Pesta

188 33 15
                                    

Sena sedang kesusahan mengangkat ujung gaunnya yang menyapu lantai. Dia sudah selesai berdandan untuk pesta malam ini. Dengan langkah pelan, Sena menuruni anak tangga rumahnya. Jimin tak bisa mengantarnya karena ada rapat mendadak di kantor dan bilang akan menyusul ke sana. Rambut wanita itu digulung tinggi, meninggalkan juntaian anak rambut yamg cantik. Wajahnya dipoles tipis dan lipstick berwarna magenta menempel di labiumnya. Ia memasuki mobil dengan susah payah.

Perjalanan menuju rumah Keluarga Jeon terhitung cepat. Ia bisa lihat pagar tinggi berwarna hitam yang terbuka lebar dan puluhan mobil mewah limited edition terparkir di halamannya yang amat luas. Untung saja ia sudah terbiasa dengan pemandangan ini sehingga mulutnya tak menganga lebar sebab takjub. Mobil berhenti di depan kediaman Jeon. Ada seseorang yang membukakan pintu untuk Sena. Wanita yang saat ini bermarga Park itu lantas keluar dari mobil dan kebingungan karena ia tak pernah ke pesta sebelumnya.

Sang sopir sekaligus bodyguard yang akrab dengan Sena pun menyadari itu dan segera menjulurkan lengannya yang menekuk ke sang nyonya. Sena tersenyum kecil, berujar lirih, "Terima kasih, Namjoon."

"Suatu kehormatan bagi saya, Nyonya," balas si pria.

Mereka berdua memasuki rumah megah itu dengan pelan. Sena melirik kemana-mana. Aula rumah itu dipenuhi tamu berpakaian mahal. Bau-bau parfum langka tercium di penghidunya—membuatnya pusing karena baunya amat menyengat. Sena melepas pegangannya di Namjoon selagi tersenyum kecil.

"Sampai sini saja, Namjoon. Kau bisa kembali."

"Baiklah, Nyonya Park."

Dan, satu bungkukan dari Namjoon menjadi salam perpisahan pria itu. Sejujurnya, Sena masih ingin Namjoon ada di sampingnya sebab ini aneh bagaimana ia datang ke pesta seorang diri. Semuanya memiliki pasangan pesta mereka, tapi tidak dengannya. Ingatkan Sena untuk menendang tumit Park Jimin!

Ia menjelajahi aula itu dengan langkah kecil-kecil, segera menargetkan tujuannya. Ia lapar dan kudapan pesta di meja panjang ujung ruangan benar-benar menarik atensinya. Sena segera mengambil piring dan kue-kue manis di sana. Tak menghiraukan bisikan orang-orang yang bertanya dari keluarga mana dia berasal. Semua orang itu pengecut bagi Sena. Hanya berani mengatai di belakang punggungnya, tapi kalau bertemu pura-pura manis. Cih.

Sena tak suka hirup-pikuk ini. Rasanya menyesakkan kendati diisi puluhan orang-orang dengan kasta tinggi. Ia lebih nyaman mengobrol dengan Namjoon daripada tuan atau nyonya di sana. Sena lelah berdiri sejak tadi. Jadi, ia memutuskan menuju balkon yang merupakan tempat terakhir untuk dikunjungi di pesta. Tempat yang akan jadi favorit orang-orang benci pesta seperti Sena. Ia menduduki pembatas balkon itu dan menyantap kuenya khidmat. Suasana sunyi dan langit malam cukup mampu menaikkan moodnya yang tadi hancur.

"Sendirian saja, Nyonya?"

Suara tenor yang tak asing memasuki rungu Sena. Wanita itu melirik sekilas, mendapati sang suami yang berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Terlihat luar biasa tampan—selalu. Rambut berwarna pirang itu ditata hingga menunjukkan dahi indahnya, riasan mata yang tak terlalu tebal, dan jas licin keluaran desainer ternama.

 Rambut berwarna pirang itu ditata hingga menunjukkan dahi indahnya, riasan mata yang tak terlalu tebal, dan jas licin keluaran desainer ternama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jimin hanya diam di sana, menatap Sena yang memutar bola mata malas. Netranya mengamati penampilan sang istri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Baru menyadari bahwa Sena teramat cantik meskipun banyak wanita lebih cantik di luar sana. Dia menaikkan alisnya menggoda, berujar lirih, "Kau cantik."

"Aku sudah tahu. Tak usah sok merayuku," balas Sena ketus. Kalian ingat, kan, dia sedang dalam mode 'Ayo kita abaikan Jimin hingga pria itu kesal!'.

"Baiklah. Aku mengalah kali ini. Namun, bisakah kita masuk ke dalam? Pemilik pestanya akan memberi sambutan."

Jimin mengulurkan satu tangannya ke Sena yang melengos tak peduli, sukses membuat pria bermarga Park harus menahan napasnya karena jengkel. Ia tak punya cara lain selain meraih pinggang wanita itu dan membuat Sena nyaris terkena serangan jantung.

Sena tentu saja tak tinggal diam. Mulutnya mengomel marah, "Astaga! Park Jimin! Kau mau jadi duda muda, hah?!"

"Eiy, istriku sayang, kenapa doamu jelek sekali? Jangan marah lagi, oke? Maafkan aku."

Sena menilik netra gelap Jimin yang memandangnya sungguh-sungguh, mencoba mempertahankan kekesalan yang sebelum ini mencapai level teratas. Ia tak boleh luluh hanya karena tatapan merana Jimin!

"Terserahmu saja."

Sena mengalihkan pandangannya selagi tungkai mereka berdua memasuki aula. Di atas tangga sana, Sena bisa melihat sosok tegap dengan rupa rupawan dan senyum seindah malaikat. Matanya melotot kaget. Ia bahkan tak tahu bahwa setelah lima tahun terlewati, mereka akan bertemu lagi.

"Ada apa?" tanya Jimin saat menyadari perilaku aneh Sena.

"Di-dia sahabat lamaku, Jim."

"Serius? Baguslah. Itu artinya kau bisa mempererat hubungan keluarga kita berdua, Sena."

Sena mendecih sebal. Sempat-sempatnya tuan sempurna di sampingnya ini memanfaatkan hubungan Sena dengan sang pemilik pesta. Ia tersenyum lebar setengah paksa, berbisik di telinga Jimin, "Jangan menyuruhku, Tuan. Aku bisa menyalak dengan keras!"

"Dasar anjing liar."

"Dasar majikan sialan."

Dan dengan balasan tak terduga—tipikal Park Sena sekali, Jimin dibuat terkekeh antusias. "Aku selalu kalah beradu makian denganmu."

"Belajarlah dariku kalau begitu."

"Tidak mau."

Balasan Jimin senyatanya bermaksud menggoda kesabaran wanita itu. Jimin suka melihat Sena yang kesal dan mendumel emosi tiap saat. Memancing amarah Sena adalah hobi barunya sekarang.

"Oh, sahabat lamamu sudah selesai memberi sambutan. Ayo kita beri dia salam hangat!"[]

Unwind. [ Park Jimin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang