Chapter 4. Bolehkah Aku Mencintaimu?

5.3K 631 150
                                    

~ Cinta bukan untuk dia yang merasa bangga memilikinya, namun untuk dia yang selalu taat menjaga ~

Pasca kejadian kemarin, Galang dan Sabrang jadi akrab. Sabrang jadi lebih menahan diri untuk tidak menjahili Galang. Sementara Galang sudah mulai bisa membuka pergaulannya untuk Sabrang sedikit demi sedikit. Sabrang lebih lembut sekarang. Dia tidak lagi meledak tiap kali berhadapan dengan Galang. Dengan orang lain dia masih idealis, namun dengan Galang... dia mendadak lembut dan senang mengalah.

Nomor HP saja sudah sama-sama punya. Sudah saling mengirim chat tanpa canggung. Bahkan sesekali Sabrang hobi vcall. Iya, Sabrang saja yang senang vcall. Kadang ketika Galang baru bangun tidur. Kadang ketika Galang sedang mengantar paket.

Sanggar masih diminati seperti biasa. Tiap akhir pekan mereka juga selalu datang. Galang dan Sabrang sudah mulai bisa berdamai. Terkadang mereka membahas lukisan, terkadang membahas yang lain. Sabrang memang masih iseng seperti biasa, namun dia tidak lagi membuat Galang marah seperti dulu. Kesal masih.

"Sekarang kamu jadi lebih sering ketawa. Aku suka..." Sabrang tersenyum lebar. Galang mengedikkan bahu.

"Apa iya?"

"Iya. Sekarang jadi lebih menikmati hidup."

"Masa?"

"Iya, masa nggak percaya sama Mbah Dukun, sih?"

Galang terkekeh. Sabrang suka ketika Galang begitu. Jadi sekarang tujuan utamanya bukan membuat Galang marah, namun tertawa. Sampai sekarang masih belum pernah. Tersenyum pun masih terlihat canggung.

Kata Renata, cara membuat seseorang tersenyum adalah dengan membuatnya bahagia. Sabrang tidak tahu apa yang membuat Galang bahagia.

Jadi hari itu Sabrang mengajaknya jalan-jalan. Alasannya dia ingin mengambil foto alam untuk inspirasi, meskipun sanggar sudah mirip hutan.

"Kan di sini sudah alam, Sab..."

"Mas Sabrang, Galang..."

"Iya, Mbah..."

"Pokoknya aku mau keluar. Aku mau alam yang lain, yang beda dari hutan ini."

"Kenapa?"

"Kan bosen di sini terus..."

"Aku laporin Kang Abik, lho!"

"Ya jangan!" Sabrang merengut. Dia sudah kehabisan ide untuk merayu Galang. Namun melihat ekspresi Galang, akhirnya Sabrang tahu kalau Galang setuju.

"Iya, deh! Sekalian refreshing..."

Sabrang melompat senang, memeluk Galang sekilas dengan raut bahagia. Galang, tanpa sadar tersenyum. Sayang, Sabrang tidak melihatnya.

"Besok jam delapan pagi aku tunggu di sini. Kamu bawa motor, tapi titipkan di sini. Kita berdua bencongan, eh... boncengan naik motorku."

"Pagi bener, sih?"

"Itu siang!"

Padahal kalau Galang tahu, Sabrang paling susah bangun pagi. Namun demi acara foto-fotonya, dia harus bangun pagi.

Keesokan harinya, Sabrang berhasil datang setengah jam lebih awal. Dia sudah duduk manis di ruang kerja Kang Abik, menunggu Galang yang katanya juga sudah di jalan ke sanggar.

Namun setengah jam berlalu, Galang tidak sampai juga. Padahal perjalanan dari rumah Galang ke sanggar hanya sekitar sepuluh menit. Sabrang mulai cemas. Dia mencoba menghubungi Galang, namun yang tersambung malah...

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."

Sabrang mulai tidak sabar. Dia tidak tahu harus menghubungi siapa. Melihat Sabrang jadi begitu, Kang Abik tanggap. Dia meminjam HP istrinya lalu menghubungi ibu Galang.

Look KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang