4. KETAKUTAN DAN KEPERCAYAAN

62 20 4
                                    

Rigel kini tengah duduk di sofa tunggal yang berada di ruang tamu rumahnya. Dia seakan menjadi tersangka yang tengah diintrogasi oleh para anggota keluarganya. Tatapan mata mereka sangat tajam, kecuali Arisy dan Arthe, yang melihat Rigel dengan tatapan kasihan.

Arisy adalah anak tunggal dari Manda dan Alexander, yang usianya lima tahun lebih tua dari Rigel. Sedangkan Arthe adalah suami Arisy, yang merupakan cicit dari Faires yang memimpin saat ini. Mereka sudah dikaruniai satu orang putri bernama Aria, si gadis kecil yang terkejut ketika melihat kaki Luna saat digendong oleh Rigel.

"Kami sudah mendengar penjelasan mengenai alasanmu menyelamatkan perempuan itu. Akan tetapi, kau perlu tahu bahwa tindakanmu itu terlalu berisiko, Rigel," ujar Arthe dengan nada lembut.

Rigel pun mengangguk. "Ya, aku tahu."

"Aku sangat memuji tindakanmu menyelamatkan perempuan itu saat terseret arus, tetapi untuk membawanya kemari itu seharusnya tidak kau lakukan," imbuh Arthe kemudian.

"Aku tidak mengerti mengapa jalan pikiranmu itu pendek sekali, Rigel!" sambar Manda tiba-tiba. "Itu sangat gila, kau tahu?!"

"Aku tahu," sahut Rigel sembari mengangguk pelan. "Aku minta maaf atas tindakanku, tetapi, Bibi, Kak Arthe ..." Rigel kemudian memberanikan diri menatap Manda dan Arthe secara bergantian, "... aku tidak bisa membiarkannya di hutan dengan keadaan seperti itu."

"Tetapi tetap saja membawanya kemari hanya akan menimbulkan kekacauan! Sebentar lagi, warga desa pasti tahu mengenai keberadaan perempuan itu dari mulut ke mulut! Ditambah dengan ancaman penyerangan yang mungkin saja akan dilakukan olehnya! Kita juga belum tahu 'kan identitasnya? Bisa saja dia itu musuh yang selama ini mengintai kita!" timpal Manda yang diakhiri dengan napas terengah. Dia begitu emosi saat meluapkan kekesalannya terhadap keponakannya itu.

"Sabar, Ibu," ujar Arisy sembari mengusap punggung Manda.

"Dia bukan orang yang berbahaya, Bibi," sergah Rigel.

"Bagaimana kau bisa tahu, huh? Kau saja belum tahu asal-usul perempuan itu, 'kan?" sambar Alexander. "Memangnya apa yang bisa kau lihat kalau dia bukan orang yang berbahaya? Wajahnya yang polos? Tubuhnya yang lemah? Aku sudah sering memperingatkanmu untuk tidak menilai seseorang dari luarnya! Itu semua hanya topeng, Rigel!"

Rigel pun menekuk wajahnya. Dia selalu mengingat perkataan Alexander mengenai penilaian terhadap orang yang tidak dikenal. Dia paham betul tentang topeng yang selalu dikenakan oleh banyak orang agar bisa mencapai sesuatu yang diinginkan, entah itu keinginan baik atau buruk. Namun, tidak tahu mengapa, Rigel yakin sekali kalau Luna bukanlah orang jahat. Dia percaya bahwa Luna tidak akan membawa dampak buruk kepadanya ataupun penduduk desa.

"Paman, dia tidak seperti apa yang kau dan Bibi pikirkan. Aku yakin dia bukanlah orang jahat. Kalau pun nanti dia sampai berbuat jahat dan merugikan para penduduk, akulah yang akan bertanggung jawab," ucap Rigel seraya menatap Alexander dengan penuh keyakinan.

"Kau bertanggung jawab?" Alexander pun terkekeh. "Memangnya apa yang akan kau lakukan, jika perempuan itu memberontak, huh? Menyerahkan nyawamu sebagai ganti rugi?"

"Itu pun tidak masalah," sahut Rigel, yang sontak mendapat lirikan tajam Alexander beserta yang lainnya. "Aku akan menerima hukuman apapun yang kau dan Faires berikan. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan."

Alexander mendengkus kesal. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi agar kau sadar kalau perempuan itu berbahaya. Kau sama keras kepalanya seperti dia."

"Kau tidak perlu bingung, Paman," balas Rigel lembut. "Cukup percaya kepadaku dan perempuan itu. Percayalah bahwa dia tidak berbahaya."

PRINCESS LUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang