2. Banda Neira ~Rindu.

25 5 0
                                    

🍂🍂🍂

Setiap pagi, selalu begini. Selalu sesial ini. Selalu sesampah ini. Pagi Rinjani adalah pagi paling terburuk. Ia selalu membenci dimana fajar datang dan membangunkan manusia-manusia busuk bertopeng malaikat, yang merasa paling sempurna.

Ia merasa di kelilingi dengan sorot yang tak menyenangkan setiap kali ingin melangkah masuk kedalam kampus. Tatapan orang di sekitarnya seperti berbicara sinis kepadanya. Seperti...
"Dasar manusia aneh!"

Rinjani selalu saja membuang nafasnya terlalu banyak saat pagi. Menetralkan gejolak kesalnya pada dunia yang begitu asing, jika bisa ia ingin kuliah di planet Pluto saja!

Lebih baik menurutnya, Pluto adalah tempat dimana tak seorang pun bisa lagi untuk meremehkannya. Ia bisa tenang menikmati sunyi dengan iPod serta playlist musik favoritnya, sesuatu hal yang bisa membuatnya hidup, di banding berada disini.

Jani mendengus lega, hari ini ia yang pertama masuk kelas. Menjadi suatu kelegaan dimana, ia tak menjadi sorotan disaat ruangan sudah penuh dan ia baru masuk, oh itu sangat mencanggungkan! Canggung ketika puluhan retina terfokus ke arahnya.

Tote bag dengan lukisan menara Eiffel ia jatuh kan di meja datar. Jani duduk di kursi paling ujung di ruangan kelas. Ia memasang iPod di daun telinga yang di tutupi helaian rambut coklatnya.

Banda neira~ Rindu 🎵


Samar-samar instrumen musik itu terdengar keluar, Jani memejamkan matanya. Menikmati alunan bait berirama yang sepekan ini selalu ia ulang-ulang. Teman terbaiknya di bumi adalah ini, iPod klasik yang ia dapatkan dari pameran antik saat tak sengaja ia melintasi jalan Citaprasada dua tahun lalu.

Di bahu jalan, ada banyak lapak penjual yang sedang menjajalkan barang-barangnya. Tak tahu, mungkin waktu itu sedang ada pameran besar-besaran, hampir ratusan penjual yang berjejeran di lorong jalan itu.

"Kamu suka barang antik, Jan?" tanyanya.

"Tidak terlalu,"

"Kalau begitu tidak usah."

"Loh?"

"Ya, kan kamu sudah antik. Antik tekali... " Katanya seolah ia anak kecil yang belum fasih berbicara.

Mereka tertawa kecil, meneruskan langkah menyusuri barang-barang pameran, sampai pada satu toko yang berisi banyak radio lama, piringan hitam, dan banyak lagi yang mereka berdua tidak tahu apa namanya.

"Kalau musik aku suka, tapi apa ini masih berfungsi ya?" tanya Jani, lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri. Ia menyentuh radio dengan nuansa vintage kuno itu.

"Jangan yang itu, ini saja,"

"Yang mana?"

"Ini, iPod ini mungkin bisa. Musik itu istimewa, Jani. Dia bisa jadi teman cerita terbaik kamu. Terkadang, baitnya bisa memahami perasaanmu, dan terkadang juga sajaknya bisa mewakili apa yang kamu rasa. Kamu harus punya, bakalan jadi luar biasa kalau sesuatu yang istimewa di miliki seseorang yang istimewa juga, yakan?" Laki-laki itu tersenyum, Jani juga, lengkap dengan merah jambu di pipinya.

"Kalo begitu, PAK! SAYA BELI YANG INI!". Pekik Jani.

Pipinya melengkung tanpa ia rencana. iPod itu ia ngenggam erat, semakin erat. Melampiaskan rindunya pada seseorang dua tahun lalu.

RinjanuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang