Ya Allah aku lah hamba-Mu yang terlalu mencintai dunia.
Yang tidak sadar kalau dunia ini hanyalah sementara.
******
"Coffee or tea?" tanya seorang pramugari padaku, senyumnya manis, aku selalu kagum dengan wajah orang-orang Arab, pahatan wajah mereka begitu indah, hidung mancung dan mata yang indah.
"Tea, please," jawabku. Pramugari itu menuangkan teh ke paper cup, lalu memberikannya padaku, kemudian aku mengucapkan terima kasih. Mama dan Om Hasan sudah tertidur di sampingku, sementara aku tidak merasa mengantuk. Mungkin karena terlalu excited untuk menginjakkan kaki di Madinah.
Rasanya tidak disangka kalau saat ini aku sedang dalam perjalanan ke dua kota suci itu. Mengingat dulu, yang kupikirkan adalah berlibur ke Jepang, Amerika, New Zealand, tidak sekalipun aku berpikir aku akan pergi ke Madinah dan Makkah. Mungkin keinginan itu ada, tetapi dulu aku pikir baru akan aku wujudkan ketika aku sudah berumah tangga, sudah mempunyai anak. Dalam bayanganku aku akan ke sana seperti Ibu yang duduk dekat jendela, kutaksir usianya sekitar enam puluh tahun. Ya, aku pikir aku baru akan menunaikan ibadah umroh atau haji, ketika setua itu.
"Umur kan nggak ada yang tahu, Din. Selagi masih ada waktu, apalagi kamu mampu. Hidup di dunia ini kan memang untuk beribadah kepada Allah. Jangan menunda-nunda hal baik."
Lagi-lagi ucapan Kak Khansa membuka mata hatiku. Ya, mungkin selama ini aku terlalu mengejar dunia. Terlalu terlena dengan semua yang aku punya. Tetapi aku bersyukur karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Pengampun, ketika Dia memberi cobaan, pastinya juga memberi jalan keluar. Aku tidak akan pernah lupa, dengan masalah yang membuatku seperti berada di tengah persimpangan. Antara ingin menjauh atau mendekat dari agama.
******
Palembang 2012
Hari ini aku akan kembali ke Palembang, liburan semester. Satu tahun lagi dan aku akan resmi lulus dari STIS. Rasanya terkadang waktu berjalan begitu cepat, juga begitu lambat. Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun aku berada di sini, di awal-awal tahun, aku cukup terguncang karena Ando memutuskan aku. Bukan sedih, tapi lebih kepada bertanya-tanya, apa salah menjadi perempuan mandiri dan serba bisa?
Menurut studi dari Warsaw School of Econimics, katanya laki-laki mengihindari wanita dengan aspek tertentu. Bukan yang terlalu cantik atau kaya, tetapi mereka terintimidasi dengan wanita yang sangat pintar. Katanya laki-laki menginginkan perempuan yang cerdas dan pintar, namun hanya sampai tahap tertentu saja. Intinya tidak lebih pintar dari mereka, karena mereka akan merasa terintimidasi. Menurutku, itu hanya alasan untuk memenuhi ego mereka. Aku berharap masih bisa menemukan laki-laki yang tidak berpikir seperti itu.
Dan setelah kupikir-pikir ada bagusnya juga aku putus dengan Ando, dia juga bukan laki-laki yang punya semangat juang yang tinggi. Ando di DO di akhir semester dua. Setelah keluar dari sini, dia tidak pernah lagi menghubungiku, bahkan semua kontakku di blokir olehnya. Aku tidak tahu apa salahku, tetapi kata teman-temanku dia hanya malu padaku.
Dan itu semua bukan dugaan, karena beberapa tahun lalu, saat aku pulang ke Palembang untuk menghadiri pernikahan temanku yang mengenalkan aku pada Ando, aku bertemu dengannya. Dia hanya menyunggingkan senyum lalu memilih berlalu dari hadapanku. Aku juga tidak ambil pusing dengan sikapnya itu.
Sekarang, aku tidak menjalani hubungan dengan siapapun. Aku memilih untuk fokus menyelesaikan kuliahku saja, walaupun ada beberapa orang yang memang dekat denganku. Dua-duanya dikenalkan oleh temanku, satunya masih menempuh pendidikan di STPDN namanya Ican, satu lagi mahasiswa Universitas Sriwijaya bernama Randi.
Dan hari ini rencananya Ican akan menjemputku dari bandara. Sebenarnya aku sudah melarangnya untuk menjemputku, namun dia tetap bersikeras. Ya sudahlah. Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu tertarik pada Ican.
Saat keluar dari pintu kedatangan, aku celingak-celinguk mencari keberadaan Ican, namun yang aku temui malah Randi. "Lho, kok kamu di sini?" tanyaku pada Randi yang tersenyum sambil mendekatiku.
"Kan kamu bilang mau pulang hari ini, kebetulan hari ini nggak ada kerjaan, jadi aku jemput," jawabnya.
"Tapi aku..."
"Medina," panggilan itu membuatku menoleh. Dan aku tidak bisa berkata-kata sekarang saat melihat Ican berjalan mendekati kami. Ican menatap Randi dengan tatapan yang aku artikan tidak suka, kemudian menatapku. "Yuk, aku parkir di sana." Ican mengambil alih koperku, sementara aku masih diam terpaku. Tidak tahu harus melakukan apa, aku melihat wajah Randi yang terlihat tidak enak, dia menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. "Ran, sori banget ya. Aku pulang bareng Ican. Udah janji sama dia."
Randi mengangguk. "Nggak papa, salahku yang nggak bilang kamu dulu."
"Duluan ya," kataku lalu berlalu dari hadapannya dan mengikuti Ican menuju parkrian. Saat masik ke mobil Ican, aku merasakan perasaan yang tidak enak. Laki-laki itu diam saja, menurut tebakanku dia marah karena Randi. Namun, kenapa dia harus marah? Kami kan tidak ada hubungan apa-apa?
"Tadi itu siapa kamu?" tanyanya saat kami sudah memasuki jalan raya.
"Temen."
"Kamu minta jemput dia juga?"
Aku menoleh ke arahnya. Aku tidak suka ucapannya yang seolah menuduhku. "Nggak. Dia dateng sendiri karena tahu aku mau pulang."
"Aku nggak suka kamu deket sama cowok lain."
Aku kembali memandangnya. "Aku rasa kita belum sampai ke tahap itu deh," aku memperingatkan. Jujur aku tidak suka diatur-atur, apalagi dengan orang yang belum menjalin apa-apa padaku, kami masih berteman, dan sepertinya akan tetap berteman.
Dia tidak menjawab ucapanku lagi, dia menyetir sedikit lebih kasar, mungkin menumpahkan emosinya. Dan lagi-lagi sifat ini yang tidak aku suka darinya. Setelah sampai di rumah Ican membantuku menurunkan koper, namun menolak saat aku masuk ke dalam. "Makasih ya," ucapku.
Dia mengangguk sekilas. Lalu kembali ke mobilnya kemudian pergi begitu saja. Sepertinya aku harus mencoret nama Ican dari orang yang kupertimbangkan untuk menjadi pacarku. Aku tidak suka sikapnya yang arogan.
Saat masuk ke kamar, ponselku berdering, ternyata telepon dari Randi. "Halo?" sapaku.
"Udah sampai rumah, Din?"
"Udah."
"Alhamdulillah. Maaf ya tadi bikin suasana jadi nggak enak. Aku nggak tahu kalau kamu dijemput pacar."
Aku menggigit bibir bawah saat mendengar Randi mengira kalau Ican adalah pacarku. "Dia bukan pacarku."
"Oh."
Kami berdua kembali diam, kemudian Randi kembali bicara. "Besok ada rencana apa?"
"Nggak ada sih."
"Capek nggak? Kalau nggak capek, mau jalan nggak sama aku?" tanya Randi lagi.
Aku tidak langsung menjawabnya. Randi, sejak awal mengenalnya dia orang yang sopan, wajahnya juga tampan, dari keluarga baik-baik juga. Dia juga lulusan dari SMA ternama di Palembang. Itu alasan aku mau mengenalnya lebih jauh dan sepertinya tidak ada salahnya kalau aku menerima ajakannya kali ini. "Boleh. Besok juga nggak ada kerjaan."
"Oke, besok aku jemput ya," ucapnya kemudian.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Medina
SpiritualAlmahyra Medina. Nama yang sejak di Sekolah Dasar hingga di Perguruan Tinggi selalu menjadi sorotan karena segudang prestasi. Selalu menjadi juara satu di kelas, bahkan juara umum di sekolah. Dan saat ini pun, Medina tetap selalu menjadi sorotan. N...