Sena menatap bagaimana cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela yang tersingkap karena angin lembut pagi hari. Pagi selalu sama di sini. Terasa sunyi, sendiri. Sena terbiasa melewati hari-hari sejak ia berjanji di hadapan Tuhan dengan kesepian dan kehambaran. Jimin masih terlelap di belakang punggungnya, tak peduli apakah Sena sudah bangun.
Wanita itu mengembus napas berat sekali sebelum bangun dan mengikat rambutnya yang tergerai. Kakinya sempat berjengit kaget merasakan betapa dingin lantai kamar. Dengan langkah pelan, ia menuju jendela dan membuka tirainya. Rasa hangat memapar wajahnya yang terpejam damai. Seandainya ia bisa bepergian, tak apa jika sendiri. Jimin tak bisa ia andalkan untuk apapun.
Bahkan, untuk acara pesta kolega yang orang tua pria itu suruh untuk datang. Semalam mereka benar-benar makan malam di rumah Jimin. Sena sempat menyangka bahwa pria itu hanya menjawab asal, ternyata ia memang akan pulang. Namun, memang suruhan pulang orang tua Jimin selalu berakhir dengan sebuah kabar atau perintah dari orang tua pria itu. Mereka menyuruh Sena dan Jimin menghadiri pesta kolega Keluarga Park sejak dulu sekali—Konglomerat Jeon, pemilik setengah Kota Busan.
Sena tak bisa membayangkan lingkup kemewahan yang mengelilingi Keluarga Park dan Jeon. Memang konglomerat beda level dengannya yang jelata ini. Sena harus mengingat itu sebagai satu alasan ia bertahan hidup dengan Park Jimin yang seperti batu.
"Kau sudah bangun?"
Suara berat—sedikit cempreng sebenarnya—terdengar. Jimin baru saja terbangun. Sena meliriknya malas, menyahut dengan nada datar, "Kau tak lihat aku sudah menapak dengan benar? Tanyakan itu pada dirimu sendiri."
Oke, satu kelebihan lain jadi istri Park Jimin; bisa mengatakan kata-kata kurang ajar pada pria itu. Kalau dia bukan istrinya, mungkin dia sudah dibunuh di gang sepi oleh pembunuh bayaran. Jimin itu predator ganas di dunia kerjanya, semua orang mengecapnya sebagai Serigala Busan. Astaga, Sena sebenarnya nyaris tertawa keras saat mendengar itu dari asisten Park Jimin. Untung ia masih ingat tempat dan sayang nyawa.
"Aku ingin sup jamur sebagai sarapan, Sena."
Sena hanya mampu tersenyum patuh, sedikit jengkel. Baru bangun sudah menyuruh. Memang jiwa pimpinan Park sudah meresap sampai DNAnya.
"Baiklah, Baginda. Akan hamba buatkan sup jamur enak seperti permintaan Baginda."
Sena menyeletuk. Matanya merotasi malas, sempat melirik Jimin yang tersenyum kecil. Ia mendekat dan memukul punggung Jimin yang masih betah bergelung dalam selimut, mengomel seperti seorang Ibu di hari Minggu, "Cepat bangun dari tidur tampanmu, Baginda. Hamba akan siapkan sarapan untuk Baginda."
Sena sempat menunjukkan gestur menunduk hormat lantas berlalu cepat tanpa menunggu reaksi Jimin. Memang dari dulu wanita itu begitu; seenaknya sendiri dan serampangan. Jimin sedikit mendapat hiburan saat mengobrol dengannya.
"Dasar wanita itu," dengusnya sembari beranjak bangun.
...
"Pestanya akan diadakan besok malam. Aku akan menemanimu membeli gaun dan hal-hal lain hari ini," ujar Jimin setelah acara sarapan mereka usai. Sena menaikkan alisnya, heran. Tumben sekali pria batu di depannya perhatian.
"Jangan salah sangka. Aku melakukan ini untuk menjaga citraku di depan orang-orang. Mau ditaruh mana muka Park Jimin jika istrinya datang ke pesta dengan gaun sederhana. Cepat bereskan sarapannya dan ganti baju."
Sena tak tahu sudah berapa kali ia tersenyum patuh pagi ini. Percuma mengharapkan perhatian pria di depannya. Itu semua hanya halusinasi, takkan terjadi sampai kapanpun, impossible. Dan Sena harus menanamkannya baik-baik dalam otak; Tidak boleh mengharap lebih pada Park Jimin!
"Iya, Jim," balas Sena dengan kepala menunduk.
...
Mereka berkendara menuju kota, berhenti di butik langganan Keluarga Park. Dari luar saja, Sena sudah tahu butik itu hanya untuk orang-orang dengan dompet tebal. Jimin dan dia masuk dengan santai, disambut pegawai butik itu dengan sangat ramah. Sena melempar senyum, berbeda dengan Jimin yang memasang wajah angkuh. Dasar diktator!
"Selamat siang, Tuan dan Nyonya Park. Suatu kehormatan kami bisa melayani Anda berdua. Apa yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Berikan gaun terbaik yang ada di butik ini untuk istriku. Kami akan menghadiri acara penting besok malam."
Dan Jimin berlalu menuju salah satu sofa di sana, tanpa meminta pendapat Sena juga perihal gaun yang akan ia gunakan. Padahal yang akan memakainya, kan, wanita itu, bukan pria dingin yang asyik duduk sambil menyilangkan kaki bak raja. Oh, Sena lupa. Jimin kan memang raja bagi bawahannya yang patuh, Sena salah satunya. Itu fakta yang menyedihkan.
Sena menerima beberapa gaun yang pegawai butik berikan, sempat memeriksa gaun-gaun itu di cermin ruang gantinya. Semuanya indah. Ia ingin beli semuanya sebagai simpanan kalau ada pesta agar tak usah repot-repot keluar dengan Park Jimin. Namun, ia masih punya malu untuk tak meminta pada Jimin.
Gaun pertama punya kesan lembut dan feminim, seperti putri di buku dongeng yang patuh dan manis. Pun kesan anggun terasa di sana. Sena berputar di depan Jimin dengan gaun itu. Jimin hanya memberi satu kata, "Bagus."
Itu saja dan Sena dapat simpulkan pria itu sebenarnya malas mengajaknya ke sini. Sena masuk lagi, mencoba gaun kedua.
Gaun kedua terlihat tegas dan sedikit dewasa, tapi masih ada kesan cantik dan anggun di sana. Sena menunjukkannya lagi ke Jimin, dan respon yang didapat tentu sama saja. Sena tersenyum sabar, lalu masuk lagi ke ruang ganti. Kali ini gaun terakhir.
Yang ketiga benar-benar menampilkan kesan mewah yang indah. Seperti gaun dewi Yunani yang simple, tapi cantik. Jimin kali ini menambah satu acungan jempol dan berujar, "Pakai itu. Harus."
Yah, memang hidupnya ditentukan oleh Park Jimin dan mulut diktatornya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwind. [ Park Jimin ]
FanfictionAku pernah menyakitimu hingga akhirnya kau menyerah akan segalanya. Tak apa jika rumah yang selalu aku datangi ketika lelah telah dimiliki orang lain. Aku sungguh tak apa. Started on January 25, 2020. •A-taesthetics•