Bagian 2

12 2 0
                                    

Aisyah Windari Lubna

------

Segala macam bentuk tugas rumah sudah selesai ku kerjakan. Akhirnya bisa duduk santai sambil melihat Zahira yang sedang main di teras rumah. Ponakan ku itu memang paling sering berada di rumahku. Ayah dan Bunda-nya bekerja, jadilah anaknya terlantar dan aku yang mengurusinya.

Bukan masalah sebenarnya. Tapi terkadang aku hanya kasihan melihat Zahira yang masih kecil dan butuh perhatian dari orangtua, malahan orangtua nya sibuk mencari materi.

"Assalamualaikum".

Aku menoleh saat ada seseorang datang. Anita. Sahabat karibku. "Waalaikumsalam".

"Kamu sibuk nggak, Syah ?". Anita duduk di kursi yang sama denganku. Wajahnya di tekuk, lesu, bahkan kalau di teliti lebih lagi matanya terlihat sembab.

"Mau curhat apa gimana? ".

Ia menoleh dan benar saja dugaanku. Bahkan sekarang matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. Umi sedang keluar entah kemana, jadi ku biarkan saja Anita menangis di luar rumah. Biasanya kalau ada Umi pasti Anita akan ku ajak ke kamar dan mendengarkan segala ceritanya.

Bukan karena tidak ingin kedengaran Umi. Hanya saja Anita itu setiap kali cerita pasti mengenai hubungan nya dengan pacarnya si Hadi. Nah.. Umi akan tidak senang kalau mendengar Anita masih suka pacaran. Sebenarnya sama saja ya dengan tidak mau kedengaran Umi. Hehehe...

"Aku putus".

Dua kata yang cukup membuat aku terdiam cukup lama. Putus ? Baru saja dua hari lalu ku dengar berita dari Anita bahwa Hadi datang main kerumahnya. Lah.. Sekarang putus ?

"Ta....". Aku berusaha menenangkan nya. Mengusap bahunya pelan. Aku tahu kalau ia sangat mencintai Hadi, tapi terkadang disatu sisi aku juga tidak bisa membenarkan bahwa pacaran itu adalah hal yang baik.

"Aku nggak tahu apa alasan dia mutusin aku. Tiba-tiba aja Hadi telfon dan bilang kalo kita nggak bisa sama-sama lagi". Suara nya mulai parau.

"Kamu nggak tanya apa alasannya ?".

"Aku udah tanya Syah. Tapi dia bilang karena kita nggak cocok. Dua tahun dan dia bilang nggak cocok! Bener-bener alasan yang nggak masuk akal, tau nggak!".

"Ta... Tenang".

Anita mengusap airmatanya kasar. Dan selama dua tahun juga aku slalu mendengar segala cerita tentang Anita dan Hadi. Jangan ditanya seberapa bosan nya aku. Tentu terkadang aku merasa jenuh dengan segala ceritanya, namun ia adalah sahabatku. Kemana lagi ia dan aku akan berbagi masalah pribadi kalau bukan satu dengan yang lain ?

"Mungkin ini teguran buat kamu".

Anita menoleh cepat ke arahku. "Teguran ? Maksudnya ?".

"Kamu lupa.. Kalau dalam agama kita, islam melarang pacaran. Coba setelah putus dari Hadi kamu mulai mendekatkan diri sama Allah. Berhenti pacaran. Karena itu bener-bener nggak ada manfaatnya selain menambah dosa".

Anita tertunduk dan diam. Aku melihatnya takut-takut. Alih-alih ia marah tidak tahu nya ia malah memeluk ku. "Bantu aku buat lupain Hadi ya Syah. Aku mau berhenti pacaran. Aku nggak mau sakit hati lagi. Nggak mau!".

Aku tersenyum lega. Mana orang yang tidak bahagia bila mendengar bahwa sahabatnya sedikit demi sedikit mau berubah. "Iya.. Aku bantu".

*******

Aku membawa tubuh Zahira dalam gendongan ku. Meletakannya di atas tempat tidur, ia kelelahan sepertinya. Aku mengajak ia bermain bersama dengan Anita. Itu juga bertujuan agar Anita melupakan sejenak masalah nya dengan Hadi.

"Udah tidur ?".

"Udah. Kamu mau pulang ?".

"Nggak kok. Sebentar lagi".

Aku mengangguk lalu duduk disebelahnya. Kalau Anita datang berkunjung seperti ini, ia akan betah berada dirumahku. "Katanya kemaren kamu dateng ke rumah Iran ?".

Aku sempat cerita perihal itu pada Anita melalui chat. Dia kegirangan bukan main. Entah apa yang merasukinya hingga sampai sebegitu girangnya.

"Iya".

"Dan kamu tahu nggak ?".

"Tahu apa ?".

"Kamu punya saingan ?".

Aku kaget. Jelas. Sebenarnya aku tahu kalau tidak akan mudah mendapatkan Iran. Apalagi dengan aku yang nyaris tidak pernah melakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Iran itu adalah seorang sarjana lulusan tehnik di fakultas yang cukup terkenal. Ia kuliah di kota sambil sesekali pulang ke rumah. Tapi beberapa bulan ini ia lebih sering dirumah karena kuliahnya memang baru saja selesai.

"Nggak mau tahu orangnya siapa ?".

"S-siapa ?".

"Ayuni si anak kepala desa, yang lulusan kedokteran".

Dan saat Anita mengatakan itu harapan ku dibabat habis oleh kenyataan. Dada ku terasa sesak. Ayuni bukanlah sosok yang bisa diajak saingan. Dia gadis cantik dengan surai hitam panjang yang lebat. Tinggi nya proposional dengam garis wajah yang benar-benar ayu. Belum lagi dengan kerjaan nya yang kini menjabat sebagai dokter di salah satu rumah sakit.

Sedangkan aku ? Kamu itu upik abu, Aisyah!

"Syah...".

"Mereka cocok kok. Pantes banget". Ku paksakan untuk tersenyum.

"Jangan pasrah dong, Syah!. Lagian itu cuma dugaan aku. Soalnya kemaren aku lihat mereka boncengan".

"Aku nggak pasrah kok. Cuma berusaha ikhlas aja kalo memang ternyata mereka punya hubungan".

"Kamu nggak mau usaha lebih gitu?".

"Aku mesti usaha apa ? Dateng kerumah nya dengan minta nomor telfon nya terus chat setiap hari, telfonan setiap hari, ngajak ketemuan. Gitu ?".

"I-iya mungkin...".

"Itu nama nya nambahin dosa!".

"Kayak aku yaa..".

Aku tersenyum. "Kan sekarang kamu udah mau berubah. Lagian Ta.. Aku percaya sama kekuatan doa. Kalau memang Allah menjodohkan aku dengan Iran, sudah pasti Allah akan selalu mendekatkan dia sama aku. Begitu juga sebaliknya".

"Sahabat aku emang the best yaa.. Cinta diam-diam nya luar biasa".

Dan kami tergelak bersama-sama.

******

Untuk mu...

Aku gelisah. Tidak tenang dan sedikit ketakutan. Ketakutan kalau memang kamu bukan untuk ku. Tapi sebagaimana pun aku meminta dan berdoa, tetap saja 'kan kalau Tuhan tidak menakdirkan kita bersama, mana mungkin kita bisa melawan garis Nya ?

Aku seketika merasa kecil. Tidak ada apa-apanya dibanding ia yang hampir sempurna. Keluarga berada sama seperti mu. Pendidikan mumpuni sama juga seperti mu. Kalian cocok. Sangat.

Tapi dengan tidak tahu dirinya hatiku berteriak.

"Kalian tidak cocok! Kamu itu cocok nya denganku".

Akan terdengar terlalu memaksa jika banyak orang yang dengar. Hati ku memang tidak tahu malu sejak awal. Mengharap orang yang bahkan jauh dari diriku.

Aku hanya gadis biasa. Sangat sangat biasa. Ekonomi biasa. Pendidikan juga biasa. Tidak ada yang istimewa. Sama sekali.

Tapi aku tidak akan mengutuk takdir untuk setiap hal yang menjadi garis tangan ku. Aku tidak akan menyalahkan keadaan atas kekurangan yang aku miliki.

Tidak akan!

Untuk mu...

Seperti kebanyakan orang bilang.. Mencintai diam-diam, sakit diam-diam, dan mengeluhnya juga akan sendirian. Yah... Itu benar ternyata. Dan itu terjadi dengan diriku.

🍁

SemogaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang