the red shoes┆1.2

507 70 21
                                    

Kereta kuda membawa Binnie dan MJ menuju Hutan Barat. Hutan Barat dikenal dengan hutan tak berujung. Pernah suatu ketika ada sekelompok orang beranggotakan lima orang anak muda, nekad memasuki Hutan Barat karena penasara. Ada apa di dalam hutan tersebut?

Setelah dua minggu lamanya, muncul kabar orang hilang. Poster mereka ditempel sepanjang kota. Dari pihak keluarga mengatakan kepada polisi kalau anak - anak mereka pergi ke Hutan Barat. Para polisi pun memasuki Hutan Barat untuk mencari anak - anak tersebut. Kemudian muncul kembali kabar polisi yang ditugaskan dalam pencarian, juga ikut menghilang.

Masyarakat mulai menjulukinya Hutan Barat tak berujung. Siapa pun yang memasuki hutan tersebut, tidak akan pernah kembali lagi. Masyarakat meyakini hutan tersebut terkutuk atau ada sosok makhluk yang memakan siapa pun yang berani menginjakkan kaki di hutan. Tapi tidak semua orang mempercayainya. Karena tidak semudah itu untuk menyimpulkannya, sedangkan mereka tidak tahu apa yang ada di dalamnya.







"Anda yakin turun di sini? Bukankah itu Hutan Barat?" tanya sang kusir ragu.

"Iya," balas Binnie singkat.

"Nada bicaramu bisa diperhalus sedikit tidak?" ujar MJ gregetan.

Binnie membuang muka, tak ingin menjawab pertanyaan MJ. Apa dia sejutek itu? Perasaan tidak. Sekarang pipinya memerah karena malu.

Di depan sana sudah ada Sanha dan Mimi yang menanti kepulangan mereka. Sanha memegangi lentera sambil melambaikan tangan dan tersenyum sumringah.

"Anak itu selalu ceria ya," kata Binnie tersenyum tipis.

MJ terkekeh. MJ membuka jendela kereta kemudian mencondongkan kepalanya ke luar dan membalas lambaian Sanha.

Kereta kuda pun berhenti. Sang kusir turun dan membukakan pintu untuk penumpangnya. Binnie turun terlebih dulu sebelum MJ. Sanha menghampiri kedua orang tersebut seperti seorang adik yang senang ketika kakaknya pulang.

Mimi mendekati sang kusir untuk memberikan uang.

"Berapa?" tanya Mimi sambil menarik tali kantong uangnya.

"35 keping saja. Tapi. . . ." Sang kusir tidak melanjutkan perkataannya. Mimi pun berhenti menghitung koin - koin emas itu. Matanya menatap lurus ke arah sang kusir. "Apa benar berhenti di sini saja? Saya bisa mengantar kalian berempat ke rumah."

Mimi tersenyum, dan melanjutkan menghitung koin. "Anda baik sebagai, Tuan. Namun sampai di sini saja."

Mimi menyerahkan 35 keping koin emas kepada sang kusir. Sang kusir memasukkan koin - koin tersebut ke dalam saku jas. "Anda bersungguh - sungguh?"

"Tentu saja."

Mimi menarik lengan kiri gaunnya. Kuku jari telunjuknya menggoreskan luka di lengan kirinya sendiri. Darah mulai menetes dan wangi khas tubuh Mimi mulai tercium (wangi tersebut berasal dari darahnya).

Sang kusir terhuyung. Rasanya seperti . . . mabuk. Kepala mulai terasa berat dan kaki melemas. Sang kusir berpegangan pada tali kudanya untuk menahan diri agar tetap tegak.

"Apa yang──"

"Setelah pergi dari sini anda tidak akan mengingat kami. Pulanglah! Terima kasih sudah mengantar teman - temanku." bisik Mimi.

Bakat Mimi adalah menghipnotis seseorang dengan wangi tubuhnya, dengan cara menggores tubuhnya. Ketika lukanya mulai meneteskan darah, maka wangi tubuhnya akan menyebar dan bagi siapa pun yang menciumnya akan terhipnotis.

Setelah sang kusir sepenuhnya terhipnotis, beliau menaiki kereta kudanya dan pergi dari hadapan Mimi.

Mimi berjalan mendekati ketiga temannya. Sanha yang melihat tangan Mimi tergores, langsung meraih tangan itu begitu saja. Mimi tersontak.

"Kau mau apa?" pekik Mimi. Jantungnya berdetak kencang.

Sanha menempelkan lengan Mimi yang tergores ke pipi kirinya. Mimi tidak siap untuk ini. Sanha menatapnya dengan mata sayu.

"Astaga bocah ini!" MJ menunduk sambil menutup mata dengan kedua tangannya. Tak sanggup untuk melihat.

Sanha menjilat luka goresan Mimi. Mimi langsung menarik tangannya dengan cepat setelah Sanha menjilatnya.

"Kenapa?" tanya Sanha dengan wajah polos. Mata laki - laki yang lebih muda dari Mimi itu mengerjap.

"Menjijikkan! Sanha menyebalkan!" umpat Mimi. Pipinya pun memerah.

"Aku kan mencoba mengobatimu," kata Sanha dengan nada sedih.

Bakat Sanha adalah dapat mengobati luka seseorang dengan air liurnya. Sebenarnya dia bisa menjilat ibu jarinya sendiri kemudian mengolesnya ke luka Mimi. Tapi anak ini selalu melakukan hal yang mengejutkan tanpa dipikir dulu olehnya.

"Mimi tidak terbiasa dengan laki - laki, Sanha," sambung Binnie.

"Ah, diamlah!" teriak Mimi.

Binnie senang menggoda Mimi sampai perempuan itu tertawa. MJ juga ikut tertawa setelahnya. Sedangkan Sanha masih merasa sedih karena ia dikatai menjijikkan.

Mimi merebut kasar lentera di tangan Sanha. Ia berjalan mendahului Binnie, MJ, dan Sanha.

"Oi, kau meninggalkan kami!" seru MJ berlari kecil menyusul Mimi.

"Ayo, Sanha!" Binnie menarik kerah belakang baju Sanha dan menyeret laki - laki itu untuk segera menyusul. Sanha diam, masih termenung dengan ucapan Mimi yang cukup melukai hatinya.

Ke-empat iblis itu berjalan bersama menyusuri jalan tanjakan di Hutan Barat. Hutan ini benar - benar gelap. Sengaja tidak diberi penerangan agar tidak ada manusia yang masuk ke dalam. Mereka berjalan sampai ke rumah hanya ditemani dengan lentera.

Saat semakin dalam perjalanan ke dalam hutan, mulai terlihat cahaya kecil yang dipancarkan lampu jalanan. Itu artinya mereka sudah sampai di rumah. Rumah para iblis terlihat megah dan kokoh. Meskipun usianya sudah ribuan tahun, bangunan itu tak terlihat usang sama sekali. Hanya ada sedikit lumut di samping bangunan sebelah kanan.

Mimi memberikan lentera tersebut kepada Sanha─kebetulan dia yang ada di sebelah Mimi. Pipi Mimi kembali memerah.

"Dia kenapa, sih?" tanya Sanha resah pada Binnie dan MJ, merasa ia sudah melakukan kesalahan besar.

Mimi meraih kunci rumah yang tergantung di gaunnya. Ia mencari kunci pintu depan di antara kunci - kunci tersebut. Mimi memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang pintu dan memutarnya.

MJ mendorong pintu besar itu dan mempersilakan para perempuan masuk duluan, sebelum menutup dan menguncinya. Sanha meniup api di dalam lentera sampai padam. Kemudian ia menaruh lentera tersebut ke meja di dekat pintu. Meja itu digunakan untuk menaruh lentera - lentera.

"Kalian lama sekali," sambut seorang perempuan dengan suara lembut. Perempuan bernama Hyojung berjalan menghampiri Binnie, MJ, Sanha, dan Mimi.

"Kak Hyojung selalu terlihat manis setiap hari!" puji Sanha. Dari matanya bisa terpancar bintang - bintang bersinar.

"Benarkah? Terima kasih," balas Hyojung tersipu malu. Padahal setiap hari dia selalu dipuji Sanha, tapi tetap saja malu.

"Apakah makan malam sudah siap?" tanya Binnie.

"Sudah. Kami menunggu kepulangan kalian sebelum makan."

"Maaf kami terlalu lama. Oh ya, jangan beri makan laki - laki di sampingku ini." Binnie menunjuk MJ dengan ibu jarinya.

"HAH?! Memangnya kenapa?" pekik MJ.

"KAU KAN SUDAH MAKAN TADI?!" omel Binnie masih tak terima karena ia tidak bisa memakan daging manusia yang lezat. "kau kan tahu aku tidak suka memakan mayat."

"Sudah - sudah. Ayo kita ke ruang makan. Seunghee sudah menyiapkan makan malam dan semuanya sudah menunggu kalian." Hyojung merangkul Binnie dan MJ untuk melerai mereka agar pertengkaran ini tidak terus berlanjut.

"Oh ya, kak. Apakah dia sudah pulang?" tanya MJ.

"Belum. Sepertinya dia terlalu menikmati permainannya sampai lupa punya rumah di sini."



❍ ❍ ❍

the red shoes ─ oh my girl × astroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang