Chapter 3. Alasan-Alasan

3.6K 632 79
                                    

~ Maaf didapat karena alasan kecewa, alasan kesalahan, alasan dosa, dan berjuta-juta frasa lainnya ~

Galang datang ke rumah Nara dan menjelaskan. Dia begitu gentle karena berani mengatakan ini, menyelesaikan urusannya dengan Nara agar Nara bisa memilih lelaki yang cocok untuknya. Galang datang sendiri, setelah menjelaskan pada ibunya sendiri. Kali ini giliran ibu Nara. Wanita itu menangis dan meminta maaf atas apa yang telah anaknya lakukan terhadap Galang. Galang mencoba ikhlas dan dengan besar hati memaafkan.

Setelah urusan dengan Nara selesai, Galang kembali ke sanggar. Kang Abik dan Renata yang sudah tahu karena ibu Galang bercerita pada Renata sambil menangis, akhirnya hari itu hanya bungkam. Keduanya bertatapan. Tak ada seorang pun yang berani bertanya ataupun hanya sekadar mengajak Galang bicara. Mereka begitu canggung, takut salah bicara.

"Kenapa kalian jadi mojok berdua gitu?" Galang melongo ketika mereka sedang berbisik-bisik.

"Eh, nggak, Lang... Kami cuma berdiskusi..."

Galang menghela napas. Dia tidak sedih karena kehilangan, namun dia hanya sedih karena setelah ini... dia akan canggung bertemu dengan Nara dan keluarganya. Ibunya pun menangis ketika mendengar Nara berselingkuh. Galang tidak tahu apa yang harus dia lakukan, sementara dia juga kecewa.

"Kalian kok lihat aku kayak gitu?" Galang curiga. "Kalian denger sesuatu dari ibuku?"

Renata menelan ludah. "Iya."

"Nggak apa. Berarti Nara nggak cocok buatku. Dia pantes dapat cowok yang selalu ada buat dia, yang mapan secara ekonomi."

"Tapi kan... kamu udah berjuang sejak awal sama dia..."

"Sejak dulu aku udah berjuang, kok!" Galang mencoba tersenyum, menepuk celananya sekilas, lalu melangkah pergi.

Kang Abik dan Renata saling pandang, lalu menggeleng perlahan. Hanya Galang yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

Sekarang bukan rasa menyesal karena putus dari Nara yang dia rasakan, namun rasa malu yang hebat, lantaran kemarin... kemarin... dia sudah menangis di depan Sabrang. Itu saja yang menjadi beban terberat dalam hidupnya. Dia benar-benar malu. Sangat malu. Bagaimana bisa dia menangis, padahal setiap bertemu Sabrang dia selalu bertengkar, ketus, datar....

Galang memalukan!

Bahkan mau-maunya dia diajak makan. Sudah begitu, minta tambah. Sabrang tidak menolak. Dia malah menunjukkan cengirannya dan mendukung Galang ketika ingin tambah lagi. Sudah tiga piring. Itu tidak lapar, itu doyan!

Galang tidak tahu harus bagaimana nanti kalau bertemu Sabrang. Dia canggung sekali!

Rencananya Galang memang ingin pergi, namun begitu dia mengambil motornya, Sabrang muncul dengan vespa kesayangan. Dia turun dengan semangat, lantas menghampiri Galang dengan ceria.

"Laaang... mau ke mana?"

"Pulang."

"Kok pulang? Nggak mau ngelukis?"

"Nggak, masih males."

"Gara-gara kemarin, ya?"

"Bukan, aku cuma lagi nggak mood aja!"

"Ikut, dong!"

"Nggak usah, aku pengen sendiri."

"Kok pengen sendiri? Nggak takut? Ntar kesurupan, lho!" Sabrang tergelak, separuh menggoda. Galang menggeleng tak acuh.

"Nggak takut."

Galang mencoba melepaskan diri, namun Sabrang masih tidak menyerah juga. Dia baru datang, masa Galang sudah pergi saja? Sabrang tak terima. Dia ingin mengobrol lebih banyak dengan Galang.

Look KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang