~ Mereka yang telah belajar mencintai akan tetap belajar untuk terluka lalu bangkit. Mereka yang hanya asal mencintai tanpa belajar, hanya akan terluka tanpa ingin bangkit ~
Ada sebuah sanggar lukis yang berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu. Sanggar itu dibuka dengan konsep belajar alam. Artinya, kelasnya berada di alam, dengan sebuah pondok beratap daun rumbia di tengahnya. Tempat itu begitu asri. Pohon-pohon tumbuh di sekitarnya. Ada bunga-bunga, sungai kecil jernih, bahkan kolam buatan yang sangat cantik. Tempat itu disulap sedemikian rupa atas inisiatif seorang pemuda. Dulu mahasiswa. Namanya Kang Abik. Lelaki itu kini menjadi pengasuh tetap sanggar lukis tersebut, bersama dengan istrinya, Renata dan anak lelaki mereka yang masih berusia lima tahun.
Sanggar lukis alam itu adalah sebuah tempat yang paling disenangi di desa, bahkan menjadi daya tarik bagi pengunjung yang singgah di sana. Setiap akhir pekan selalu diadakan pelatihan melukis di sana bagi umum. Semua orang yang ingin datang bisa hadir dengan membayar lima ribu rupiah. Murah, karena mereka nantinya akan mendapatkan ilmu dan hasil lukisan mereka. Atau souvenir berupa cangkir dengan lukisan wajah dan nama mereka dengan harga limabelas ribu rupiah.
Salah satu anggota sanggar lukis di sana adalah Adhiwiya Galang Anggaru. Galang. Semua orang mengetahuinya, karena sejak kecil dia berada di sana, menangis sendirian tiap kali melukis. Galang kecil sudah berada di sana, melukis seharian tanpa memikirkan apa pun. Dia akan pulang ketika ibu atau kakak perempuannya, atau adik-adiknya yang lain datang dan menjemput. Galang kecil adalah pribadi yang tertutup dan hanya senang dengan lukisan.
Juga... sedikit moody.
"Kak, bisa lukisin aku ini?" Seorang pengunjung meminta Galang melukis sesuatu. Seperti sebuah wajah lelaki dengan mata sipit dan kulit putih.
Galang mengangguk tanpa suara.
"Yang bagus, ya!"
Galang tidak menyahut. Dia meraih contoh lukisan pengunjung tersebut lalu mulai melukis. Tidak sama, berbeda malah. Lalu pengunjung itu merengut.
"Kok nggak sama?"
"Ini animasi, bukan realis..." Galang menyahut ogah.
"Kan aku mintanya yang bagus..."
Galang mencoba tidak bicara, namun dia menghela napas sesaat. "Lalu?"
"Bikinin yang mirip."
"Susah kalau mirip yang begini..."
"Kenapa? Kakak nggak bisa ngelukis? Kok dipekerjakan di sini?"
Galang ingin menjerit, namun tak bisa. Dia mudah dipermainkan oleh mood yang terkadang berubah seenak hati. Galang mengerjap sesaat, lalu menatap pengunjung itu lagi. Lalu bibirnya bergerak.
"Kalau ingin yang mirip ini agak mahal."
"Kok mahal?"
"Pembuatannya lama. Nggak bisa sekarang jadi."
"Kok gitu? Nggak bisa gitu, dong!"
Galang hampir meledak, lalu lelaki itu datang. Sosok itu muncul dengan cengiran bodoh dan penampilan urakannya. Meski wajahnya ganteng, namun tetap saja menyebalkan di mata Galang. Namanya Sabrang Mahendra Raksi. Anak ketua yayasan sekolah seni yang dulu pernah memohon bantuan Galang untuk mengajar, namun karena Galang tidak senang berinteraksi dengan banyak orang... dia tidak menerimanya.
Sabrang juga mengajar di tempat itu, dengan gaji setingkat honorer. Hanya lima ratus ribu sebulan. Meski begitu dia senang sekali. Mungkin karena dia tidak butuh uang. Keluarganya kaya. Yang dia butuhkan hanyalah hiburan, jadi dia menerima saja meski gajinya sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look Kiss
RomantizmSelama Galang hidup, ada seorang lelaki yang senang sekali mengusiknya. Lelaki itu berhasil membuat Galang muak dan baper. Saking muaknya, bahkan untuk sekadar bertemu saja Galang ogah. Lelaki itu menjelma jadi seseorang yang mungkin bisa mengubah s...