Ikuti Aturannya

237 36 14
                                    

Sena baru saja bangun setelah sampai di rumah pada pukul 12 tadi malam. Tubuhnya terasa hancur karena sepatu hak tinggi dan gaun yang lumayan berat semalam. Netranya tak sengaja berlari pada Park Jimin yang sudah siap dengan jas abu-abu kantornya. Sena mengernyitkan alis. Ini bahkan belum pukul 8, tapi pria itu sudah siap bekerja.

"Kenapa pagi sekali sudah rapi?" tanyanya dengan suara sengau khas orang bangun tidur.

Jimin melirik ke arah Sena yang masih betah tertidur di kasur. Dia menjawab sembari menyisipkan sindiran halus pada sang istri, "Aku akan pergi tiga hari ke Italia. Kantor cabang di sana kinerjanya buruk. Oh, istriku, apa kau tak malu hanya tidur di sana saat suamimu ini kesusahan memasang dasi?"

Sena melempar dengusan sebal, bangkit dari tidurnya dan mendekati Jimin yang tersenyum kemenangan. Gadis itu tersenyum kecil saat mengikat dasi di leher Jimin.

"Aku harap perjalanan bisnismu menyenangkan, Tuan," ucapnya sambil menarik kencang ikatan dasi Jimin.

Pria itu kesulitan bernapas sesaat, membuat Sena tertawa keras sebab senang bisa membalas dendam. Jimin memberikan tatapan tajam pada Sena yang masih betah menertawainya. Dia tak punya banyak waktu sekarang. Jadi, Jimin memutuskan untuk segera pergi walaupun dia ingin membalas dengan yang lebih menggelikan.

"Aku akan membalasmu saat pulang."

"Coba saja," balas Sena enteng.

Keduanya berjalan beriringan menuju ke tempat parkir. Setelah mengantarkan sang suami sampai di mobilnya, Sena hendak berlalu dan melanjutkan tidurnya. Namun, tiba-tiba Jimin menarik lengannya hingga dia berputar. Pria itu memeluk sebentar tubuh Sena yang membeku karena terkejut.

"Apa kau lupa Ayah mengirim banyak mata-mata untuk mengawasi kedekatan kita?"

Sena tersenyum masam. Dia mencubit pipi Jimin seolah sedang bercanda mesra dengan pria itu, tapi bibirnya menggumam, "Iya, Yang Mulia. Hamba akan mematuhi hubungan mesra kita di depan kamera."

Jimin lantas membalas Sena dengan mencubit kedua pipinya hingga wanita itu meringis kesakitan. Senyuman lebar Jimin lemparkan pada sang istri yang kesulitan.

"Jangan keluar bersama pria lain apalagi Jeon Jungkook. Ingat itu!"

"Padahal kau sendiri yang bilang kedua belah pihak boleh memiliki hubungan spesial dengan orang lain."

"Tapi, bukan untuk kencan di luar rumah."

"Ya sudah. Aku bawa saja dia ke rumah."

Perdebatan itu diakhiri dengan cengiran usil Sena. Jimin menghela napas berat, mengusak rambut Sena yang digerai acak.

"Hati-hati di rumah."

Sosok Jimin masuk ke dalam mobil dan melaju menuju bandara. Sena mengamati mobil itu yang mulai menjauh. Dia akan kesepian selama tiga hari ini.

...

Sena baru saja selesai membersihkan rumah mereka saat dering ponselnya terdengar. Wanita itu mendekat ke meja, mengambil ponsel yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia mengangkat panggilan itu dengan ragu.

"Siapa?"

"Pagi, Sena. Apa kau bisa menebak siapa aku?"

Sena hapal suara ini kendati mereka baru bertemu sekali setelah sekian lama. Dia tersenyum tipis sambil membalas, "Siapa yang tak kenal suara merdu milik Jeon Jungkook."

"Ah, kau masih penghapal yang baik sejak dulu."

"Aku merasa tersanjung atas pujianmu, Jung."

Kekehan tawa terdengar dari sang penelpon. Sena mengingat kembali kapan terakhir dia mendengar suara Jungkook. Mereka tumbuh dewasa dengan cepat.

"Apa yang kau lakukan?"

"Aku baru saja selesai bersih-bersih."

"Woah! Istri yang baik."

"Jangan menggodaku, lajang. Cepat cari calon istri sana," balas Sena.

Jungkook tersenyum walaupun Sena tak bisa melihatnya. Dia membalas setelah meminum seteguk kopi hitamnya, "Tidak mau. Malas."

"Aku tak tahu apa yang membuatmu tak mau padahal banyak gadis seksi menawarkan diri padamu."

"Dari mana kau tahu itu?"

Sena melempar pandangannya ke jendela, menatap langit yang cerah. Dia tiba-tiba mengingat Jimin yang saat ini sedang ke luar negeri.

"Suamiku sebelas dua belas denganmu. Jadi, aku sudah hapal."

"Oh, iya. Tuan muda Park Jimin tentu dikelilingi gadis seksi juga. Namun, kenapa dia mau dengan gadis yang badannya rata sepertimu?"

Sena mendengus kesal, membalas dengan nada sebal yang kentara, "Kalau kau hanya memancing keributan, aku tutup saja teleponnya."

"Dasar pemarah. Aku hanya mau menjalin hubungan baik dengan kawan lama."

"Banyak alasan," gumam Sena.

"Kenapa sepi sekali? Kau sendirian?"

Sena mengangguk. Dia lupa kalau mereka sedang berbicara melalui panggilan telepon. Dengan sisa-sisa malu yang ada, Sena mengiyakan. Panggilan itu diam selama dua detik sebelum suara Jungkook terdengar lagi.

"Kemana suamimu?"

"Dia sedang mengawasi kantornya di Italia."

"Berapa hari?"

Sena menaikkan arah matanya, mengingat-ingat berapa hari Jimin pergi. Dia mungkin sudah terlalu biasa ditinggal Jimin hingga tidak pernah menghitung dan mengingat berapa hari Jimin pergi. Yang Sena tahu, dia hanya perlu selalu di rumah saat Jimin pulang karena pria itu tidak suka sendirian.

"Tiga hari sepertinya. Ada apa?"

"Oh, aku sedang luang tiga hari ini. Bagaimana kalau bersenang-senang selama suamimu tidak ada?"

Sena nyaris menyumpahi Jungkook kalau saja pria itu tidak menambahi ucapannya. Ada nada grogi di sana yang membuat Sena tertawa kecil. Jungkook memang banyak berubah, tapi kecanggungan pria itu masih tetap ada. Bahkan, sepertinya lebih parah.

"Ti-tidak. Maksudku, kita bisa jalan-jalan atau aku akan menemanimu ke department store."

"Kedengaran menyenangkan, tapi aku belum minta izin Jimin. Dia bisa marah besar kalau tahu aku jalan dengan pria muda tampan."

Mungkin Sena kira ucapannya hanyalah candaan belaka, tapi bagi Jungkook yang saat ini merasakan sudut bibirnya tertarik ke atas jelas bukan suatu tanda bahwa dia menganggap ucapan wanita itu adalah candaan. Jungkook tahu rasa familier yang telah lama mengendap dalam dadanya kembali tumbuh lebih besar daripada sebelumnya. Namun, satu fakta itu kembali menarik kesadarannya.

"Baiklah, segeralah minta izin pada suamimu. Kabari aku jika sudah dapat izin."

Sena mengiyakan dengan cepat lantas mematikan panggilan itu setelah pamit. Namun, Jungkook terus saja memandang layar ponsel yang masih menampakkan nama Sena di sana. Matanya berkedip beberapa kali lalu senyuman miris terukir di ranumnya yang tipis. Dia terlambat lagi. Selalu begitu.[]

Unwind. [ Park Jimin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang