Ya Allah, akulah hamba-Mu yang kufur nikmat.
Yang selalu tidak pernah merasa puas, padahal nikmat-Mu mengalir setiap detiknya.
*****
Almahyra Medina. Nama yang sejak di Sekolah Dasar hingga di Perguruan Tinggi selalu menjadi sorotan karena segudang prestasi. Selalu menjadi juara satu di kelas, bahkan juara umum di sekolah. Tak jarang saat aku melewati teman-teman yang tidak sekelas dengaku, mereka berbisik-bisik. "Itu Medina. Almahyra Medina, yang selalu juara satu umum." Ada kebanggaan saat mendengar itu. Namun, tak jarang juga mereka mengatakan hal negatif tentangku. "Tapi dia sombong sih, terus katanya nggak mau nyontekin."
Kadang aku bingung dengan teman-temanku itu, kenapa sih mereka selalu mengandalkan orang lain? Kenapa mereka tidak belajar untuk bisa sukses? Apa salah kalau aku tidak memberikan jawaban yang aku dapat dengan susah payah pada mereka? Apa mereka tahu apa yang aku lakukan hingga aku bisa mendapat nilai tinggi? Aku tidak pernah punya waktu bermain.
Sejak SD, mama memang mengikutkan aku dengan banyak kegiatan, mulai dari les musik, mengaji, sempoa dan Bahasa Inggris. Waktu bermainku memang lebih sedikit dibanding teman-temanku yang lain, hal yang dulu membuatku iri dengan teman-teman sebayaku. Apalagi mereka punya kakak atau adik yang bisa diajak main bersama. Sedangkan aku tidak. Aku memang anak tunggal.
Papaku bekerja di kantor Imigrasi sementara mamaku seorang dosen. Mama dan Papa memang kedua orangtua yang benar-benar mengutamakan pendidikan, apalagi aku anak satu-satunya. Papa selalu menanamkan di benakku agar aku selalu menjadi nomor satu. Nomor satu dan aku akan selalu diingat oleh orang-orang di sekitarku, diakui.
Itu juga hal yang membuatku begitu ambisius. Aku selalu menjadi juara kelas, bahkan di SMP aku menjadi juara umum di setiap semesternya. Selain itu aku juga mewakili sekolahku untuk mengikuti berbagai macam perlombaan, olimpiade matematika, fisika dan semuanya selalu membawa piala. Siapa yang tidak mengenal Almahyra Medina? Kurasa seluruh penjuru sekolah tahu siapa aku.
Anak tunggal, pintar dengan segudang prestasi, juga orangtua yang punya pekerjaan bagus. Papa salah satu pejabat di Imigrasi, dan Mama juga dosen yang disegani di Universitas Negeri di Palembang. Keluarga yang sempurna. Ya, aku merasa aku sudah memiliki segalanya saat itu. Hingga kesempurnaan itu terenggut begitu saja.
Palembang 2008...
Aku berjalan keluar menuju parkiran perguruan Methodist Palembang, dengan hati yang sedikit kecewa. Tangan kananku memegang piala yang bertuliskan juara II Olimpiade Fisika. Hanya berbeda satu skor dengan peraih juara pertama dan itu membuatku begitu geram. Aku membuka pintu mobil sedan hitam milik Papa. "Hai, Pa," sapaku lesu.
"Lesu banget mukanya?" tanya papaku.
Aku memperlihatkan piala yang sedang aku pegang. "Juara II."
Papa melihat pialaku lalu tersenyum. "Alhamdulillah," kata Papa sambil meletakkan pialaku dengan hati-hati di kursi belakang.
"Tapi kata Papa, untuk dikenal dan diakui Medina harus jadi nomor satu."
"Kan kamu selalu jadi nomor satu, Nak?" Papa menyalakan mesin mobil dan menjalankannya.
"Ini nggak. Dan Waktu SMP juga pernah nggak."
Papa menoleh ke arahku. "Masih kepikiran terus soal itu?"
Aku diam tidak menjawab pertanyaan Papa. Jelas aku masih teringat masalah itu. Saat pengumuman peraih UN tertinggi di sekolah, setelah selama ini aku selalu menjadi nomor satu, untuk pertama kalinya. Aku menjadi nomor dua, semua murid-murid yang dikumpulkan di ruang pertemuan bertanya-tanya. "Kok bukan Medina? Kenapa Inara?" Pertanyaan yang sama yang terlintas dibenakku sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.
Aku pingsan. Karena tidak meraih juara satu. Dan itu pasti diingat oleh semua teman-teman angkatanku. Untungnya kali ini aku bisa mengontrol emosiku. Walaupun aku tetap merasa kesal karena tidak menjadi nomor satu.
"Kadang kita itu nggak selalu dapet apa yang kita mau, Nak," ucap papaku. "Kan kamu udah usaha, nggak papa juara dua."
Aku merasa ini bukan seperti papa yang biasanya. Biasanya papa akan memotivasiku untuk selalu menjadi juara satu. Papa selalu memastikan kalau nilai-nilaiku tidak pernah turun. Bahkan waktu kelas sepuluh dulu, ketika kali pertama aku berpacaran dan akhirnya ketahuan oleh Papa. Papa memintaku putus dari pacarku itu.
Kata papa, nilaiku pasti akan menurun karena pacaran. Padahal pacarku itu kakak kelas yang terkenal pintar. Ya, tentu saja aku tidak akan sembarangan memilih orang yang menjadi pacarku. Harus laki-laki yang cerdas dan nyambung ngobrol denganku. Tetapi, kenapa hari ini papa memaklumiku?
Perjalanan dari Methodist ke rumahku lumayan jauh, apalagi ini hampir Magrib, jalanan macet karena jam pulang kerja. "Lewat Sukabangun aja, ya," kata Papa.
Aku mengangguk. Jalan itu memang yang paling lancar di banding harus lewat Basuki Rahmat. Saat kami di KM. 5 aku mendengar tarikan napas papa, yang terdengar aneh. "Papa kenapa?" tanyaku khawatir, apalagi papa memegangi dadanya.
Papa menggeleng. "Cuma sesak."
"Beneran?"
Papa mengangguk. "Ini udah nggak lagi." Papa kembali memegang stir dengan kedua tangannya. Aku lega karena papa sepertinya baik-baik saja. Namun, saat kami berbelok ke jalan Sukabangun. Papa kembali sesak, kali ini sesaknya lebih hebat, hingga papa menepikan mobil dan memundurkan kurisnya. "Pa... Pa..." Aku mengguncang tubuh Papa, bingung melihat papa yang kesulitan bernapas.
"Te... telepon... Mama," ucap Papa dengan napas pendek-pendek.
Aku segera mengeluarkan ponsel dengan tangan gemetar dan menghubungi mama, namun mamaku tidak mengangkat panggilanku, sepertinya sedang salat magrib, aku mencoba menelepon Omku yang rumahnya tidak jauh dari sini. "Om... tolong... Papa..." Aku sudah tidak bisa menahan laju air mataku, apalagi melihat papa yang benar kesulitan bernapas.
"Pa, tunggu ya, Om Hasan lagi di jalan."
Papa masih berusaha mengatur nafasnya, aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak bisa menyetir dan yang bisa kulakukan hanya menunggu. Setika itu juga aku merasa menjadi anak yang tidak berguna. Apa gunanya ilmuku selama ini kalau aku tidak bisa menyelamatkan papaku yang kesulitan bernapas seperti ini.
Tidak lama kemudian Om Hasan datang bersama tanteku. Om Hasan langsung membantu Papa untuk pindah ke kursi penumpang, aku duduk di kursi belakang, sementara Om Hasan langsung menjalankan mobil menuju rumah sakit terdekat. Rumah Sakit Myria yang paling dekat dengan lokasi kami, sampai di rumah sakit, Papa langsung dibawa ke UGD. Aku melihat Papa yang tidak sadarkan diri dan dokter yang melakukan CPR.
"Tante..." kataku dengan nada lirih.
Tanteku memeluk tubuhku. "Tenang ya, Din."
Aku menunggu dan terus menunggu, menunggu detak jantung papa kembali normal, menunggu papa sadar dan kembali mengajakku bicara, namun itu tidak terjadi. Karena, beberapa menit kemudian, dokter yang menangani papa bilang kalau papa sudah tiada.
Duniaku runtuh, tempatku berpegang kini sudah pergi dan tidak akan pernah aku temui lagi. Pelindungku sudah pergi selama-lamanya.
******
Udah satu bab ini aja lagi buat hari ini.
Happy reading...
KAMU SEDANG MEMBACA
Medina
SpiritualAlmahyra Medina. Nama yang sejak di Sekolah Dasar hingga di Perguruan Tinggi selalu menjadi sorotan karena segudang prestasi. Selalu menjadi juara satu di kelas, bahkan juara umum di sekolah. Dan saat ini pun, Medina tetap selalu menjadi sorotan. N...