ko diem!" Suara Irfan membangunkan aku dari lamunanku.

"Aku percaya sama kamu, kamu itu bisa jadi lebih baik dari sekarang Fan. Dengan cara kamu bermalas-malasan itu gak akan buat kamu bahagia, Fan. Aku yakin kamu itu pintar, aku tau kalo kamu itu cuma perlu lebih rajin lagi dan tunjukkin ke Papa sama Mama kamu, kalau sebenarnya mereka itu punya anak yang bisa bikin bangga mereka." ucapku sambil menahan air yang sudah menggantung di sudut mataku.

"Makasih, Sya. Kamu selalu ada buat aku. Kamu selalu kasih aku semangat buat belajar. Makasih juga udah hadir di kehidupan aku. Aku sayang kamu Rasya Pramudita Agatha." kata-kata yang diucapkan Irfan membuatku speechless.

Tak bisa mengeluarkan suara, hening. Lalu, beberapa detik kemudian aku hanya mengatakan "Love You too, Irfan Dhia Anggara." dengan suara yang mungkin hanya bisa di dengar oleh kami berdua.

"Yaudah yuuk, balik ke kelas gih! Bentar lagi bel tuh." ajak Irfan sambil menarik tanganku. Akhirnya kami berdua kembali ke kelas masing-masing.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Find You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang