Prologue

84 25 26
                                    

  "Cuacanya bagus, " ungkap seorang gadis. Seraya mengamati langit biru cerah dengan sepasang matanya, sesekali ia menghirup udara dalam dalam.

  Langit tampak sangat bersih, tak terkontaminasi warna lain yang memberi kesan suram.

  Gadis itu menggelar tikar berukuran sedang di atas pasir yang menghangat imbas dari sinar matahari. Berteduh tepat di bawa pohon kelapa yang menghembuskan semilir angin lembut.

Pemuda berambut cokelat menghampiri gadis itu seraya menenteng papan surfing berwarna biru. Matanya terlihat berkilat. "Mau ikut surfing denganku? " sepasang matanya melirik gadis itu. Gadis itu terkejut. Ia cepat cepat menolehkan kepala ke arah lain. Tanpa berniat beranjak dari tempat duduknya, gadis itu segera menguasai dirinya. "Tidak. Cepatlah kembali."
Pemuda berambut cokelat itu meringis. "Aku tidak akan lama. Kamu tidak perlu menghawatirkanku, Yara."

Tak terasa hari semakin sore, kini pemuda itu duduk di dekat Yara, sembari menunggu senja. Beberapa saat mereka hanya diam tanpa ada yang membuka pembicaraan.

"Berapa lama? " tanya pemuda itu yang akhirnya membuka pembicaraan. "Entahlah, mungkin setelah keadaanku mulai membaik." Jawab Yara lesuh. "Aku pasti akan sangat merindukanmu Yara, tidak bisakah kamu melakukan pengobatan di sini saja?" tanya pemuda itu. "Aku juga maunya begitu Rav, tapi mama mau aku melakukan pengobatan di Jerman, ku harap kamu mengerti itu."

Untuk beberapa saat Ravael terdiam mendengar ucapan Yara. "Oke, aku paham kok. Semangat ya. Jangan pernah menyerah, ingat ada mama kamu dan aku yang selalu ada buatmu, ahh atau aku ikut juga denganmu ya?". Tanya Ravael.
"Eh jangan, kamu itu harus sekolah Rav, kalau kamu ikut pasti kamu ketinggalan pelajaran. Sesekali kamu bisa menjenguk aku di sana kok, tapi jangan keseringan ya."

Senja mulai terlihat.

"Ehh foto yuk, buat kenang kenangan gitu," ajak Yara pada Ravael. "Tapi sebelum itu kamu harus minta tolong sama orang yang disana buat fotoin kita." Tambah Yara dengan penuh semangat.Merekapun sibuk berfoto. Setelah puas berfoto mereka berterima kasih pada orang tersebut dan memutuskan untuk pulang.

Di perjalanan mereka singgah di restoran untuk mengisi perut mereka yang kelaparan. "Kamu mau pesan apa?" tanya Ravael pada Yara. "Samakan saja denganmu." jawab Yara.  Mereka akhirnya selesai makan. Yara beranjak menuju mobil sedangkan Ravael ke toilet dulu.

Sesampainya di mobil Ravael melihat Yara tertidur. Ada perasaan sedih  melihat Yara. Ia sangat takut jika Yara tak akan sembuh dari penyakitnya, walau penyakit itu memang sulit untuk sembuh bahkan mustahil, Ravael akan berusaha mendapatkan pendonor untuk Yara. Bahkan jika golongan darah mereka sama, di pastikan ia akan menjadi pendonor untuk Yara, sahabatnya yang sangat ia sayangi bahkan ia cintai. Ravael tahu ini salah. Seharusnya ia tidak jatuh cinta pada sahabatnya. Tapi bukankah ini takdir Tuhan? Ia tidak bisa menolak atau menyangkal perasaanya karena semakin ia melakukannya maka semakin tinggi pula rasa itu untuk Yara. Ravael tidak tahu bagaimana reaksi Yara nanti jika mengetahui Perasaanya. Apakah marah lalu menjauhinya?  Ataukah menangis tersedu sedu karena kecewa?

"Yara, bangun kita sudah sampai di rumahmu." Kata Ravael sambil menepuk pipi Yara agar terbangun dari tidurnya. "Kita sudah sampai ternyata, Rava kamu menginap ya. Tidur di kamar tamu aja. Aku mohon. Besok pagi pagi aku akan berangkat ke Bandara." Jawab Yara sambil memohon pada Ravael.

Ravael yang tidak tega menolak permintaan Yara akhirnya mengiyakan permintaan Yara.

Keesokan harinya.

"Sayang, bangun. Nanti kita bisa ketinggalan pesawat." Ucap Nisa mama Yara. Setelah di bangunkan oleh mamanya ia pun bergegas mandi dan bersiap siap.

Di Bandara.
"Kamu hati hati ya, jangan pernah menyerah, jangan lupa sama aku,kamu harus semangat saat pengobatanmu ya, biar cepat balik ke Indonesia, aku pasti rindu kamu." Kata Ravael sambil memeluk Yara. "Dan ingat, aku akan menunggu kamu di sini, sesekali aku pasti kesana buat jenguk kamu." Tambah Ravael sambil menghapus air mata Yara.

Mereka akhirnya terpisah, terpisah oleh jarak. Ravael tak pernah mengira kalau sahabatnya menderita penyakit yang serius, membuatnya harus terpisah dari sahabatnya. Ravael tak tahu sampai kapan ia akan menunggu Yara kembali, walaupun tanpa kepastian Ravael akan tetap menunggu Yara, menunggu sahabatnya, dan menunggu cintanya.

Jangan lupa Vote ya. Karena satu vote dari kalian itu sangat berharga. ❤❤❤
Arigato.



                       Kamis, 20 Februari 2020.

Perjalanan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang