Silahkan menikmati~
Cause it is first part, so, kalian tahu lah ini adalah pengenalan tapi harus dibaca karena biar dapet feel nya, okay?.
Pagi!
Cerah. Seperti biasa. Seperti kemarin. Tidak ada yang berubah semuanya sama. Busa persegi ini juga masih sama. Rasa nyamannya terus merayuku mendayung lautan mimpi.
Jam berapa? Jarum jam berkata sekarang sudah pukul 6. Aku mencoba membuatnya jujur, namun ia kekeh menunjuk angka itu.
Selanjutnya dentingan besi berumur setengah abad di ruang tamu menyapa semua orang. Begitu pula aku yang kini tengah di laundry room, bergelut menyelesaikan tugas rutin tiap weekend.
Gumpalan kapas bermekar ria di atas sana. Ya semoga saja cucianku hari ini akan cepat kering.
Rupanya aroma rempah yang menguar kuat sejak tadi bukan sekadar haluan. Eomma telah menyajikan hidangan rumahan dan adikku yang sudah rapi dengan seragam biru putihnya tengah menyantap sarapannya dengan lahap.
"Oh, hey morning girl! Selamat menikmati makan pagimu, Eomma harus berangkat sekarang. See you.", Eomma menyapa saat ekor matanya menangkap keberadaanku.
"Morning, Mom", jawabku dengan senyum sekenanya. "Morn, Cassy."
Adikku menyahut, "Morn too, sist."
Hanya sebatas itu. Setiap orang di rumah ini adalah work human -em, maksudku mereka selalu punya kesibukkan-
Terdengar deru mesin, pasti Eomma akan memacu mobilnya kurang dari 1 menit lagi, juga Cassy yang telah lenyap dari pandanganku.
Eomma -Sandara Kwon- seorang pengacara biasa namun etos kerjanya yang cekat tepat membuat jadwalnya kian padat. Wanita berdarah korea-inggris itu sudah menggeluti dunianya sebelum statusnya menjadi seorang istri, jadi ia sangat profesional tentu.
Cassy atau nama lengkapnya Cassalie Kwon masih mengenyam bangku smp namun lebih kuanggap sebagai artisnya keluarga Kwon. Dia sangat modis, anggun, feminime dan ya dia mempunyai banyak kelas bimbingan di samping belajarnya.
Sudahlah, terlalu banyak memujinya membuat jiwa iriku meronta. Mereka hebat aku tahu, aku juga merasa hebat untukku sendiri. Seperti kecantikkan, kehebatan juga relatif bukan?
Maka aku juga harus menjadi orang hebat. Iya tidak sekarang karena sekarang aku harusnya mengepel rumah, mencuci piring, me-, tunggu!
Pantas saja belum terdengar nyanyian emas motorku, ternyata ada kepompong yang masih bertapa.
Bangunkan? Oh ayolah, "Bangkai, wake up! Mbak ital di bawah udah nunggu."
Sontak lelaki berkulit tan itu mengempas springbed yang menggulungnya.
Mata sayunya mengerjap menahan silau, "Dari kapan? Are you serious, Lice?" Suara seraknya mengalun seksi. Kekeke.
"Of course, oppa. Apakah adikmu ini pandai berbohong?", jawabku sambil menggigit bibir menahan tawa.
Yang selanjutnya aku lihat adalah Kak Kai turun dan mencuci muka bantalnya. Dia tahu aku berbohong. Sangat tahu.
Kak Kai adalah orang yang paling mengertiku di antara semua orang. Tetapi statusnya sebagai mahasiswa di luar kota mengharuskan ia menjadi anak perantauan. Terkadang pulang di weekend seperti sekarang atau alasan something yang mendesak.
Kami melanjutkan kembali rutinitas hari ini. Aku yang telah mencuci, menjemur, mengepel, dan bersiap untuk mandi. Juga Kak Kai yang sudah rampung mengguyang kendaraan dan terlihat sedang membersihkan kolam renang.
Keluarga ini adalah keluarga puzzle, saling melengkapi untuk membangun sebuah lukisan. Entah indah ataupun tidak.
Ransel hitam telah memeluk punggungku, siap menemaniku menuju kantorku.
Aku bekerja di sebuah kantor. Di sana sangat menyenangkan karena aku akan pulang membawa ilmu penuh sampai ke saku celanaku.
"Kak aku berangkat ya. Eomma sudah masak. Aku mau les. Jangan lupa halaman belakang di sapu hehe!", pamitku.
Kak Kai menjawab lantang, "Ndeeeeeeee."
Ya. Aku mengikuti les untuk masuk ke sebuah sekolah kedinasan. Bukannya kemauanku, Eomma yang menginginkannya. Setidaknya ini akan menenangkan perasaannya.
Meski aku sama sekali tidak berniat mendaftar sekolah itu, tapi aku memikirkan kebahagiaan Eomma. Biarlah pahit namun nantinya akan berbuah manis.
Dan sekarang aku telah berhasil memerangi masalahku itu. Aku menikmati setiap kelas. Walaupun masih 2 tahun lagi tapi Ibu memintaku mempersiapkan sejak dini.
Satu terselesaikan, yang lain masih mengantri. Menurutku bukan manusia kalau tidak memiliki masalah.
Kata teman-teman, aku introvert. Dalam artian sikap, juga kehidupan.
Memang aku lebih pendiam. Aku seringkali bersikap tenang, segera menyelesaikan suatu masalah sendiri, belajar sendiri, dan jarang ribut.
Baiklah itu masih bisa kubenarkan. Tidak salah toh memang aku kelewat pendiam pada takaran mereka. Tapi aku suka. Ketenangan membuatku merasa damai.
Hanya saja ketenangan itulah yang sulit ditemukan. Apalagi di lingkungan sosial -pergaulan-
Aku tidak menyukai kelompok.
Di sana sangat berisik. Pembahasannya selalu tentang kejelekkan seorang tokoh yang menarik, bagi mereka.Fakta itu sangat kubenci. Namun kodratnya manusia, hal sejenis itu membuatku bermasalah.
Mungkin orang-orang memandangku terlalu tentram, nyatanya omongan merekalah yang membuatku bermasalah.
Hey, telingaku masih berfungsi dengan baik. Hatiku juga. Perasaanku tidak dapat dibohongi. Maka penuhlah bank masalahku.
Cukup! Sudah dulu sampai sini saja. Aku sudah malas untuk bercerita lagi. Mungkin akan kulanjutkan kalau mood ku sudah baik.
Ah iya aku moodnya seperti ombak, terombang ambing.
.
On going okay. Part udah ada tinggal publish dan nunggu mood aja hehe.
HANLIS MANA SUARANYA??
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Writer, Not Actress -unpub-
Teen Fiction- I want build a kingdom in my verse. Bukan kerajaan megah dengan kamar berlapis emas, hanya sebuah bangunan sederhana dengan ornamen rasa nyaman. "Sulit ya menikmati kesunyian di tengah bisingnya hujatan orang." Teruntuk kalian yang ingin menguda...