3. Citaprasada ; lorong waktu.

13 0 0
                                    


Perempuan dengan rambut sebahu lurus tergerai, menatap sendu ke sekelilingnya. Ia menunduk. Melihat aspal hitam pekat yang ia pijak. Sepatu Converse miliknya kotor, sekarang ia malah teringat sesuatu.

Waktu itu, sedang turun hujan. Cuma gerimis. Tapi Ia takut. Ia menelpon seseorang di ponselnya.

"Hei, ada apa peri?" tanya seseorang di seberang sana.

"Aku bukan peri, Nu,"

"Haha. Eh disana hujan ya?"

"Iya."

"Nu... aku takut" tambah perempuan itu. Ia memeluk boneka beruangnya erat, matanya terpejam.

"tidak usah takut, Peri. Itu hanya hujan kecil. Kamu kan sudah ada pelindung,"

"Siapa memangnya pelindungku?"

"Rumah," kata lelaki itu.

"Kukira kamu!" perempuan itu merengut, membuat lekuk pipinya menurun.

"Aku juga, aku pelindungmu. Tapi bukan hanya karena hujan, bukan hanya karena ada petir, namun aku akan menjadi pelindungmu karena semua alasan. Pelindung dari saos kacang yang akan tak sengaja tumpah di bajumu, pelindung dari kotoran yang berniat nempel di sepatumu. Pokoknya, semuanya. Jadi tenang lah."

"Benarkah?" tanyanya.

"Iya, Peri."

"Demi apa?"

"Demi seluruh warna biru yang ada di bumi. ... "

Jani menahan sesak dalam dadanya. Ia menghela nafas, mengatur emosinya yang ingin meluap. Ia menepi. Duduk di bangku pinggir jalan. Bangku dengan nuansa vintage, coklat berbaur gold. Jani membuka tote bag dan mengambil ipod miliknya.

Telinganya mulai pekak, mendengar frekuensi kasar penduduk kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Telinganya mulai pekak, mendengar frekuensi kasar penduduk kota. Jani menutup kelopak retinanya. Harap-harap ketika ia buka kembali kelopak itu, ia sudah berpindah ke Pluto atau pun kalau tidak, ke Mars saja.

***

RinjanuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang